free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Serba Serbi

Kisah Pilu di Laut Jawa: Tragedi Misi Haji Sultan Agung yang Terhenti di Tangan Kolonial Belanda

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Dede Nana

16 - Jun - 2024, 14:24

Placeholder
Ilustrasi pemberangkatan haji pada masa Mataram Islam di era Sultan Agung. (Foto kiri: Ist; Foto kanan: Aunur Rofiq/JatimTIMES)

JATIMTIMES - Pada pertengahan abad ke-17, Nusantara berada dalam cengkeraman persaingan sengit antara kekuatan kolonial Eropa. Pada saat itu, Sultan Agung, penguasa kerajaan Mataram yang perkasa menghadapi tantangan besar dalam upayanya untuk menjalankan rukun Islam yang kelima—menunaikan ibadah haji ke Mekah. Meski niatnya luhur, realitas geopolitik yang keras dan ketidakstabilan akibat konflik antara Belanda dan Inggris menghalangi usahanya.

Misi Haji Sultan Agung: Harapan dan Hambatan

Baca Juga : Kecanduan Game Online, Remaja Blitar Gantung Diri Setelah Handphone Disita

Silsilah Sultan Agung dari Mataram menunjukkan akar kebangsawanan yang kaya dan kompleks, mencerminkan hubungan dinasti dan kekuasaan dari zaman Kesultanan Mataram. Dilahirkan dengan nama Raden Mas Jatmika atau dikenal juga sebagai Raden Mas Rangsang pada tahun 1593 di Kotagede, Sultan Agung adalah putra dari Panembahan Hanyakrawati, yang merupakan putra dari Panembahan Senopati, raja pertama Mataram Islam. Ibunya adalah Ratu Mas Adi Dyah Banawati, putri dari Pangeran Benowo dari Kesultanan Pajang.

Sultan Agung lahir dalam keluarga yang memiliki warisan kuat dalam pemerintahan dan militer, berasal dari Dinasti Mataram yang didirikan oleh Panembahan Senopati. Panembahan Senopati, ayah dari Panembahan Hanyakrawati, memulai era kekuasaan yang dominan di Jawa. Keluarga Sultan Agung juga memiliki hubungan erat dengan Kesultanan Pajang melalui ibunya, yang berasal dari garis keturunan Pangeran Benowo. 

Pangeran Benowo sendiri adalah cucu dan keturunan dari Sultan Hadiwijaya, pendiri Kesultanan Pajang, dan Ki Ageng Pengging, Adipati Pengging di bawah Kesultanan Demak. Sultan Hadiwijaya dan Ki Ageng Pengging merupakan tokoh penting dalam sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah setelah runtuhnya Majapahit.

Sultan Agung tidak hanya dikenal sebagai panglima perang yang ulung, tetapi juga sebagai pemimpin yang membangun kembali dan mengkonsolidasikan Mataram menjadi kekuatan besar di wilayah tersebut. Keturunannya terus menerus memegang peranan penting dalam sejarah Jawa, mewarisi tradisi kekuasaan dan kepemimpinan dari zaman Panembahan Senopati hingga masa pemerintahan Sultan Agung.

Pada tahun 1642, Sultan Agung berkeinginan kuat untuk melaksanakan haji. Namun, tanggung jawabnya sebagai pemimpin kerajaan membuatnya mustahil untuk meninggalkan Mataram. Sebagai solusi, ia memutuskan untuk mengirimkan 18 orang abdi dalem yang loyal sebagai perwakilan. 

Mereka bertugas menjalankan ziarah suci ini atas nama Sultan Agung, membawa kehormatan besar bagi Mataram dan menunjukkan hubungan spiritual mereka dengan dunia Islam yang lebih luas.

Para abdi dalem ini menaiki kapal Inggris bernama Reformation yang direncanakan akan membawa mereka ke Tanah Suci Mekah. Perjalanan mereka seharusnya menjadi lambang kehormatan dan devosi, tetapi takdir berkata lain.

Penyergapan di Laut Jawa

Pada 11 Juli 1642, kapal Reformation berlayar melewati perairan di sebelah barat Pulau Onrust, yang sekarang dikenal sebagai bagian dari Kepulauan Seribu, di utara Batavia. Di sinilah nasib malang menimpa mereka. 

Armada Belanda, yang sudah lama bersaing sengit dengan Inggris di wilayah ini, menyerang kapal tersebut tanpa peringatan. Serangan ini adalah bagian dari kebijakan agresif Belanda untuk mengamankan dominasi mereka di Nusantara dan untuk memblokir setiap usaha Inggris yang mungkin mengganggu perdagangan mereka.

Menurut catatan sejarawan De Graaf, pertempuran singkat namun brutal terjadi, mengakibatkan korban jiwa yang besar. Dari 18 abdi dalem Mataram, hanya tiga yang selamat. Lima belas lainnya tewas dalam serangan yang brutal tersebut. 

Kejadian ini menghancurkan harapan Sultan Agung untuk menjalankan ibadah haji tahun itu dan menandai babak kelam dalam sejarah hubungan antara kekuatan kolonial dan kerajaan lokal.

Konflik Diplomatik dan Reaksi Sultan Agung

Penyerangan terhadap kapal Reformation bukan hanya tragedi bagi para abdi dalem, tetapi juga pukulan telak bagi harga diri Sultan Agung. Mataram yang sudah dalam negosiasi dengan Belanda mengenai perjalanan ini, merasa dihina. Sejak tahun 1640, Batavia telah berjanji untuk memfasilitasi perjalanan utusan Jawa ke Mekah melalui surat kepada Tumenggung Mataram, Kiai Ngabei Dirantaka. Namun, janji ini selalu terhambat oleh kepentingan politik dan persaingan kolonial yang terjadi di kawasan tersebut.

Upaya Sultan Agung untuk mengirim utusan ke Mekah melalui jalur lain juga menemui kendala. Seorang haji dari Gujarat yang terkait dengan upaya pengangkatan Sultan Agung menjadi Sultan tidak berhasil diberangkatkan sesuai harapan. Situasi ini semakin memperumit hubungan antara Mataram, Belanda, dan Inggris.

Di tengah ketegangan yang memuncak, Ralph Cartwright, seorang utusan Inggris, tiba di Mataram. Cartwright, yang membawa hadiah dan mempererat hubungan dagang, memperoleh "pandangan lain" dari tawanan Belanda mengenai niat Sultan Mataram. 

Tawanan ini memperingatkan Cartwright tentang rencana Sultan yang mungkin akan menghalangi upaya pembebasan mereka. Mereka juga mengatur agar Cartwright membawa utusan Raja Mataram ke Mekah dengan kapal Reformation, sebuah langkah yang jelas menunjukkan keinginan Sultan untuk tetap menjalankan niat sucinya meski dihadang oleh konflik.

Penahanan dan Pembalasan

Mengetahui rencana pengiriman utusan ini, Belanda tidak tinggal diam. Pemerintah pusat di Batavia memerintahkan penangkapan kapal Reformation. Pada 11 Juli 1642, empat kapal Belanda menyerang Reformation di dekat Pulau Onrust. Penyerangan ini tidak hanya menewaskan banyak orang Jawa, tetapi juga menambah ketegangan antara Inggris dan Belanda di kawasan tersebut.

Serangan ini memicu kemarahan di kalangan penguasa Mataram. Sultan Agung, yang merasa dihina dan dikhianati, merespons dengan tindakan keras terhadap para tawanan Belanda di Mataram. Dalam langkah yang mencerminkan betapa seriusnya situasi ini, Sultan memerintahkan agar para tawanan Belanda diperlakukan dengan kejam. 

Baca Juga : Saluran Pembuangan Bocor, Tanah di Dalam Rumah Warga Sisir Kota Batu Ambles 10 Meter

Antonie Paulo, seorang pemimpin kerohanian di antara tawanan, menjadi korban dari tindakan balas dendam ini. Paulo dituduh melakukan sihir dan dipasung sebelum akhirnya dilempar ke kolam buaya sebagai hukuman mati. Namun, karena buaya tidak mau memakannya, Sultan akhirnya memerintahkan agar Paulo dikuburkan dengan hormat, menunjukkan penyesalan dan pengakuan bahwa Paulo mungkin tidak bersalah.

Dampak Jangka Panjang

Kegagalan misi haji Sultan Agung membawa dampak yang luas bagi Mataram dan hubungan diplomatiknya dengan kekuatan kolonial. Tragedi ini menegaskan betapa rumitnya kondisi geopolitik pada masa itu, di mana upaya untuk menjalankan kewajiban agama bisa terhalang oleh konflik dan politik global.

Sultan Agung sendiri dikenal sebagai pemimpin yang besar dan bijaksana, meski mengalami kegagalan dalam misi hajinya. Ia tetap memimpin Mataram dengan kekuatan dan semangat yang tak tergoyahkan, menghadapi berbagai tantangan dari dalam maupun luar. Peristiwa ini juga mempertegas ancaman yang terus-menerus dari kekuatan kolonial Eropa dan menciptakan ketidakstabilan yang menghalangi hubungan kerajaan lokal dengan dunia luar.

Bagi Mataram, tragedi ini merupakan pelajaran keras tentang ketidakpastian dan bahaya yang menyertai interaksi dengan kekuatan asing. Meskipun hubungan antara Belanda dan Inggris akhirnya pulih, ketegangan tetap ada. Antonio van Diemen, Gubernur Jenderal Belanda pada saat itu, menyadari bahwa menjaga hubungan baik dengan Inggris adalah penting, tetapi juga memahami bahwa Inggris telah kalah dalam persaingan tersebut. Situasi ini menjadi semakin rumit ketika Inggris dan Belanda terus berusaha mempertahankan dominasi mereka di Nusantara.

Hingga hari ini, kisah tragis dari kapal Reformation tetap hidup dalam sejarah Nusantara. Ini adalah pengingat akan masa lalu yang penuh gejolak, di mana kekuatan kolonial seringkali berakhir dengan kekerasan dan kehilangan. Meski tujuan mulia Sultan Agung untuk menunaikan ibadah haji tidak tercapai, semangat dan dedikasi para abdi dalemnya tetap abadi dalam ingatan sejarah.

Tragedi ini mengingatkan kita akan keberanian dan keteguhan dalam menghadapi tantangan besar. Ini juga menunjukkan bagaimana keinginan untuk menjalankan ibadah dapat terhambat oleh konflik dan politik global. Namun, di balik semua itu, tekad Sultan Agung dan pengorbanan para abdi dalemnya tetap menjadi bagian penting dari sejarah Islam di Nusantara, menginspirasi generasi mendatang untuk terus memperjuangkan kebebasan dan kehormatan dalam menjalankan keyakinan mereka.

Kemuliaan Spiritual Sultan Agung: Salat Jumat di Mekah Meski Tak Hadir Secara Fisik

Meskipun gagal dalam misi haji yang diidamkannya, Sultan Agung dari Mataram pada akhirnya dikabarkan memiliki kemuliaan spiritual yang luar biasa. Konon, beliau mampu melaksanakan salat Jumat di Mekah dekat Ka'bah, meskipun secara jasmani tidak pernah hadir di sana, menjadikan hal tersebut bukti dari kedalaman spiritualitasnya yang mendalam.

Pada tahun 1633, setelah dua serbuan terhadap Batavia yang gagal, reputasi Sultan Agung dari Mataram tengah diuji. Dalam upaya memperbaiki hubungan spiritual dan politiknya, Sultan Agung memutuskan untuk melakukan ziarah ke makam Sunan Tembayat di Bayat, Klaten. Sunan Tembayat, tokoh yang sangat dihormati dalam penyebaran Islam di Jawa selatan, dipilihnya sebagai tujuan untuk mendapatkan dukungan moral dari rakyatnya yang terpengaruh dengan kegagalan militer sebelumnya.

Sebelum ziarahnya, hubungan antara Dinasti Mataram dan Sunan Tembayat tidak selalu harmonis. Namun, dengan kunjungan penuh penghormatan ini, Sultan Agung berhasil meredakan ketegangan dan menunjukkan niat tulusnya untuk mendapatkan berkah dari Sunan Tembayat.

Setelah tiba di makam Sunan Tembayat, Sultan Agung menghabiskan waktu dalam doa dan penghormatan yang mendalam. Keberadaannya di sana tidak hanya sebagai penguasa, tetapi juga sebagai pribadi yang mencari petunjuk dan keberkahan dari Allah melalui Sunan yang dihormatinya.

Sebagai wujud dari komitmennya, Sultan Agung memerintahkan pemugaran besar-besaran terhadap makam dan masjid Sunan Tembayat. Proyek pemugaran ini bukan hanya sekadar pembangunan fisik, melainkan juga simbol dari penghormatan Sultan Agung terhadap tradisi keagamaan Jawa yang kaya dan nilai-nilai moral yang dianutnya.

Konon, setelah pemugaran selesai, Sultan Agung dikatakan telah menerima karomah atau kemuliaan spiritual. Salah satu cerita terkenal adalah bahwa Sultan Agung mampu melaksanakan shalat Jumat di Mekah dekat Ka'bah, meskipun secara fisik tidak pernah hadir di sana. Keistimewaan ini dianggap sebagai bukti nyata dari kedalaman spiritual Sultan Agung dan sebagai bukti anugerah Allah atas pengabdian Sultan Agung dalam memuliakan Sunan Tembayat.

Secara politik, ziarah dan pemugaran ini berhasil mengukuhkan posisi Sultan Agung dalam kekuasaan Mataram. Ia tidak hanya dikenal sebagai panglima perang yang ulung, tetapi juga sebagai pemimpin yang menghormati dan memelihara nilai-nilai spiritual masyarakat Jawa. Ziarah ke makam Sunan Tembayat pada tahun 1633 menjadi titik balik penting dalam sejarah kekuasaan dan spiritualitas di Jawa, meneguhkan posisi Sultan Agung sebagai salah satu raja terbesar dalam sejarah Mataram Islam.


Topik

Serba Serbi sultan agung kapal reformation belanda vs inggris misi haji sultan agung



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Dede Nana