JATIMTIMES - Di Jalur Lintas Selatan Kabupaten Lumajang, Jawa Timur tersembunyi sebuah tempat yang menyimpan cerita sejarah nan dramatis - Pantai Mbah Drajid. Pantai ini tidak hanya menawarkan keindahan alamnya, tetapi juga menjadi saksi bisu dari pelarian dan perjuangan tiga pangeran dari Kerajaan Surabaya yang terjebak dalam konflik besar antara Kerajaan Mataram dan Kerajaan Surabaya pada abad ke-17.
Dalam artikel ini, kita akan menggali lebih dalam tentang peristiwa penting yang mengaitkan pangeran-pangeran ini dengan tempat yang kini dikenal sebagai Pantai Mbah Drajid, serta menelusuri jejak peradaban yang hampir terlupakan di Lumajang.
Baca Juga : Sejarah Masuknya Islam di Jawa, Sunan Ampel dan Titik Balik Islamisasi Era Majapahit
Jejak Kerajaan Surabaya di Tanah Lumajang: Ziarah ke Makam Pangeran Indrajid dan Pangeran Trunojoyo
Dalam perjalanan ke Desa Wotgalih, Kecamatan Yosowilangun, Kabupaten Lumajang, penulis berkesempatan untuk berziarah ke makam dua pangeran legendaris dari Kerajaan Surabaya: Pangeran Indrajid dan Pangeran Trunojoyo. Makam mereka terletak bersebelahan, bersih dan dihiasi dengan cat warna putih yang menambah suasana sakral dan ketenangan. Lokasi ini, yang berdekatan dengan sebuah masjid, menjadi saksi bisu dari kisah heroik dan perjuangan mereka dalam sejarah panjang Jawa Timur.
Saat berada di lokasi, penulis menyaksikan sekelompok santri yang khusyuk melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an di sekitar makam, memberikan nuansa spiritual dan kedamaian yang mendalam. Lantunan ini tidak hanya sebagai tanda penghormatan kepada arwah dua pangeran besar tetapi juga memperkuat ikatan antara masa kini dengan masa lalu.
Menariknya, di luar makam Pangeran Indrajid dan Pangeran Trunojoyo, terdapat banyak makam-makam lain yang tersebar di area tersebut. Meskipun mereka tampak tua dan telah berusia berabad-abad, informasi tentang identitas dari makam-makam tersebut tetap menjadi misteri. Kehadiran makam-makam yang tak bernama ini menambah aura mistis dan menggugah rasa ingin tahu, seolah menyimpan cerita-cerita yang masih tersembunyi dari masa kejayaan Kerajaan Surabaya yang kini hanya bisa kita kenang melalui jejak-jejak seperti ini.
Dalam diamnya, kompleks makam ini mengajak setiap pengunjung untuk merenungi kekayaan sejarah yang terkandung di dalamnya. Di sini, kita tidak hanya mengenang dua pangeran besar yang pernah hidup dan berjuang, tetapi juga merasakan kehadiran tak kasat mata dari sejarah panjang yang pernah terjadi di tanah Jawa. Lumajang, dengan segala kesederhanaannya, menyimpan potongan-potongan berharga dari masa lalu yang membentuk identitas kita hari ini.
Kejayaan dan Keruntuhan Kerajaan Surabaya
Kerajaan Surabaya, yang muncul sebagai kekuatan besar di Jawa setelah runtuhnya Kerajaan Demak, memainkan peran penting dalam sejarah maritim Nusantara. Didirikan oleh keturunan Sunan Ampel, salah satu Wali Songo yang berperan dalam penyebaran Islam di Jawa, Kerajaan Surabaya dikenal sebagai kerajaan dagang yang kaya dan berpengaruh.
Pada masa puncaknya di awal abad ke-16, Surabaya menguasai perdagangan di seluruh Nusantara, dengan perahu-perahu dagangnya menjelajahi perairan dari Selat Malaka hingga ke Kepulauan Maluku dan Kalimantan.
Dalam catatan sejarahnya yang mendalam, Artus Gijsels menggambarkan Kerajaan Surabaya sebagai salah satu kerajaan yang paling berpengaruh di Jawa Timur pada masanya. Ia memberikan gambaran yang sangat detail tentang bagaimana kerajaan ini berfungsi dan bagaimana ibu kotanya diatur.
Menurut Gijsels, ibu kota Kerajaan Surabaya memiliki lingkaran dengan panjang sekitar lima mil, menunjukkan besarnya wilayah pusat pemerintahan ini. Kota tersebut dikelilingi oleh sistem pertahanan yang terdiri dari tembok yang kuat di sebagian wilayah dan baluwarti atau benteng di bagian lainnya, menunjukkan perhatian yang besar pada aspek keamanan.
Selain itu, Surabaya juga dihiasi dengan parit-parit indah yang mengelilingi kota, memberikan kesan estetika sekaligus perlindungan tambahan. Di antara tembok dan parit tersebut, berdiri tanggul yang kokoh, menambah kompleksitas struktur pertahanan kota ini. Pusat ibu kota kerajaan diduga berada di sepanjang kedua sisi Kali Mas, dengan panjang tembok sekitar 30 kilometer yang melindungi istana raja dan rumah-rumah di dalam benteng yang diperkirakan cukup megah pada zamannya.
Gijsels juga mencatat bahwa Kerajaan Surabaya memiliki pintu-pintu air di sepanjang tembok kota. Setiap 15 menit perjalanan sepanjang jalur tembok ini, terdapat pintu gerbang yang bentuknya mirip dengan pintu-pintu di Eropa, yang dijaga ketat oleh sekitar 15 hingga 20 prajurit. Jalur ini juga dilengkapi dengan pos bea cukai yang memungut pajak 10% dari semua barang yang melintasi gerbang-gerbang tersebut. Ini menunjukkan betapa pentingnya kontrol ekonomi dan keamanan bagi kerajaan ini.
Di depan pintu gerbang utama menuju keraton, terdapat taman yang dipenuhi dengan pohon-pohon besar dan indah, termasuk pohon linde atau beringin yang rimbun. Di bawah pohon-pohon ini, terdapat bangku-bangku dan tempat duduk khusus untuk raja, sementara kaum bangsawan duduk di tanah. Gambaran ini mengingatkan kita pada suasana Alun-Alun di Keraton Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta yang juga memiliki pengaturan serupa untuk raja dan bangsawan.
Gijsels juga melaporkan tentang keberadaan pasar yang terletak di depan istana. Pasar ini bukan hanya berfungsi sebagai pusat ekonomi, tetapi juga sebagai tempat di mana pejabat negara mengadili para penjahat. Pengadilan di masa itu dikenal sangat kejam; perampok biasanya dihukum mati dengan keris atau dilempar ke dalam api. Fungsi pasar sebagai tempat pengadilan menunjukkan bagaimana hukum dan perdagangan saling terkait dalam struktur sosial Kerajaan Surabaya.
Tidak hanya dalam aspek sosial dan ekonomi, Kerajaan Surabaya juga dikenal memiliki teknologi militer yang cukup maju untuk zamannya. Raja Surabaya, sebagaimana dicatat oleh Gijsels, memiliki artileri dan lebih dari 20 meriam yang terbuat dari besi dan perunggu. Salah satu meriam ini bahkan dikatakan sebanding dengan meriam milik Belanda, menunjukkan keahlian luar biasa yang dimiliki oleh penduduk Surabaya dalam pembuatan senjata.
Raja Surabaya terakhir dan yang paling terkenal adalah Panji Jayalengkara, seorang penguasa yang hidup sezaman dengan Panembahan Hanyakrawati dan Sultan Agung dari Mataram. Jayalengkara memimpin Surabaya dengan kekuatan militer yang tangguh dan ekonomi yang makmur. Namun, nasib Surabaya mulai berbalik ketika Kerajaan Mataram, yang dipimpin oleh Sultan Agung, mulai memperluas pengaruhnya ke timur.
Ketegangan antara Surabaya dan Mataram mencapai puncaknya pada awal abad ke-17. Sultan Agung, yang berambisi menyatukan seluruh Jawa di bawah kekuasaannya, mengarahkan serangkaian serangan terhadap Surabaya dan sekutu-sekutunya. Pertempuran besar terjadi pada tahun 1614, ketika pasukan Mataram, dipimpin oleh Tumenggung Suratani, melakukan ekspedisi militer ke Jawa Timur. Meskipun Tumenggung Suratani tewas dalam pertempuran di Sungai Brantas, Mataram akhirnya berhasil memaksa Surabaya menyerah pada tahun 1625.
Keagungan Kerajaan Surabaya tidak bertahan selamanya. Istana yang megah ini masih berdiri hingga akhir abad ke-16, tetapi pada tahun 1708, istana tersebut sempat menjadi tempat tinggal Sunan Amangkurat II dari Mataram setelah Surabaya diturunkan statusnya menjadi kadipaten di bawah Kerajaan Mataram Islam. Ketika Amangkurat II berkunjung ke Jawa Timur pada tahun 1679-1680, ia menggunakan Istana Surabaya sebagai tempat peristirahatan.
Seiring berjalannya waktu, istana ini mulai mengalami kerusakan. Pada tahun 1708, yang tersisa dari keraton hanya temboknya saja, dan bagian dalamnya telah dipenuhi oleh semak belukar. Ketika Sunan Amangkurat III akan ditahan di sana, kondisi bangunan sangat buruk sehingga Belanda harus mendirikan bangunan baru yang layak untuk manusia.
Pada akhirnya, istana Kerajaan Surabaya benar-benar hancur tanpa bekas akibat perang besar pada tahun 1719. Kejayaan dan kemegahan Kerajaan Surabaya kini hanya tinggal cerita yang tidak menyisakan peninggalan monumen bersejarah, namun kisahnya tetap hidup dalam catatan sejarah yang ditinggalkan oleh para saksi masa lalu seperti Artus Gijsels.
Penaklukan dan Eksekusi Mati Pangeran Pekik
Setelah penaklukan Surabaya, nasib keluarga kerajaan Surabaya berbalik menjadi tragis. Pangeran Pekik, putra Jayalengkara, diampuni dan diangkat sebagai Adipati Surabaya oleh Sultan Agung, namun hubungan antara Surabaya dan Mataram tetap dipenuhi ketegangan dan kecurigaan. Pangeran Pekik punya tiga saudara, yaitu Pangeran Indrajid, Pangeran Trunojoyo dan Pangeran Wirodarmo.
Pada tahun 1670, masa jabatan Pangeran Pekik berakhir dengan tragis ketika Amangkurat I, Raja Mataram dan juga menantunya, memerintahkan eksekusinya. Eksekusi ini tidak hanya menutup babak hidup Pangeran Pekik tetapi juga memaksa saudara-saudaranya—Pangeran Indrajid, Pangeran Trunojoyo, dan Pangeran Wirodarmo—untuk melarikan diri ke Lumajang, menghindari nasib serupa.
Baca Juga : Panduan Lengkap Memulai Investasi Cryptocurrency
Sejak tahun 1645, Mataram dipimpin oleh Amangkurat I yang menggantikan ayahnya, Sultan Agung. Hubungan antara Amangkurat I dan Pangeran Pekik, yang merupakan mertuanya, semakin memburuk dari waktu ke waktu. Dalam berbagai naskah babad, diceritakan bahwa Amangkurat I tertarik pada seorang gadis Surabaya bernama Rara Oyi, putri Ki Mangun Jaya. Karena usianya yang masih sangat muda, Rara Oyi diasuh oleh Ki Wirareja. Ketika ia dewasa, kecantikan Rara Oyi memikat hati Raden Mas Rahmat, putra Amangkurat I yang lahir dari permaisuri putri Pekik. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1663 dan menambah ketegangan di antara mereka.
Setelah eksekusi, Pangeran Pekik dimakamkan di Makam Banyusumurup, Imogiri, Bantul, Yogyakarta. Kompleks makam ini khusus diperuntukkan bagi anggota keluarga kerajaan yang dianggap memberontak atau membangkang terhadap kekuasaan. Narasi ini memperlihatkan kompleksitas dan drama di balik hubungan antara Mataram dan Surabaya, serta dampak besar dari keputusan-keputusan politik terhadap keluarga kerajaan.
Pelarian ke Lumajang: Menemukan Tempat Aman
Lumajang pada abad ke-17 adalah wilayah yang relatif aman dan jauh dari pusat kekuasaan Mataram. Tiga pangeran dari Surabaya, yaitu Indrajid, Trunojoyo, dan Wirodarmo, memilih untuk melarikan diri ke Lumajang setelah eksekusi kakak mereka, Pangeran Pekik. Meski tidak ada catatan pasti tentang alasan pelarian mereka, bisa dipastikan mereka ingin menjauh dari kejamnya pemerintahan Amangkurat I.
Pantai Mbah Drajid, tempat mereka akhirnya menetap, adalah pantai yang tenang dan terpencil di selatan Lumajang. Di sini, mereka membangun kehidupan baru, jauh dari bayang-bayang konflik dan ancaman eksekusi. Menurut cerita setempat, ketiga pangeran ini tidak hanya bersembunyi tetapi juga berkontribusi dalam penyebaran Islam dan menjalin hubungan erat dengan masyarakat lokal.
Pangeran Indrajid, Trunojoyo, dan Wirodarmo membawa serta warisan budaya dan keahlian mereka dari Kerajaan Surabaya. Mereka membantu masyarakat lokal dalam berbagai aspek, termasuk pertanian, perdagangan, dan pendidikan agama. Meski hidup dalam eksil, mereka tidak pernah benar-benar dilupakan oleh masyarakat Lumajang.
Makam Pangeran Indrajid dan Pangeran Trunojoyo yang terletak di sekitar Pantai Mbah Drajid tetap menjadi tujuan ziarah yang ramai dikunjungi hingga saat ini. Sementara, makam Pangeran Wirodarmo berlokasi di tengah Kota Lumajang.
Jejak Kerajaan Surabaya dan Pengaruhnya di Luar Jawa
Kerajaan Surabaya, selain kuat di Jawa, juga memiliki pengaruh signifikan di luar pulau Jawa, khususnya di Kalimantan. Wilayah-wilayah seperti Sukadana dan Banjarmasin berada di bawah kekuasaan Surabaya. Ratu Sukadana, misalnya, pernah meminta bantuan Raja Surabaya untuk menghadapi Belanda yang ingin mendirikan loji di daerah tersebut.
Pada tahun 1622, Gubernur Kendal melaporkan kepada Batavia bahwa Sukadana adalah bagian dari wilayah kekuasaan Kerajaan Surabaya. Laporan ini menunjukkan betapa luasnya pengaruh Surabaya pada saat itu. Pengaruh ini juga terlihat dari penggunaan bahasa dan adat istiadat Jawa di wilayah-wilayah seperti Banjarmasin, yang dipengaruhi oleh dominasi Surabaya.
Meskipun banyak dari kejayaan Kerajaan Surabaya telah hilang ditelan zaman, beberapa peninggalan sejarah masih bisa ditemukan. Misalnya, pada akhir abad ke-17, sisa-sisa istana Surabaya masih dapat ditemui meski sudah mulai hancur. Amangkurat II dari Mataram bahkan sempat menggunakan bekas istana ini sebagai pasanggrahan pada kunjungannya ke Jawa Timur pada tahun 1679-1680.
Oleh sebab itulah, makam tiga pangeran Surabaya ini di Lumajang merupakan situs bersejarah bernilai tinggi. Jejak-jejak kerajaan Surabaya, yang dulunya pernah berjaya, kini hampir tak berbekas lagi. Makam-makam ini menjadi salah satu dari sedikit peninggalan fisik yang tersisa, membawa kisah-kisah heroik dan perjuangan mereka ke dalam ingatan kolektif kita.
Dalam ketiadaan reruntuhan atau bangunan kuno lainnya, makam-makam ini berfungsi sebagai pintu gerbang menuju masa lalu yang kaya, menyatukan kita dengan akar sejarah yang begitu dalam dan memberikan kita kesempatan untuk merenungkan betapa besar peran mereka dalam membentuk wilayah ini.
Keruntuhan Surabaya dan hilangnya banyak peninggalan fisik mengingatkan kita akan pentingnya melestarikan situs-situs sejarah. Pantai Mbah Drajid, dengan semua kisah yang melekat padanya, adalah salah satu contoh dari banyak situs yang memegang cerita berharga dari masa lalu. Melestarikan tempat-tempat seperti ini adalah cara kita untuk menghormati dan menjaga warisan budaya yang kita miliki.
Upaya untuk menghidupkan kembali cerita dan warisan Kerajaan Surabaya terus dilakukan oleh sejarawan dan peneliti. Dokumenter dan buku seperti "Puncak Kekuasaan Mataram" karya HJ De Graaf memberikan wawasan mendalam tentang hubungan antara Mataram dan Surabaya, serta konflik yang terjadi di antara mereka. Penelitian lebih lanjut juga dilakukan untuk menggali lebih dalam tentang kehidupan tiga pangeran yang melarikan diri ke Lumajang dan kontribusi mereka terhadap masyarakat lokal.
Penemuan jejak peradaban di Pantai Mbah Drajid dan daerah sekitarnya menjadi dorongan bagi upaya pelestarian lebih lanjut. Arkeolog dan sejarawan didorong bekerja sama untuk memastikan bahwa cerita-cerita ini tidak hilang dan bahwa generasi mendatang dapat belajar dari masa lalu. Masyarakat lokal juga berperan penting dalam menjaga dan merawat situs-situs ini sebagai bagian dari identitas dan warisan bangsa Indonesia.
Pantai Mbah Drajid di Lumajang bukan hanya sebuah destinasi wisata yang indah, tetapi juga sebuah situs bersejarah yang penuh dengan cerita tentang kejayaan dan tragedi masa lalu. Melalui penemuan dan pemahaman tentang jejak peradaban yang terlupakan ini, kita diajak untuk menghargai nilai-nilai sejarah dan budaya yang telah membentuk identitas kita sebagai bangsa.
Menghidupkan kembali cerita tentang Pangeran Indrajid, Trunojoyo, dan Wirodarmo, kita tidak hanya mengenang perjuangan mereka untuk menjaga kehormatan dan hidup dalam pengasingan, tetapi juga belajar tentang keteguhan hati, keadilan, dan pengorbanan. Kisah-kisah ini menginspirasi kita untuk terus menjaga dan merawat warisan budaya kita, agar tidak terlupakan dan tetap hidup dalam ingatan generasi mendatang.