JATIMTIMES- Lukisan penangkapan Pangeran Diponegoro telah menjadi titik fokus perdebatan yang tak kunjung padam dalam dunia seni rupa. Sebagai salah satu karya monumental dalam sejarah lukis Indonesia, lukisan ini menjadi simbol penting dalam perlawanan terhadap kekuasaan kolonial. Namun, di balik kesan yang mendalam, terdapat kontroversi yang mendasar yang terus memicu perdebatan.
Sejarah mencatat bahwa salah satu lukisan penangkapan Pangeran Diponegoro yang sangat terkenal adalah karya Raden Saleh Syarif Bustaman. Raden Saleh, seorang pelukis keturunan Arab-Jawa, dikenal sebagai pionir dalam seni modern Indonesia pada masa Hindia Belanda. Lahir pada bulan Mei 1807 dan meninggal pada 23 Februari 1880, Raden Saleh menciptakan lukisan-lukisan yang memadukan gaya romantisme yang populer di Eropa pada zamannya dengan unsur-unsur yang mencerminkan akar budaya Jawa.
Baca Juga : Mbak Cicha Dorong DWP Kabupaten Kediri Berperan Aktif terhadap Kualitas Pendidikan Generasi Bangsa
Pada tahun 1857, Raden Saleh membuat karya lukis monumental, Penangkapan Pangeran Diponegoro. Lukisan ini memotret peristiwa penangkapan yang membawa dampak besar dalam sejarah Indonesia. Namun, apa yang membuat lukisan ini begitu terkenal?
Ketenaran lukisan ini tidak hanya karena keindahannya, tetapi juga karena pesan yang terkandung di dalamnya.
Lukisan ini menjadi simbol perlawanan dan perjuangan bangsa Indonesia terhadap penjajahan Belanda. Melalui goresan-goresan kuasnya, Raden Saleh berhasil menangkap momen penting dalam sejarah bangsa, menciptakan sebuah narasi visual yang mendalam dan menggugah.
Karya-karya Raden Saleh selalu mencerminkan kekuatan dan keindahan budaya Jawa, namun juga menggambarkan inspirasi dari pengalaman dan pengetahuan yang diperolehnya selama tinggal di Eropa. Lukisan Penangkapan Diponegoro adalah salah satu contoh terbaik dari perpaduan ini, di mana elemen-elemen romantisme Eropa dipadukan dengan kekuatan dan keberanian karakter Jawa.
Lukisan Raden Saleh tidak hanya menggambarkan peristiwa sejarah, tetapi juga mengungkapkan sudut pandang yang berbeda terhadap kejadian tersebut.
Lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro telah menjadi simbol perlawanan yang monumental terhadap kekuasaan kolonial Belanda. Namun, kepopulerannya tidak lepas dari perbedaan sudut pandang antara dua pelukis utama, Raden Saleh dan Nicolaas Pieneman.
Peristiwa penangkapan Pangeran Diponegoro pada 28 Maret 1830 adalah puncak dari perang besar yang telah melanda Jawa sejak 1825. Nicolaas Pieneman, seorang pelukis Belanda, ditugaskan pada tahun 1835 untuk mendokumentasikan momen ini atas perintah Pemerintah Belanda.
Lukisannya, yang diberi judul "De onderwerping van Diepo Negoro aan luitenant-generaal Hendrik Merkus Baron de Kock, 28 maart 1830", menampilkan Pangeran Diponegoro yang tampak pasrah di hadapan Letnan Jenderal de Kock, dengan bendera Belanda berkibar sebagai tanda kemenangan.
Dalam lukisan Pieneman, kita melihat Pangeran Diponegoro mengenakan baju putih panjang dengan turban hijau, dikelilingi oleh para pengikutnya. Dia berdiri di bawah Letnan Jenderal de Kock dengan sikap yang tampak pasrah. Tapi, ada sesuatu yang terabaikan dari sudut pandang ini: kemenangan yang ditandai dengan bendera Belanda.
Namun, perspektif Raden Saleh, seorang pelukis Indonesia, membawa nuansa yang berbeda. Lukisannya menampilkan momen penangkapan dengan dramatis dan penuh martabat. Pangeran Diponegoro, dalam lukisan Raden Saleh, tidak pasrah, tetapi menghadapi penangkapan dengan gagah berani di tengah-tengah pengikutnya yang menangis. Tidak ada bendera Belanda yang berkibar, menandakan sudut pandang yang berbeda tentang kemenangan.
Perbedaan ini tidak hanya menyoroti perbedaan antara dua seniman, tetapi juga mencerahkan kita tentang sudut pandang dalam sejarah. Lukisan ini tidak hanya sekadar dokumentasi sejarah, tetapi juga merupakan pernyataan perlawanan terhadap penjajahan. Pangeran Diponegoro, melalui lukisan-lukisan ini, tetap menjadi simbol perlawanan dan keberanian dalam mempertahankan identitas dan martabat bangsa.
Sejak saat itu, lukisan-lukisan ini telah menjadi bagian penting dari narasi sejarah Indonesia. Meskipun perbedaan sudut pandang, mereka berdua menambah kedalaman dan kekayaan dalam memahami perjuangan bangsa Indonesia dalam menentang penjajahan. Lukisan-lukisan ini bukan hanya sekadar karya seni, tetapi juga saksi bisu dari keberanian dan keteguhan hati dalam menghadapi tirani.
Pada tahun 1856, Raden Saleh memulai proses pembuatan sketsa untuk lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro, yang kemudian diselesaikan pada tahun berikutnya. Pada tanggal 12 Maret 1857, Raden Saleh mengabarkan karyanya kepada temannya di Jerman, Duke Ernst II, dengan sebuah kalimat yang menggambarkan makna mendalam dari lukisan tersebut.
Dia menyebutnya sebagai "Ein historisches Tableau, die Gefangennahme des javanischen Häuptings Diepo Negoro", yang dalam Bahasa Indonesia berarti "Sebuah lukisan bersejarah tentang penangkapan seorang pemimpin Jawa, Diponegoro".
Meskipun pada pandangan pertama lukisan Raden Saleh tampak serupa dengan karya Nicolaas Pieneman, namun setelah dicermati lebih dalam, perbedaan yang signifikan mulai terungkap. Dalam lukisan Raden Saleh, Pangeran Diponegoro digambarkan mengangkat kepala ke atas dengan penuh martabat, sementara di sekitarnya pengikutnya menangis dengan kesedihan yang mendalam.
Di sampingnya, Letnan Jenderal de Kock terlihat dengan sikap yang arogan. Tidak ada bendera Belanda yang terlihat berkibar di lukisan Raden Saleh, menciptakan perbedaan yang jelas dengan sudut pandang Pieneman.
Lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Raden Saleh tidak sekadar merupakan karya seni visual, tetapi juga sebuah narasi tentang peristiwa tragis yang membawa dampak besar dalam sejarah Indonesia. Dalam lukisannya, Raden Saleh mencoba menyampaikan pesan yang mendalam tentang perlawanan dan martabat bangsa Indonesia terhadap penjajahan Belanda.
Dalam pandangan Raden Saleh, lukisan Penangkapan Diponegoro menjadi gambaran peristiwa yang memilukan, di mana Pangeran Diponegoro tidak menyerah dengan mudah.
Baca Juga : Laka KA Pandalungan vs Kijang Telan Korban Jiwa, KAI Sampaikan Duka Cita
Tidak seperti dalam lukisan Pieneman, di mana Pangeran Diponegoro digambarkan pasrah dan disebut menyerahkan diri kepada Jenderal de Kock, Raden Saleh menampilkan Pangeran Diponegoro dengan sikap yang gagah berani, meskipun dihadapkan pada situasi yang sulit. Peristiwa ini memperlihatkan bagaimana kekuatan dan keberanian Pangeran Diponegoro tidak pernah pudar, bahkan dalam saat-saat yang penuh tekanan.
Sejarah mengungkapkan bahwa Pangeran Diponegoro tidak menyerahkan diri secara sukarela kepada Belanda. Pada 28 Maret 1830, dia mendatangi rumah Residen Kedu di Magelang atas undangan Belanda untuk membicarakan kemungkinan gencatan senjata. Namun, ironisnya, Pangeran Diponegoro justru ditangkap dan diasingkan, bukan berunding tentang perdamaian.
Raden Saleh, sebagai pelukis yang pernah mendapat pendidikan di Eropa atas biaya pemerintah Belanda, menyampaikan pesan yang kuat melalui lukisannya. Dia menyerahkan lukisan Penangkapan Diponegoro kepada Raja Willem III sebagai tanda terima kasih atas pendidikannya. Namun, lukisan ini kemudian menjadi bagian dari warisan budaya Indonesia setelah dikembalikan ke tanah air pada tahun 1978.
Kini, lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro karya Raden Saleh menjadi bagian dari koleksi Kementerian Sekretariat Negara dan dipajang di Istana Kepresidenan Yogyakarta.
Di sisi lain, lukisan karya Pieneman yang menggambarkan peristiwa serupa juga mengalami perubahan judul, dari "Penyerahan Diponegoro" menjadi "Penangkapan Diponegoro". Hal ini mencerminkan pergeseran dalam pemahaman sejarah dan pengakuan akan keberanian Pangeran Diponegoro dalam mempertahankan identitas dan martabat bangsa.
Melalui lukisan-lukisan ini, kita tidak hanya dapat menikmati keindahan seni visual, tetapi juga memperdalam pemahaman tentang perjuangan dan keberanian dalam menghadapi penjajahan serta menghargai warisan budaya yang menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas bangsa Indonesia.
Pangeran Diponegoro, putra Sri Sultan Hamengkubuwono III, dilahirkan dari isteri selir Raden Ayu Mangkarawati. Nama kecilnya adalah Raden Mas Ontowiryo, dan sejak kecil, ia tumbuh dalam lingkungan yang kental dengan nilai-nilai agama. Ketaatannya kepada Allah membentuknya menjadi seorang muslim yang taat sejak usia muda.
Ketika mencapai dewasa, Diponegoro memimpin sebuah perlawanan besar yang dikenal sebagai Perang Diponegoro atau Perang Jawa. Antara tahun 1825 hingga 1830, Diponegoro memimpin rakyat Jawa melawan penjajahan pemerintah Hindia Belanda yang menindas.
Perang Diponegoro, juga dikenal sebagai Perang Jawa, dipicu oleh sikap Pangeran Diponegoro yang menentang campur tangan Belanda dalam urusan kerajaan. Di samping itu, lemahnya respons keraton terhadap campur tangan politik kolonial serta gaya hidup mewah kalangan istana yang acuh tak acuh terhadap penderitaan rakyat, semakin memperkuat tekad sang Pangeran. Tidak hanya itu, kondisi sulit para petani lokal akibat penyalahgunaan penyewaan tanah juga menjadi faktor pemicu kemarahan Pangeran Diponegoro.
Puncak kekecewaan terjadi ketika Patih Danureja atas perintah Belanda merencanakan pembangunan rel kereta api yang akan melintasi makam leluhurnya. Itulah titik di mana Pangeran Diponegoro memutuskan untuk menentang Belanda dengan mengangkat senjata dan menyatakan perang.
Sejarah mencatat dengan jelas keganasan konflik ini. Perang Diponegoro dianggap sebagai salah satu konflik paling mematikan dalam sejarah Indonesia. Tak kurang dari 8.000 serdadu Belanda tewas, bersama dengan 7.000 jiwa pribumi dan 200 ribu orang Jawa. Kerugian materi juga sangat besar, mencapai 25 juta Gulden.
Perang ini bukan hanya menelan korban dalam hal nyawa, tetapi juga secara ekonomi menghabiskan anggaran pemerintah Belanda setara dengan 10 tahun pendapatannya dalam waktu hanya 5 tahun.
Perjuangan Diponegoro tidak hanya melawan penindasan politik dan militer, tetapi juga merupakan perlawanan terhadap penjajahan yang mempertahankan nilai-nilai agama dan kebudayaan Jawa. Dia menjadi simbol perlawanan yang gagah berani dan keberanian dalam menghadapi penjajahan.
Meskipun akhirnya Diponegoro ditangkap di Magelang dan diasingkan, warisan perjuangannya tetap melekat dalam sejarah bangsa Indonesia. Namanya tetap dikenang, menginspirasi generasi-generasi berikutnya untuk tidak pernah menyerah dalam mempertahankan kedaulatan dan martabat bangsa Indonesia.