JATIMTIMES - Dalam perjalanan sejarah pendidikan di Indonesia, Pancasila selalu menjadi landasan utama yang menuntun generasi bangsa. Mulai dari jenjang sekolah dasar hingga pendidikan tinggi, para siswa diharuskan menghafal tidak hanya lima sila Pancasila, melainkan juga 36 butir-butir Pancasila.
Butir-butir ini kerap muncul dalam ujian Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan bahkan diuji secara lisan oleh guru. Aktivitas ini membawa siswa ke Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), yang menekankan pada pemahaman nilai-nilai luhur yang telah ditetapkan dalam Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang perwujudan Ekaprasetia Pancakarsa.
Baca Juga : Djarot Saiful Hidayat Kenang Sejarah: Hari Lahir Pancasila Dimulai dari Kota Blitar
Whedy Prasetyo, seorang tenaga pendidik di Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jember, mengingat kembali masa-masa tersebut sebagai dasar pembentukan moral dan kebajikan. "P4 memberikan landasan moral yang kuat bagi kami, mendorong untuk memiliki sikap rendah hati, terbuka, kritis, dan toleran dalam proses pembelajaran," ungkap Whedy pada Sabtu (1/6/2024).
Nilai-nilai ini, menurutnya, sangat berpengaruh dalam keberhasilan proses pembelajaran, yang memerlukan jiwa pelaku pembelajar yang kuat.
Proses pembelajaran transdisipliner yang berjiwa Pancasila tidak hanya memfokuskan pada pengetahuan akademis semata, tetapi juga pada pembentukan karakter dan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Whedy menekankan bahwa budaya merupakan faktor utama yang mendukung tradisi pembelajaran yang berbasis pada keyakinan dan pembuktian ilmiah. "Budaya adalah status ego yang dipilih dan mempengaruhi tindakan komunikasi pembelajaran untuk menghasilkan pengembangan ilmiah," tambahnya.
Nilai-nilai luhur Pancasila memberikan keyakinan tinggi terhadap perilaku komunikasi. Teori pengakuan terkait teori transaksi menunjukkan bahwa setiap tindakan komunikasi adalah sebuah transaksi yang melibatkan status ego dan pengalaman masa kecil. "Setiap tindakan komunikasi adalah sebuah transaksi yang melibatkan status ego dan kumpulan pengalaman masa kecil," jelas Whedy, mengutip teori Eric Berne tentang analisis transaksional.
Menurut dia, proses pertukaran pesan, baik verbal maupun nonverbal, termasuk budaya, memainkan peran penting dalam pembelajaran.
Budaya luhur Pancasila juga memberikan dasar yang kokoh bagi komunikasi subjektif dalam berinteraksi sehari-hari. Pemerintah sendiri telah menunjukkan komitmennya dalam menggaungkan kebesaran Pancasila melalui penetapan Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni dan pembentukan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). "Dukungan ini memberikan dasar luhur ‘rasa dan bakti’ bagi diri pembelajar, yang menjadi jaminan tumbuhnya komunikasi kebersamaan yang kreatif, inovatif, kerja keras, dan saling bertanggung jawab," ujar Whedy.
Dalam konteks pembelajaran transdisipliner, Whedy menyatakan bahwa motivasi diri pembelajar harus diciptakan melalui keinginan perenungan dan pengawasan pembelajaran dalam kesadaran, pengembangan profesional diri, pendidikan, dan kemampuan melalui budaya Pancasila. Pembelajaran berjiwa Pancasila digunakan sebagai pembentuk perilaku komunikasi diri dalam penyampaian pesan. "Perilaku yang memberikan motivasi pada kelima status ego diri pembelajar menuju manusia ahli dan utuh berjiwa Pancasila," tegasnya.
Baca Juga : Kota Blitar Rayakan Hari Lahir Pancasila dengan Upacara Budaya, Kirab Gunungan Lima, dan Kenduri
Whedy juga menyoroti pentingnya pembelajaran transdisipliner yang melibatkan berbagai bidang ilmu pengetahuan dan humaniora. "Pembelajaran harus menganggap bidang keilmuan dan humaniora adalah sama pentingnya," katanya. Ia menambahkan bahwa pembelajaran harus terpadu oleh satu kesatuan konsep, di mana satu bidang melengkapi bidang yang lain. Tujuan pembelajaran tidak hanya fokus pada penguasaan pengetahuan, tetapi juga pada pencapaian luhur pola sikap dan tindakan, komunikasi efektif, serta keterampilan.
Pendekatan filsafati juga bisa dipakai sebagai konsep yang menyatukan pembelajaran keilmuan dan humaniora. "Pendekatan ini memungkinkan terciptanya suasana keleluasaan dan dialog akademik atau ilmiah yang partisipatif, terbuka, dan reflektif," lanjut Whedy. Menurutnya, integrasi pembelajaran transdisipliner dalam filosofi budaya Pancasila membawa orkestra keselarasan yang mendorong semangat untuk mengenali potensi bersama keilmuan lain.
Whedy mengakhiri dengan harapan bahwa semangat Pancasila akan terus menyemai karakter dan inovasi di kalangan pembelajar. "Pembelajaran transdisipliner yang berjiwa Pancasila bukan hanya sebuah metode, tetapi juga sebuah filosofi yang mempersatukan bangsa menuju keberhasilan dan martabat tinggi," tutupnya.