free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Serba Serbi

Mengenang Bung Karno: Napas Terakhir Sang Proklamator pada 21 Juni 1970

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : A Yahya

21 - Jun - 2024, 17:33

Placeholder
Suasana pemakaman Presiden pertama RI Ir Soekarno di Blitar.(Foto: Ist)

JATIMTIMES - Tanggal 21 Juni setiap tahunnya menandai momen penting dalam sejarah Indonesia. Pada hari ini, pada tahun 1970, Dr. (H.C.) Ir. H. Soekarno atau yang akrab dipanggil Bung Karno, Presiden pertama Republik Indonesia, meninggal dunia. 

Peranannya dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan bangsa ini menjadikannya tokoh sentral yang dikenang oleh setiap lapisan masyarakat. Artikel ini menyelami hari-hari terakhir Bung Karno, dinamika politik yang melingkupinya, dan kontroversi terkait pemakamannya.

Bung Karno: Sang Pemimpin Revolusi

Baca Juga : Liburan Akhir Semester PT KAI Daop 9 Jember Operasionalkan KA Mutiara Timur Akhir Pekan

Soekarno lahir pada 6 Juni 1901, di Surabaya, dari pasangan Raden Soekemi Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Rai. Ia tumbuh menjadi pemimpin yang visioner dan orator ulung yang mampu menyatukan berbagai elemen bangsa dalam perjuangan kemerdekaan. Bersama Mohammad Hatta, ia memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 dan menjadi Presiden pertama Republik Indonesia hingga 1967 .

Selama masa kepemimpinannya, Bung Karno mencetuskan Pancasila sebagai dasar negara dan berupaya membangun Indonesia menjadi negara yang berdikari. Namun, pemerintahannya tidak lepas dari tantangan besar, terutama pada dekade 1960-an ketika Indonesia mengalami krisis ekonomi yang parah, kelaparan, dan hiperinflasi .

Detik-detik Menjelang Wafatnya Bung Karno

Kesehatan Soekarno mulai menurun sejak awal 1965. Ia diketahui menderita gangguan ginjal dan telah menjalani perawatan di Wina, Austria pada tahun 1961 dan 1964 . Pada tahun-tahun terakhir pemerintahannya, Soekarno semakin terpinggirkan oleh dinamika politik yang memuncak dengan pemberian Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada 1966 kepada Letnan Jenderal Soeharto, yang akhirnya menggantikan posisinya .

Setelah dilengserkan pada tahun 1967, Soekarno menjalani masa-masa sulit sebagai tahanan politik di bawah rezim Orde Baru. Ia dipindahkan ke Wisma Yasoo, Jakarta, pada tahun 1969, di mana ia menjalani hari-hari terakhirnya dalam isolasi dan pengawasan ketat .

Pada 6 Juni 1970, Soekarno merayakan ulang tahunnya yang ke-69. Kesehatannya yang sudah sangat rapuh membuatnya tidak bisa beranjak dari tempat tidur. Kesedihan menyelimuti perayaan tersebut, yang tidak disertai kemeriahan sebagaimana tahun-tahun sebelumnya . Sepuluh hari kemudian, pada 11 Juni, ia dilarikan ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto karena kondisinya yang semakin memburuk .

Pertemuan Mengharukan dengan Sahabat Lama

Di tengah kondisi yang memburuk, Bung Karno masih sempat menerima kunjungan dari sahabat lamanya, Mohammad Hatta. Pertemuan ini terjadi pada 19 Juni 1970, hanya dua hari sebelum wafatnya Bung Karno. Hatta, yang dahulu berpisah jalan politik dengan Soekarno, datang dengan izin khusus dari Soeharto .

Keduanya terlibat dalam momen penuh emosi di mana Bung Karno dengan susah payah menyapa sahabat lamanya dalam bahasa Belanda, “Hoe gaat het met jou? (Apa kabar?)” Bung Karno bahkan menitikkan air mata ketika Hatta memijiti lengannya, menunjukkan bahwa meskipun ada perbedaan politik, persahabatan mereka tetap abadi .

Hari-hari Terakhir di RSPAD

Di akhir hayatnya, Bung Karno sempat menerima kunjungan dari istri terakhirnya, Ratna Sari Dewi, dan putri kecil mereka, Kartika Sari Dewi atau Karina. Pertemuan ini adalah yang pertama bagi Bung Karno dan Karina, karena putrinya itu lahir di Jepang dan belum pernah bertemu dengan ayahnya sebelumnya. Momen ini menjadi salah satu titik emosional terakhir dalam hidup Bung Karno, meskipun kesehatannya yang terus menurun membuatnya sulit untuk tetap sadar.

Menjelang tengah malam, kesadaran Bung Karno semakin menurun dan akhirnya ia kembali mengalami koma. Pada pagi hari 21 Juni 1970, Ketua Tim Dokter Kepresidenan, Mahar Mardjono, menyatakan bahwa Bung Karno telah meninggal dunia pada pukul 07.00 pagi. Masyarakat yang mendengar kabar duka ini segera berkumpul di luar RSPAD Gatot Soebroto untuk memberikan penghormatan terakhir mereka kepada pemimpin besar yang telah membawa Indonesia merdeka.

 

Kontroversi Pemakaman

Setelah wafatnya Bung Karno, kontroversi mengenai tempat pemakamannya segera mencuat. Dalam kehidupan, Soekarno pernah menyatakan keinginannya untuk dimakamkan di bawah pohon rindang, dikelilingi pemandangan yang indah dan berada di sebelah sungai dengan air jernih . Ia pernah menyebut keinginannya untuk dimakamkan di daerah Priangan, di tanahnya di Batu Tulis, Bogor .

Namun, atas keputusan Presiden Soeharto, Bung Karno akhirnya dimakamkan di Blitar, Jawa Timur, dekat dengan makam ibunya. Keputusan ini dianggap oleh banyak sejarawan sebagai langkah politis. Soeharto dikabarkan memilih Blitar untuk mengurangi kemungkinan tempat pemakaman Bung Karno menjadi pusat pergerakan oposisi terhadap rezim Orde Baru .

Baca Juga : Tingkatkan Mutu Pendidikan dan Kebudayaan, HMI Cabang Persiapan Kota Malang Perkuat Sinergi dengan Disdikbud

Pada 22 Juni 1970, jenazah Bung Karno diserahkan kepada Pejabat Panglima Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), Jenderal Panggabean, oleh Presiden Soeharto dalam sebuah upacara yang penuh khidmat. Rakyat Indonesia menunjukkan penghormatan terakhir mereka di sepanjang jalan dari Wisma Yasoo hingga Lapangan Udara Halim Perdanakusumah .

Di Blitar, ribuan orang berkumpul untuk memberikan penghormatan terakhir. Jenazah Soekarno dimakamkan dengan upacara militer, diiringi tembakan kehormatan dan doa-doa. Tempat peristirahatan terakhirnya di Blitar kini menjadi situs ziarah yang dihormati, menandakan pengaruh abadi dari sang Proklamator .

Warisan Bung Karno

Meski berakhir dalam pengasingan dan kesepian, warisan Bung Karno tetap kuat dan menginspirasi. Ia dikenang sebagai Bapak Proklamator, pencetus Pancasila, dan seorang pemimpin revolusi yang tidak pernah lelah berjuang untuk kemerdekaan dan martabat bangsa Indonesia. Pemikirannya tentang nasionalisme, persatuan, dan kemandirian terus menjadi pedoman bagi banyak generasi setelahnya.

Sebagai Presiden pertama, ia meletakkan dasar bagi negara baru yang merdeka, meskipun pemerintahannya juga menghadapi tantangan besar dan kontroversi. Dalam banyak hal, visi dan perjuangan Bung Karno untuk Indonesia yang adil dan sejahtera masih relevan hingga hari ini. Peringatan hari wafatnya setiap tanggal 21 Juni adalah waktu yang tepat untuk mengenang dan merefleksikan kontribusinya bagi bangsa ini.

Hari wafatnya Bung Karno pada 21 Juni 1970 adalah momen duka yang mendalam bagi bangsa Indonesia. Namun, lebih dari sekadar mengenang kematiannya, penting untuk mengingat hidupnya dan segala perjuangan serta pengorbanan yang telah ia lakukan untuk Indonesia. Bung Karno adalah simbol dari semangat juang yang tak pernah padam dan keberanian untuk bermimpi dan mewujudkan kemerdekaan. Dalam setiap lembar sejarah Indonesia, nama Bung Karno akan selalu terukir sebagai penyambung lidah rakyat yang tidak pernah berhenti memperjuangkan hak dan martabat bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke.


Topik

Serba Serbi Bung Karno sejarah bung Karno kisah bung Karno



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

A Yahya