free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Serba Serbi

Sultan Agung dan Perangnya: Perkuat Mataram dengan Penaklukan Kerajaan Giri

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Dede Nana

26 - May - 2024, 22:25

Placeholder
Ilustrasi Sultan Agung dalam sketsa.(Foto: Ist)

JATIMTIMES - Sultan Agung memiliki ambisi besar untuk menjadikan Mataram Islam sebagai negara yang kuat dan besar dengan menyatukan seluruh Jawa di bawah bendera kekuasaannya. Begitu ia naik tahta pada tahun 1613, Jawa Timur menjadi target utamanya. 

Politik invasi dirancang dengan cermat, dengan serangan bertubi-tubi yang ditujukan kepada sekutu dan pusat kekuasaan Kerajaan Surabaya. Setelah berhasil menaklukkan Kerajaan Surabaya dan mengalami kegagalan dalam serangan ke Batavia, Sultan Agung belum merasa puas. 

Baca Juga : 5 Negara dengan Jumlah Kuota Jemaah Haji Terbanyak di Dunia

Ambisinya tidak terpenuhi, dan ia melanjutkan invasinya dengan menyerang Kerajaan Giri. Tindakan ini menggambarkan tekadnya untuk memperluas wilayah kekuasaan Mataram dan mengukuhkan posisinya sebagai pemimpin yang dominan di wilayah tersebut.

Pada abad ke-15 Masehi, Gresik, Jawa Timur menjadi tempat berdirinya Giri Kedaton, sebuah kerajaan Islam yang didirikan oleh Sunan Giri, salah satu dari Wali Songo yang terkenal. Pada masa itu, Kedaton Giri memperoleh popularitas yang luar biasa di kalangan intelektual Islam. 

Para santri dari berbagai penjuru Nusantara berbondong-bondong datang ke sana untuk menimba ilmu agama. Kedaton Giri juga memiliki legitimasi yang sangat kuat, sehingga calon sultan dari Demak, Pajang, dan Mataram Awal meminta pengakuan resmi dari Sunan Giri sebelum mereka memegang jabatan sebagai sultan. 

Fenomena ini tercermin dari prinsip kekuasaan turun dari Tuhan yang diyakini oleh masyarakat Jawa pada masa itu. Menurut prinsip ini, kekuasaan diwariskan dari Tuhan, dan karena posisi unik Kedaton Giri dalam agama, Sunan Giri dan lembaga Giri Kedaton diminta oleh berbagai kerajaan di Jawa untuk melegitimasi kekuasaan mereka, mirip dengan peran Paus di Roma dalam tradisi Katolik. 

Namun, sejarah mencatat keruntuhan Kedatuan Giri dimulai pada tahun 1636, ketika Kesultanan Mataram Islam di bawah pimpinan Sultan Agung (1613–1645) berhasil menaklukkan wilayah tersebut.

Menurut catatan M. Lutfi Ghozali dalam Nyarkub: Menyulam Silam (2020), sebelum membangun kerajaan tersebut, Sunan Giri, juga dikenal sebagai Raden Paku, menghadap gurunya, Sunan Ampel, untuk meminta izin untuk menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Ini menjadi langkah awal dalam perjalanan spiritual dan sejarah pembentukan kerajaan yang berpengaruh di wilayah tersebut.

Sunan Ampel memberi nasihat kepada Raden Paku, menyarankan agar ia menemui ayahnya terlebih dahulu, Syekh Maulana Ishaq, yang pada saat itu berada di Samudera Pasai. Raden Paku pun memutuskan untuk pergi ke Aceh, tempat ia diberikan pelajaran tentang ilmu keagamaan serta politik.

Setelah menyelesaikan pembelajaran di Aceh, Raden Paku didorong oleh ayahnya untuk kembali ke Jawa dan mendirikan pesantren. Ditemani oleh utusan ayahnya, Syekh Grigis dan Syekh Koja, Raden Paku kemudian memulai perjalanan untuk merintis pesantren di Gresik, Jawa Timur. Itulah awal dari perjalanan dakwah dan pendidikan yang membawa pengaruh besar bagi masyarakat di wilayah tersebut.

Berdasarkan tulisan Dukut Imam Widodo dalam Grissee Tempoe Doloe (2004), pesantren tersebut didirikan pada tahun 1481. Tempat ini kemudian menjadi titik awal bagi terbentuknya Kedatuan Giri atau Kerajaan Giri Kedaton.

Kedatuan Giri dipimpin oleh pendirinya yang juga menjadi raja pertama, yaitu Raden Paku atau Sunan Giri yang bergelar Prabu Satmata, mulai tahun 1481 hingga wafatnya pada tahun 1506. Di bawah kepemimpinannya, kerajaan ini mengalami perkembangan yang signifikan.

Dalam penelitian oleh HJ. De Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud pada Kingdoms of Islam in Java: Transition from Majapahit to Mataram (1985), disimpulkan bahwa Prabu Satmata dari Giri dan ibu angkatnya, Nyai Gede Pinatih dari Gresik, memainkan peran penting dalam pembentukan masyarakat Islam di Gresik, mirip dengan peran Sunan Ampel di Surabaya. Tindakan Prabu Satmata di Giri dapat dilihat sebagai upaya untuk memperkuat dan memantapkan pusat keagamaan dan kemasyarakatan, terutama bagi pedagang Islam yang sering kurang semangat agamanya.

Dari kedatonnya yang megah di bukit Giri, Sunan Giri mengembangkan dakwah Islam melalui pendidikan masyarakat dan seni pertunjukan yang menarik minat. Sunan Giri terkenal tidak hanya sebagai pencipta tembang-tembang dolanan anak-anak, tetapi juga tembang tengahan dengan metrum Asmaradhana dan Pucung yang digemari masyarakat. Bahkan, dia juga melakukan reformasi atas seni pertunjukan wayang, dengan menyempurnakan hiasan-hiasan wayang seperti gelang, anting telinga, dan hiasan kepala. Dengan begitu, Sunan Giri tidak hanya meninggalkan warisan spiritual, tetapi juga kultural yang tak ternilai harganya bagi masyarakat Jawa.

Sunan Giri tidak hanya dikenal sebagai pemimpin spiritual, tetapi juga sebagai seorang seniman yang mengagumkan. Dari Giri Kedaton pula, Sunan Giri menciptakan lakon-lakon wayang yang memperkaya khazanah seni Jawa dengan menambahkan tokoh-tokoh wayang baru dari golongan wanara, seperti Hanoman, Sugriwa, Kapi Menda, Kapi Sraba, Kapi Anala, dan banyak lagi. Kehebatan Prabu Satmata Sunan Giri tidak hanya terlihat dalam seni, tetapi juga dalam keberhasilannya membawa kemakmuran bagi masyarakat Muslim di Gresik.

Kerajaan Giri mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sunan Prapen atau Sunan Giri IV (1548–1605), seperti yang dijelaskan dalam penelitian yang dilakukan oleh Nuril Izzatusshobikhah dalam karyanya berjudul "Penaklukan Mataram Terhadap Giri Kedaton" (2018). Era pemerintahan Sunan Prapen ditandai dengan kemakmuran dan perkembangan yang pesat bagi kerajaan tersebut.

Pada masa tersebut, Giri Kedaton menjelma sebagai salah satu pusat dakwah Islam yang sangat dihormati di Jawa dan Nusantara secara luas. Pengaruhnya bahkan mencapai wilayah Nusantara bagian timur, memberikan kontribusi signifikan dalam penyebaran ajaran Islam di daerah-daerah tersebut.

Sunan Prapen, yang memimpin Giri Kedaton pada masa itu, memiliki jumlah pengikut atau santri yang besar. Para santri ini tidak hanya tersebar di Jawa, tetapi juga mencapai berbagai tempat di luar pulau tersebut, termasuk Kalimantan hingga Sulawesi. Mereka menjadi imam-imam besar di banyak komunitas di wilayah tersebut, membawa ajaran Islam dari pusat dakwah di Giri Kedaton.

Sebagai hasilnya, Giri Kedaton menjadi faktor utama dalam kesuksesan penyebaran dakwah Islam di Indonesia bagian timur. Kontribusinya yang besar telah membentuk wajah Islam di wilayah-wilayah tersebut dan meninggalkan warisan spiritual yang kuat dalam sejarah agama di Nusantara.

Setelah wafatnya Sunan Prapen pada tahun 1605, tampuk kepemimpinan Kerajaan Giri Kedaton diemban oleh Sunan Kawis Guwa atau lebih dikenal sebagai Sunan Giri V. Namun, masa kepemimpinan ini menandai awal dari keruntuhan Kerajaan Giri Kedaton.

Baca Juga : 5 Rekomendasi Desa Wisata di Jatim Buat Pecinta Durian, Cocok Dikunjungi Saat Akhir Long Weekend Libur Waisak

Pada periode ini, Kerajaan Giri Kedaton menghadapi serangan dari Kesultanan Mataram Islam yang dipimpin oleh Sultan Agung. Kesultanan Mataram Islam tengah giat memperluas wilayah kekuasaannya, dan Giri Kedaton menjadi salah satu targetnya.

Di awal abad ke-17, Sultan Agung memerintahkan saudara iparnya, Pangeran Pekik, untuk memimpin pasukan dalam menyerang Kedatuan Giri. Serangan ini menjadi tantangan berat bagi keberlangsungan Kerajaan Giri Kedaton dan menandai awal dari periode ketegangan dan keruntuhan bagi kerajaan tersebut.

Menurut catatan yang dikutip dari Taedjan Hadidjaja dalam Serat Centhini Bahasa Indonesia Jilid I-A (1978), terdapat ramalan kuno yang menyebutkan bahwa orang yang akan meruntuhkan Kedaton Giri adalah keturunan langsung dari Sunan Ampel, yang merupakan guru dari Sunan Giri.

Menariknya, Pangeran Pekik, yang kemudian memimpin pasukan untuk menaklukkan Giri, ternyata memiliki garis keturunan yang terhubung dengan Sunan Ampel, sesuai dengan ramalan tersebut. Pada tahun 1636, ramalan itu menjadi kenyataan. Kedaton Giri akhirnya jatuh ke tangan Mataram Islam. Meskipun Sunan Kawis Guwa masih diperbolehkan memimpin Giri, namun harus tunduk pada kekuasaan Mataram Islam.

Beberapa catatan menyoroti pertempuran sengit antara Kerajaan Giri dan Mataram, yang menjadi momen krusial dalam sejarah kedua kerajaan tersebut. Ketegangan dan persiapan perang antara kedua belah pihak meningkat, di mana Ratu Pandan Sari, istri Pangeran Pekik, memainkan peran penting dalam memberikan semangat kepada prajurit Mataram untuk melawan pasukan Kerajaan Giri.

Salah satu momen yang mencengangkan adalah ketika, pada malam sebelum pertempuran, Ratu Pandan Sari dengan tegas mengajak para prajurit yang ragu-ragu untuk menghadapi musuh dengan penuh keberanian. Langkahnya yang berani tidak hanya sampai di situ; untuk memberi semangat, dia membagikan 10.000 rial kepada para prajurit dan memberikan bahan tekstil bagus kepada 500 batur untuk seragam perang. Tindakan ini berhasil menghidupkan kembali semangat perlawanan prajurit Mataram, memicu keberanian yang baru.

Keesokan harinya, pertempuran kembali pecah dengan ganasnya. Dalam keganasan pertempuran tersebut, serangan datang dari dua arah, baik dari tenggara maupun barat daya, sebagaimana yang diuraikan dalam Serat Kandha. Meskipun pasukan Giri mengalami kerugian berat, semangat perlawanan mereka tetap tak tergoyahkan melawan pasukan Mataram. Panembahan Giri melarikan diri ke kediamannya, di mana ia memberikan instruksi kepada para pasukannya mengenai strategi menghadapi serangan pasukan Mataram. Setelah itu, ia menyembunyikan diri di makam ayahnya.

Namun, takdir tak seberpihak pada Endrasena, anak angkat Panembahan Giri, dan pasukannya. Mereka harus menelan pil kekalahan. Endrasena ditangkap dan dihukum mati dengan cara dipancung, menandai akhir perjuangan mereka dalam pertempuran itu.

Pangeran Pekik dan istrinya, Ratu Pandan Sari, menjadi tokoh kunci dalam penaklukan Kerajaan Giri. Di tengah pertempuran yang sengit, keduanya melakukan perjalanan ke sebuah bukit. Di sana, mereka bertemu dengan istri-istri Panembahan Giri yang setia, yang masih terus menangis atas kekalahan mereka. Pangeran Surabaya memerintahkan Panembahan Giri keluar dari persembunyiannya dan pergi ke Mataram dengan menggunakan tandu.

Meskipun ada keinginan dari pihak Mataram untuk membunuh Panembahan Giri, Pangeran Pekik menolak tindakan tersebut dengan tegas. Dia berkata bahwa suatu hari nanti, keturunannya akan mengakhiri konflik dengan Giri. Setelah pertempuran berakhir, hasil rampasan perang disampaikan kepada Sultan Agung, namun Sultan menolak menerimanya. Sebagai gantinya, hasil rampasan itu diserahkan kepada Pangeran Pekik dari Surabaya, yang kemudian diizinkan untuk menguasai wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh Kerajaan Giri.

Dalam peristiwa bersejarah ini, kehadiran penembak yang dipimpin oleh seorang Cina menarik perhatian, menunjukkan bahwa agama Islam pertama kali tersebar di Jawa di kalangan para pedagang Cina. Peranan kuat Ratu Pandan Sari juga disoroti, mengingat ada peran penting wanita Jawa dalam politik dan penaklukan kekuasaan.

Kisah epik penaklukan Kerajaan Giri oleh Kerajaan Mataram Islam, yang terperinci dalam Babad Sangkalaning Momana, menegaskan bahwa rentetan peristiwa tersebut menggelora dari tanggal 17 Juni tahun 1635 hingga puncaknya pada 5 Juni 1636. 

Dalam kronik tersebut, tergambar betapa pasukan Mataram dengan gigih menghadapi pasukan Giri dalam pertempuran sengit yang berlangsung selama berbulan-bulan, menandai titik balik penting dalam sejarah Jawa.

Sejak saat itu, wilayah Giri dan sekitarnya, bersama dengan daerah-daerah taklukannya, berada di bawah pengaruh Kesultanan Mataram Islam. Gelar "sunan" atau "prabu" yang sebelumnya dipakai oleh pemimpin Giri Kedaton tidak lagi digunakan, dan digantikan dengan gelar "panembahan".

Berikut adalah daftar penguasa Giri Kedaton sebelum berada di bawah pengaruh Kesultanan Mataram Islam:
•    Sunan Giri/Prabu Satmata (1481–1506)
•    Sunan Dalem/Sunan Giri II (1506–1546)
•    Sunan Seda ing Margi/Sunan Giri III (1546–1548)
•    Sunan Prapen/R.M. Pratikal/Sunan Giri IV (1548–1605)
•    Sunan Kawis Guwa/Sunan Giri V (1605–1616)


Topik

Serba Serbi sultan agung mataram kerajaan giri



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Dede Nana