JATIMTIMES - Peristiwa penggerebekan dan penggeledahan terduga teroris di Kota Batu belum lama ini masih menyita perhatian publik. Pasalnya, Kota Batu kembali menjadi tempat persembunyian terduga teroris setelah 19 tahun penggerebekan gembong teroris Dr Azahari. Pakar Kriminolog menyebut hal yang menjadi akar masalah tidak hanya dipicu perilaku ekstrem terhadap persoalan agama, melainkan juga ekonomi.
Hal tersebut diungkapkan Pakar Kriminologi Universitas Brawijaya Malang Fachrizal Afandi. Menurut dia, ada beberapa riset yang mengatakan awal mula pemicu tindakan mengarah pada pemahaman yang dikenal radikalisme berasal dari faktor ketidakberdayaan ekonomi.
Baca Juga : Korsleting Listrik Picu Kebakaran Kandang di Karangploso, 7 Kambing Turut Terpanggang
"Ada beberapa riset yang menyatakan bahwa kejahatan terutama yang berkaitan dengan terorisme, motivasinya tidak hanya soal pemahaman agama. Tapi juga ke lebih soal ekonomi. Orang bisa frustasi lalu pelariannya ke agama dengan berpikir daripada di dunia sengsara mending mendapatkan kenikmatan di surga," terangnya kepada JatimTIMES, Senin (5/8/2024).
Fachrizal menyampaikan, sudah barang tentu tindakan tersebut tak bisa dibenarkan. Sebab, bukan merupakan pemahaman agama yang tepat dan membawa kedamaian. Akar masalah sosial ekonomi disorot lantaran kondisi masyarakat urban seperti di Kota Wosata Batu kerap terjadi ketimpangan sosial yang tinggi.
Warga dengan pendapatan menengah ke bawah tak banyak pilihan dan kesempatan hidup layak di kota wisata yang terlanjur menjadi pusat bisnis seperti wisata, hotel, villa maupun hiburan dan penginapan. Kemewahan yang hanya bisa dinikmati oleh pendatang dan waega yang memiliki kecukupan lebih baik atau menengah keatas.
"Batu sebagai kota wisata ini serupa dengan Yogyakarta atau Jogja. Kalau masih ingat klitih, itu kan anak Jogja melakukan tindak kriminal yang mana tidak mempunyai ruang berekspresi yang cukup. Tepatnya semua ruang terbuka sudah menjadi mall hingga hotel," tutur dia.
"Makanan juga sudah mulai tidak bisa dijangkau. Ini menimbulkan kecemburuan sosial. Jadi bibit kejahatan akan mudah muncul di situ," imbuh Fachrizal.
Ia menambahkan, apalagi Kota Batu relatif kecil yang mana kalangan keluarga petani juga sudah mulai berganti profesi. Seiring banyak yang berubah sawah menjadi hotel.
"Untuk pendatang yang memiliki kecukupan bisa menikmati beberapa hal mewah itu. Tetapi warga asli jadi penonton. Rata-rata pemilik dan investor juga didominasi orang luar," sebutnya.
Baca Juga : Mas Dwi Kian Gencar Rangkul Warga Kota Malang
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi (ASPERHUPIKI) itu menegaskan, persoalan terorisme yang akarnya merupakan hal krusial seperti kesejahteraan tidak bisa dituntaskan hanya dengan penindakan dari Tim Densus 88 Antiteror saja. Melainkan seharusnya menjadi perhatian masyarakat dan pemerintah untuk memastikan kesejahteraan dan mengatasi ketimpangan sosial yang ada.
"Jika kasus terakhir merupakan pendatang harus diketahui identifikasi datanya, dari mana, di Batu ngapain, apakah memang keluarga dari yang terindikasi teroris radikal, atau kemudian terpapar. Harus ada datanya dari BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme)," jelasnya.
Perlakuan itu perlu diterapkan di lingkungan masyarakat. Sekaligus juga dibantu pengawasan pihak pemerintah daerah terkait seperti halnya Bakesbangpol.
"Kalau untuk mengurangi potensi yang ada karena persoalan frustasi karena ekonomi, pemerintah harus lebih giat memastikan kesejahteraan warganya," tandas Fachrizal.