free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Hiburan, Seni dan Budaya

Raden Kusen Adipati Terung: Sosok Besar di Balik Sejarah Kadipaten Balitar dan Sengguruh

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Sri Kurnia Mahiruni

29 - Jul - 2024, 23:18

Placeholder
Kiri: Makam Raden Kusen Adipati Terung yang terletak di Sidoarjo. Kanan: Ilustrasi Raden Kusen. (Foto: Istimewa)

JATIMTIMES - Sejarah Kadipaten Balitar, Srengat, dan Sengguruh merupakan bab penting dalam narasi sejarah Nusantara, khususnya dalam masa transisi dari Kerajaan Majapahit ke Kesultanan Demak. Di antara tokoh-tokoh penting dalam periode ini, Raden Kusen Adipati Terung menonjol sebagai figur berpengaruh yang memiliki reputasi besar dalam sejarah. 

Dalam artikel ini, kita akan mengeksplorasi perjalanan hidup dan kontribusi Raden Kusen, serta tragedi yang menimpa keturunannya, Arya Balitar dan Adipati Sengguruh, yang dibunuh oleh Adipati Nilosuwarno.

Kadipaten Balitar dan Srengat: Sebuah Sejarah Awal

Baca Juga : 3 Doa Agar Dianugerahi Anak Sholeh dan Sholehah, Amalkan Setiap Hari! 

Kadipaten Balitar dan Srengat adalah dua dari sekian banyak kadipaten yang muncul menjelang runtuhnya Kerajaan Majapahit. Kadipaten Balitar dipimpin oleh Adipati Arya Balitar, yang dikenal sebagai seorang pemimpin beragama Islam. 

Sementara itu, Kadipaten Srengat dipimpin oleh Adipati Nilosuwarno, seorang pemimpin yang tetap memeluk agama Hindu. Ketegangan antara kedua kadipaten ini mencerminkan perubahan politik dan sosial yang sedang berlangsung pada masa itu, ketika banyak daerah mulai memisahkan diri dari kekuasaan Majapahit dan berusaha memperkuat posisi mereka sendiri.

Kedua pemimpin ini, Arya Balitar dan Nilosuwarno, memiliki hubungan yang tidak harmonis. Ketegangan ini akhirnya memuncak dalam sebuah tragedi, di mana Arya Balitar dan Adipati Sengguruh dibunuh oleh Nilosuwarno. Peristiwa ini menandai titik balik penting dalam sejarah lokal dan menunjukkan kompleksitas dinamika kekuasaan pada masa transisi tersebut.

Raden Patah, Raden Kusen, dan Hubungan dengan Prabu Brawijaya V serta Arya Damar

Dalam naskah Tedhak Pusponegaran dan Serat Kandaning Ringgit Purwa, disebutkan bahwa Adipati Arya Balitar, yang berkuasa di Kadipaten Balitar dan Adipati Sengguruh, yang berkuasa di Kadipaten Sengguruh, adalah putra dari Raden Kusen, Adipati Terung. Raden Kusen sendiri adalah adik kandung dari Raden Patah, Sultan Demak Bintara. Keduanya memiliki hubungan darah yang kuat dengan Prabu Brawijaya V, Raja Majapahit terakhir.

Menurut Babad Tanah Jawi, Brawijaya V memiliki banyak selir, salah satunya adalah Siu Ban Ci, seorang puteri Tionghoa dari Kyai Batong (alias Tan Go Hwat). Siu Ban Ci dicemburui oleh permaisuri Brawijaya, Ratu Dwarawati, puteri Champa. Karena itu, Brawijaya terpaksa memberikan Siu Ban Ci kepada adipati di Palembang, Arya Damar (juga dikenal sebagai Ario Abdillah). 

Saat itu, Siu Ban Ci dalam keadaan hamil, dan kemudian melahirkan seorang putra yang diberi nama Raden Bagus Hasan, yang kemudian dikenal sebagai Raden Patah.

Arya Damar kemudian menikahi Siu Ban Ci dan dari pernikahan tersebut lahirlah seorang putra bernama Raden Husain, yang kemudian dikenal sebagai Raden Kusen. Dengan demikian, Raden Kusen adalah keturunan langsung dari Prabu Brawijaya V, seperti halnya Raden Patah. Hal ini memperkuat ikatan darah antara kedua saudara ini dengan Prabu Brawijaya V. Menurut sebuah sumber sejarah, Raden Kusen dilahirkan di Palembang pada tahun 1456, di tengah era yang penuh dinamika dan perubahan besar di wilayah Nusantara.

Raden Kusen menikah dengan Nyai Wilis, cucu dari Sunan Ampel Denta, seorang tokoh penyebar Islam di Jawa. Dari pernikahan ini lahirlah Arya Terung, yang menjadi Adipati Sengguruh, dan Arya Balitar, yang menjadi Adipati Balitar. Dengan demikian, keduanya adalah saudara sepupu Sultan Trenggana, anak dari Raden Patah.

Raden Kusen, ayah dari Adipati Arya Balitar dan Adipati Sengguruh, merupakan putra dari tokoh penting dalam sejarah Majapahit, yaitu Arya Damar. Arya Damar, atau yang dikenal juga sebagai Ario Abdillah, adalah Adipati Palembang pertama setelah kota itu mengalami kekacauan akibat pemberontakan Parameswara dan dikuasai oleh bajak laut Cina. 

Makam Ario Abdillah terletak di Kebun Sahang KM 4, dekat Makam Pahlawan Palembang. Ia adalah putra Maharaja Majapahit, Sri Kertawijaya, yang dikenal juga sebagai Wijaya Parakramawarddhana atau Brawijaya V, yang berkuasa pada tahun 1447-1451 M. Ario Abdillah lahir dengan nama Ki Dilah atau Arya Damar.

Menurut Babad Tanah Jawi, Ki Dilah adalah putra Prabu Brawijaya dari seorang putri bernama Endang Sasmitapura. Ketika Endang Sasmitapura hamil, ia diusir dari keraton, menyebabkan Ki Dilah lahir di hutan Wanasalam di selatan ibu kota Majapahit. 

Ki Dilah kemudian diasuh oleh pamannya, Ki Kumbarawa, yang mengajarinya berbagai ilmu kesaktian. Dalam konteks sejarah dan budaya Jawa, istilah "denawa" digunakan untuk menyebut penganut ajaran Syiwa-Buddha aliran Bhairawa-Tantra, yang dalam upacara mistis pancamakara menggunakan korban manusia.

Cerita mengenai Arya Damar juga tercatat dalam tradisi lisan Bali yang dikumpulkan oleh C.C. Berg dalam "De Middeligvaansche Historische Traditie" dan Th.G.Th Pigeaud dalam "Literature of Java." Dalam cerita ini, Arya Damar dikisahkan memiliki peran penting dalam usaha merebut Bali, serta sebagai pahlawan yang tak terkalahkan saat menumpas pemberontakan di Pasunggiri. Bahkan, ketika Bhre Daha, putri Bhre Wirabhumi, memberontak pada masa pemerintahan Rani Suhita, Arya Damar ditugaskan untuk menumpas pemberontakan tersebut dan berhasil melakukannya dengan baik. Kisah ini kemudian ditulis oleh Pangeran Pekik dari Surabaya dalam "Carita Damarwulan."

Menurut "Babad Ratu Tabanan," Bhatara Arya Damar, putra Sri Maharaja Brawijaya, Raja Majapahit yang menjadi penguasa Palembang, adalah leluhur Raja-Raja Tabanan melalui keturunannya yang bernama Arya Yasan. Hal ini ditandai dengan penggunaan nama gelar "Kyai" seperti Kyai Nengah, Kyai Nyoman, Kyai Ketut, Kyai Lod, Kyai Dangin, Kyai Arya, Kyai Agung, dan Kyai Gede, sebagaimana gelar yang digunakan keturunan Arya Damar di Palembang, Jawa, dan Madura.

Dalam Silsilah Raja-Raja Madura, Arya Damar ditempatkan sebagai leluhur yang menurunkan Arya Menak Sunaya, kakek dari tokoh Kyai Demang Pelakaran, Kyai Adipati Pramono, Kyai Pratali, Kyai Pratolo, Kyai Panangkan, dan Kyai Pragalbo, yang merupakan leluhur Raja-Raja Madura seperti Cakraningrat dan Ario Adikoro. Selain itu, naskah Tedhak Poespanegara menyebutkan bahwa Arya Damar adalah leluhur bupati-bupati di Jawa melalui keturunan putranya yang bernama Raden Kusen Adipati Terung.

Keturunan ini menggunakan gelar "Kyai," seperti Bupati-Bupati Gresik, Lamongan, Pasuruan, dan Bangil: Kyai Tumenggung Pusponegoro, Kyai Tumenggung Joyonegoro, Kyai Tumenggung Puspodirono, Kyai Tumenggung Puspodirjo, Kyai Tumenggung Mangunadirjo, dan Kyai Ngabehi Yudhonegoro.

Dari jalur silsilah yang jelas ini, dapat disimpulkan bahwa Adipati Arya Balitar dan Adipati Sengguruh adalah keturunan langsung dari Raja Majapahit, Brawijaya V. Keduanya juga memiliki ikatan keluarga dengan Sultan Demak, serta merupakan bagian dari garis keturunan Raden Rahmat, Bupati pertama Surabaya yang bergelar Sunan Ampel. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan keluarga dan kekerabatan memainkan peran penting dalam dinamika politik dan kekuasaan pada masa itu

Perang Majapahit vs Demak: Pertarungan Terakhir dan Kejatuhan Majapahit

Setelah lahir di Palembang, Raden Kusen dan saudaranya, Raden Patah, meninggalkan tanah kelahiran mereka dan pindah ke Jawa.Setelah tiba di Jawa, Raden Kusen dan Raden Patah belajar di bawah bimbingan Sunan Gunung Jati. Raden Kusen menikahi putri Sunan Gunung Jati, Nyai Mertasari, yang juga dikenal dengan nama Nyai Mas Ranggawulung. Namun, pernikahan mereka tidak dikaruniai anak, dan mereka mengangkat dua anak dari istri kedua Raden Kusen, Rara Asmara atau Rara Huning.

Raden Kusen kemudian mendapatkan tanah di Kadipaten Terung dan menjadi panglima perang Majapahit. Ia dikenal sebagai Adipati Pecat Tondo Terung, dan memiliki peran penting dalam perang antara Kesultanan Demak dan Kerajaan Majapahit yang dipimpin oleh Girindrawarddhana, yang mengambil alih tahta Majapahit dari Brawijaya V dan mengangkat dirinya sebagai Brawijaya VI.

Dalam perang ini, Raden Kusen bertugas memimpin pasukan Majapahit melawan pasukan Muslim yang dipimpin oleh Sunan Ngudung, ayah Sunan Kudus.

Baca Juga : Cara Mengenali Tas Mewah KW, Jangan Sampai Tertipu

Perang antara Kesultanan Demak dan Majapahit merupakan salah satu konflik besar yang mengakhiri kekuasaan Majapahit dan menandai kebangkitan Kesultanan Demak sebagai kekuatan baru di Nusantara. Dalam perang ini, Raden Kusen berada di posisi yang sulit. Meskipun ia adalah saudara seibu dengan Raden Patah, ia tetap setia kepada Majapahit dan berjuang untuk mempertahankan kerajaan tersebut.

Pada akhir abad ke-15, Kerajaan Majapahit menghadapi ancaman besar yang mengancam eksistensinya. Dalam periode krisis ini, konflik antara Majapahit dan Kesultanan Demak menjadi salah satu momen paling menentukan dalam sejarah Jawa. Naskah Pararaton yang diterbitkan oleh J.L.A. Brandes pada tahun 1920 memberikan gambaran detail tentang perjuangan dan konflik ini.

Setelah wafatnya Sunan Ampel, seorang tokoh spiritual yang dihormati di kedua belah pihak, ketegangan antara Majapahit dan Demak meningkat pesat. Sunan Kalijaga, seorang wali yang terkenal bijaksana, berusaha menenangkan semangat para santri dengan mengingatkan bahwa Raja Bintara dari Demak masih mengirimkan upeti sebagai tanda kesetiaan kepada Majapahit. 

Namun, upaya damai ini tidak membuahkan hasil, dan para santri, yang tergabung dalam pasukan Suranata, di bawah pimpinan Pangeran Ngudung dan Imam Masjid Demak, melancarkan serangan ke Majapahit.

Di pihak Majapahit, Raden Kusen, Adipati Terung, berada dalam posisi yang sulit. Sebagai adik dari Raden Patah dan paman Pangeran Trenggana, Raden Kusen sebenarnya memiliki ikatan darah yang kuat dengan Demak. Namun, meskipun ia adalah saudara seibu dengan Raden Patah, ia tetap setia pada Majapahit. Dalam situasi ini, Raden Kusen ditugaskan memimpin pasukan Majapahit melawan serangan pasukan Demak.

Perang antara Majapahit dan Kesultanan Demak berlangsung dalam beberapa tahap. Pada serangan pertama, pasukan Demak yang dipimpin oleh Sunan Ngudung, mengenakan Jubah Antakusuma yang legendaris, berhasil memukul mundur pasukan Majapahit yang dipimpin oleh Patih Gajah Mada (Menurut beberapa sumber, setiap Patih Majapahit bergelar Gajah Mada) . Meskipun Raden Kusen awalnya enggan terlibat, setelah serangan pertama, dia terpaksa bergabung dalam pertempuran demi melindungi tanah airnya.

Pertempuran kedua adalah titik krusial dalam konflik ini. Dalam pertempuran ini, Raden Kusen memimpin pasukan Majapahit bersama Adipati Pengging, Prabu Handayaningrat, dan putra mahkota Majapahit, Arya Gugur. Namun, pertempuran ini berakhir tragis dengan kematian Prabu Handayaningrat yang terbunuh setelah terkena tombak dan kepalanya dipenggal. 

Putra Handayaningrat, Kebo Kenanga, mundur dalam kekacauan pertempuran karena takut pada gurunya, Syech Siti Jenar. Kematian Prabu Handayaningrat mempengaruhi moral pasukan Majapahit yang akhirnya terpaksa mundur.

Sunan Ngudung kemudian menantang Raden Kusen dalam duel langsung. Pertarungan antara keduanya berlangsung sengit hingga akhirnya Sunan Ngudung jatuh dan tewas setelah ditombak oleh Raden Kusen. Jenazah Sunan Ngudung dibawa kembali ke Demak oleh para santri yang berduka.

Kekalahan Sunan Ngudung tidak menghentikan upaya Demak. Putra Sunan Ngudung, Raden Jakfar Shadiq, yang kemudian dikenal sebagai Sunan Kudus, memimpin serangan ketiga ke Majapahit dengan kekuatan yang lebih besar dan pusaka dari Sunan Giri, Sunan Gunung Jati, serta Arya Damar. 

Dalam pertempuran ketiga ini, pasukan Demak berhasil meraih kemenangan besar. Pasukan Majapahit, yang terdesak oleh keajaiban pusaka, tidak mampu bertahan lebih lama dan akhirnya runtuh.

Setelah kejatuhan Majapahit, Raden Kusen, yang mengetahui bahwa kekuasaan Majapahit telah berakhir, memilih untuk menyerahkan diri kepada Raden Patah, saudaranya di Demak. Sebagai tanda rekonsiliasi dan menghargai hubungan keluarga, Raden Patah mengembalikan tanah Terung kepada Raden Kusen. Raden Kusen kemudian menetap di sana hingga akhir hayatnya.

Perang ini menandai berakhirnya kekuasaan Majapahit dan awal dari kebangkitan Kesultanan Demak sebagai kekuatan dominan di Nusantara. Pertarungan ini tidak hanya mengubah lanskap politik, tetapi juga mencerminkan kompleksitas hubungan keluarga dan kesetiaan dalam sejarah Jawa.

 

Warisan Raden Kusen dan Keturunannya

Raden Kusen tidak hanya dikenal sebagai panglima perang yang tangguh, tetapi juga sebagai seorang pemimpin yang bijaksana. Ia memiliki beberapa anak, di antaranya Arya Terung yang menjadi Adipati Sengguruh dan Arya Balitar yang menjadi Adipati Balitar. Kedua anaknya ini juga memainkan peran penting dalam sejarah daerah mereka masing-masing, meskipun akhirnya mereka menjadi korban dalam konflik politik dan sosial pada masa itu.

Warisan Raden Kusen dan keturunannya tetap dikenang hingga hari ini. Mereka tidak hanya berkontribusi pada sejarah lokal, tetapi juga pada narasi besar sejarah Nusantara. Kisah mereka mencerminkan kompleksitas dan dinamika masa transisi dari Majapahit ke Demak, serta bagaimana individu-individu dalam sejarah dapat mempengaruhi jalannya peristiwa besar.

Raden Kusen: Figur Besar dalam Sejarah Tanah Jawa

Raden Kusen Adipati Terung adalah figur besar dalam sejarah tanah Jawa, yang peran dan kontribusinya tidak dapat diabaikan. Sebagai seorang panglima perang Majapahit dan pemimpin Kadipaten Terung, ia memainkan peran kunci dalam salah satu periode paling penting dalam sejarah Indonesia. Kisah hidupnya, serta nasib tragis keturunannya, Arya Balitar dan Adipati Sengguruh, mencerminkan kompleksitas dan dinamika sejarah pada masa transisi dari Majapahit ke Demak.

Melalui artikel ini, kita dapat melihat bagaimana Raden Kusen, meskipun berada dalam situasi yang sulit, tetap memegang teguh prinsip-prinsip kepemimpinannya dan berkontribusi pada sejarah tanah Jawa. Kisahnya adalah bagian dari warisan sejarah kita, yang mengajarkan tentang keberanian, kesetiaan, dan kebijaksanaan dalam menghadapi perubahan besar dalam sejarah.

 


Topik

Hiburan, Seni dan Budaya Sejarah Blitar Balitar Arya Balitar Raden Kusen Raden Balitar



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Sri Kurnia Mahiruni