JATIMTIMES - Setelah kematian Sultan Pajang Joko Tingkir, Mataram Islam semakin berkembang pesat. Kerajaan Pajang yang sebelumnya tidak stabil karena perang saudara berhasil dikuasai melalui serangan yang dilancarkan oleh Senopati.
Bersama Pangeran Benowo, putra Sultan Hadiwijaya, Senopati menaklukkan Pajang. Setelah itu, Pangeran Benowo mengambil tahta sebagai Sultan Pajang. Beberapa hari setelah penobatan Sultan Benowo, Senopati kembali ke Mataram dan diberi gelar Panembahan oleh rakyatnya.
Baca Juga : Akademisi Sarankan Tradisi Baru Peringatan Hardiknas di Blitar: Ziarah ke Makam Raden Kartowibowo
Panembahan merupakan gelar bangsawan ningrat jawa yang artinya orang yang disembah atau sebagai junjungan (bahasa Melayu: Yang Dipertuan), berasal dari kata manembah artinya menyembah. Umumnya gelar Panembahan levelnya berada di bawah gelar Sultan (Raja Besar) dan berada diatas Pangeran.
Gelar Panembahan menandai posisi Senopati sebagai figur yang sangat dihormati dan dijunjung tinggi oleh rakyat Mataram, dengan kedudukan di atas gelar Pangeran namun di bawah gelar Sultan. Dengan demikian, kehadiran Senopati memberikan stabilitas yang lebih besar pada kerajaan Mataram, memperkuat posisinya sebagai kekuatan dominan di wilayah kekuasaanya. Babad Tanah Djawi melaporkan secara singkat tentang pengangkatan Senopati sebagai Panembahan setelah kemenangan telak atas Kerajaan Pajang:
“Seusai penobatan Pangeran Benowo sebagai sultan, Senapati pulang dan bertindak sebagai Sultan Mataram. Tetapi ia tidak dipanggil demikian; rakyat hanya menamakannya Panembahan Senapati.’’ Setelah itu dikisahkan pengangkatan para anggota keluarganya.
Sumber lain menurut Serat Kandha, setelah pulang dari upacara penobatan Pangeran Benowo sebagai Sultan Pajang, Senopati tiba di istana Mataram di Kotagede tepat pada hari kedelapan. Rakyat Mataram bersama-sama mengangkat Senopati sebagai Panembahan di paseban, sebuah upacara yang dihadiri oleh seluruh anggota keluarganya serta Ki Juru Martani, patih pertama Kerajaan Mataram Islam.
Peristiwa ini diperkirakan terjadi sekitar tahun 1587. Hal ini menunjukkan pengakuan dan penghormatan yang luar biasa terhadap kontribusi Senopati dalam memperluas dan mengukuhkan kekuasaan Mataram Islam.
Sesuai tradisi kerajaan Jawa, pengangkatan Senopati sebagai Panembahan diiringi dengan kenaikan pangkat bagi anggota keluarga dan para pembantunya. Senopati yang baru saja diangkat memberikan gelar kebangsawanan kepada saudara-saudaranya, putra-putranya, dan patihnya. Yang menarik, beberapa gelar tersebut mengambil nama-nama kerajaan dan daerah di Jawa Timur, seperti Pangeran Singosari, Pangeran Puger, dan Pangeran Blitar.
Pemilihan nama-nama ini menarik karena pada saat itu Mataram Islam belum sepenuhnya menguasai wilayah Jawa Timur dan masih terlibat konflik dengan Kerajaan Surabaya. Meskipun demikian, penggunaan nama-nama daerah Jawa Timur sebagai gelar kebangsawanan menunjukkan ambisi dan aspirasi Mataram untuk memperluas pengaruhnya ke wilayah-wilayah tersebut di masa depan.
Pemilihan Puger sebagai gelar kebangsawanan dalam Kerajaan Mataram menarik untuk dikaji dan ditelusuri, mengingat nama ini tidak begitu populer bagi masyarakat Jawa Tengah yang hidup pada abad ke-15. Namun, jika dikaji lebih mendalam, Puger ternyata memiliki sejarah yang kaya. Puger merupakan sebuah daerah penting di masa lalu, terletak di Kabupaten Jember, Jawa Timur.
Daerah Puger ini dulu merupakan tempat berdirinya Kerajaan Sadeng, sebuah kerajaan kuno yang wilayah kekuasaannya meliputi sekitar Kabupaten Jember dan Bondowoso. Ibukota Kerajaan Sadeng terletak di Puger, di ujung selatan Kabupaten Jember yang berdekatan dengan Laut Selatan.Daerah itu memiliki pantai yang sangat indah, saat ini orang mengenalnya dengan sebutan Pantai Puger.
Kerajaan Sadeng memiliki peran penting dalam sejarah Jawa Timur, menjadi pusat kekuasaan dan pusat kegiatan politik serta ekonomi di wilayah tersebut pada zamannya. Oleh karena itu, pemakaian nama Puger sebagai gelar kebangsawanan oleh Kerajaan Mataram merupakan sebuah penghormatan kepada sejarah dan warisan kebesaran Kerajaan Sadeng yang pernah berdiri di daerah tersebut. Hal ini mencerminkan penghargaan terhadap keberagaman budaya dan sejarah yang kaya di Nusantara.
Di masa lalu, Kerajaan Sadeng memiliki peran penting sebagai lumbung pangan yang memasok kebutuhan pangan bagi Kerajaan Majapahit. Pada tahun 1331, terjadi pemberontakan di Sadeng yang dicatat dalam kitab Pararaton. Pemberontakan ini berujung pada penaklukan Sadeng oleh Majapahit, yang kemudian menjadi langkah penting bagi Gajah Mada dalam perjalanannya mencapai puncak karier sebagai Patih.
Keberadaan Kerajaan Sadeng juga tercatat dalam kitab Negarakertagama, memberikan bukti historis yang kuat tentang eksistensinya. Selain itu, beberapa peneliti pada masa Hindia Belanda, seperti Berg, Kern, dan NJ Krom, juga secara parsial telah mendokumentasikan keberadaan Kerajaan Sadeng.
Sebagai lumbung pangan bagi Majapahit dan latar belakang pemberontakan yang berujung pada penaklukan, Kerajaan Sadeng memiliki peran penting dalam dinamika politik dan sejarah Jawa pada masa itu. Pencatatan sejarah ini oleh para peneliti juga menegaskan keberadaan dan peran Kerajaan Sadeng dalam memengaruhi perkembangan wilayah di Jawa Timur dan sekitarnya.
Pangeran Puger yang pertama dari Kerajaan Mataram Islam adalah Raden Mas Kentol Kajoran, anak dari Panembahan Senopati dengan selir Nyimas Adisara. Pada masa ini, Pangeran Puger menjadi tokoh yang memberontak karena menginginkan tahta yang seharusnya menjadi milik Panembahan Hanyakrawati.
Setelah meninggalnya Senopati, Pangeran Puger melakukan pemberontakan terhadap Raden Mas Jolang, saudaranya dari ibu yang berbeda, yang telah dilantik sebagai raja penerus Kerajaan Mataram. Pemberontakan ini dipicu oleh ambisi Pangeran Puger yang merasa lebih berhak atas tahta tersebut.
Pada tahun 1601, Raden Mas Jolang berhasil naik tahta sebagai raja kedua Kerajaan Mataram Islam dengan gelar Panembahan Hanyakrawati. Peristiwa ini menandai puncak dari perjuangan politik di dalam kerajaan, yang sering kali disertai dengan konflik antara anggota keluarga kerajaan demi merebut kekuasaan.
Meskipun Pangeran Puger secara usia lebih tua daripada Panembahan Hanyakrawati, namun Hanyakrawati merupakan putra kesepuluh Senopati. Puger sendiri adalah putra kedua dari Senopati. Hal ini menunjukkan bahwa Hanyakrawati merupakan anak dari pemaisuri pertama, sedangkan Puger adalah anak dari selir.
Dalam tradisi suksesi Jawa, penunjukan Hanyakrawati sebagai penerus tahta tidaklah salah. Menurut adat Jawa, ketika seorang raja meninggal, penggantinya adalah putra mahkota atau Adipati Anom yang lahir dari permaisuri pertama. Oleh karena itu, Hanyakrawati memenuhi syarat tersebut karena merupakan putra dari permaisuri pertama, sementara Puger dilahirkan dari selir yang statusnya lebih rendah secara derajat.
Dengan demikian, meskipun secara usia Puger lebih tua, namun penunjukan Hanyakrawati sebagai penerus tahta sesuai dengan tradisi dan tata nilai budaya Jawa yang mengutamakan garis keturunan dari permaisuri pertama. Hal ini menegaskan kekuatan norma-norma kekerabatan dan warisan budaya dalam pengambilan keputusan suksesi di Kerajaan Mataram.
Pangeran Puger menuntut tahta atas kekuasaan, yang tercermin dari ketidakhadirannya dalam upacara penobatan Panembahan Hanyakrawati sebagai Raja Mataram. Puger tidak menghadiri upacara tersebut karena merasa tidak pantas duduk di bawah kedudukan adiknya.
Menyadari ambisi Puger untuk menjadi penguasa, Hanyakrawati mengambil langkah taktis. Ia memerintahkan Adipati Mandaraka untuk mengangkat Pangeran Puger sebagai Adipati Demak.
Pengangkatan resmi Puger sebagai Adipati Demak terjadi pada tahun 1602, setahun setelah absennya dalam upacara penobatan di Istana Mataram di Kotagede.
Menurut catatan dari Serat Kandha, Puger dipanggil untuk hadir di istana dan duduk di samping adiknya, Hanyakrawati, yang telah menjadi raja. Sementara menurut Babad Meinsma, Hanyakrawati mengangkat Puger sebagai Adipati Demak dengan harapan agar ia dapat menjadi "Perisai untuk Melindungi Kerajaan Mataram."
Dengan pengangkatan Puger sebagai Adipati Demak, Hanyakrawati menunjukkan kebijaksanaannya dalam mengelola dinamika politik dalam keluarga kerajaan, sambil memastikan stabilitas dan keamanan Kerajaan Mataram. Langkah ini mencerminkan strategi diplomasi yang cerdas untuk menjaga kesatuan dan kekuatan kerajaan.
Setelah diangkat menjadi Adipati Demak, keesokan harinya Pangeran Puger dan keluarganya segera berangkat menuju Demak. Mereka ditemani oleh beberapa abdi, termasuk seorang pembantu setia bernama Tandanegara yang telah mengasuhnya sejak kecil. Puger mengangkat Tandanegara sebagai pepatih setelah kedatangannya di Demak. Selain itu, Puger juga menunjuk seorang penduduk asli Demak bernama Ki Adipati Gending sebagai pepatih kedua.
Meskipun telah mendapatkan gelar Adipati Demak, nafsu Pangeran Puger untuk menjadi Raja Mataram tetap menyala. Ia akhirnya melancarkan pemberontakan yang memicu perang saudara. Konflik antara Pangeran Puger dan Panembahan Hanyakrawati menjadi tidak terhindarkan.
Baca Juga : Dasar Keilmuan Jadi Solusi Berbagai Masalah, Alumni FMIPA UM Banyak Terserap Dunia Kerja
Ternyata, hilangnya rasa hormat Puger terhadap Hanyakrawati dipicu oleh hasutan dari pepatih kedua Demak, Ki Adipati Gending. Pemberontakan Pangeran Puger ini diduga terjadi antara tahun 1602 hingga 1605. Peristiwa ini mencatat babak baru dalam sejarah Mataram, menandai ketegangan politik di antara keluarga kerajaan dan perebutan kekuasaan yang seringkali berujung pada pertumpahan darah.
Pasukan Pangeran Puger berhasil mengumpulkan pasukan yang cukup besar setelah berhasil menaklukkan Pengunungan Kendeng. Di bawah komando Ki Adipati Gending dan Adipati Panjer, pasukan Puger melancarkan serangan ke wilayah Mataram. Mereka menaklukkan beberapa daerah kekuasaan Mataram, termasuk Ungaran. Panembahan Hanyakrawati menjadi tahu tentang serangan ini dan berkeinginan untuk berunding dengan kakaknya, Pangeran Puger.
Hanyakrawati bahkan dengan ikhlas menawarkan daerah pantai utara kepada Puger sebagai jalan damai. Namun, meskipun telah diundang untuk perundingan empat kali, Pangeran Puger tidak pernah datang ke Mataram dan menolaknya dengan kasar.
Dalam pertempuran yang terjadi kemudian, pasukan Mataram berhasil mengalahkan pasukan Pangeran Puger di Tambak Uwos. Dua pemimpin pasukan Demak, yaitu Adipati Gending dan Adipati Panjer, gugur dalam pertempuran tersebut. Pangeran Puger sendiri ditangkap, diborgol, dan diangkut di atas tandu. Atas perintah Hanyakrawati, Pangeran Puger bersama istri dan anak-anaknya diasingkan ke Kudus sebagai hukuman atas pemberontakannya.
Pangeran Puger lain dari Mataram yang cukup terkenal adalah Pangeran Puger putra Sunan Amangkurat I dengan permaisuri kedua, Ratu Wetan, yang berasal dari Kajoran. Pangeran Puger lahir dengan nama Raden Mas Drajat, dan merupakan putra dari Amangkurat I, raja keempat Mataram Islam.
Ketika telah mencapai usia dewasa, Raden Mas Drajad diangkat sebagai putra mahkota dengan gelar Pangeran Puger. Namun, gelar tersebut kemudian dicabut oleh Amangkurat I karena keluarga dari ibunya terbukti mendukung pemberontakan Trunojoyo.
Kisah Pangeran Puger ini mencerminkan dinamika politik dan kekuasaan yang ada dalam kerajaan, di mana pengambilan atau pencabutan gelar dan status dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor politik dan hubungan kekerabatan.
Pangeran Puger adalah cucu dari Sultan Agung, raja ketiga Mataram Islam, melalui jalur garis silsilahnya. Selain itu, ia juga merupakan adik tiri dari Raden Mas Rahmat atau Amangkurat II, yang kemudian menjadi raja kelima Mataram Islam, serta merupakan paman dari Amangkurat III, raja keenam Mataram Islam.
Dalam kerangka garis keturunan ini, Pangeran Puger memiliki posisi yang menonjol dalam struktur kekerabatan kerajaan Mataram. Hubungan kekeluargaannya dengan raja-raja sebelumnya mencerminkan kompleksitas politik dan dinamika internal yang memengaruhi kekuasaan dan perjalanan sejarah Mataram pada masa itu.
Pada masa pemerintahan Amangkurat I, Madura melahirkan pemberontakan yang dipimpin oleh Raden Trunojoyo, mengarahkan serangan ke ibu kota Kesultanan Mataram di Plered. Serangan ini memaksa Amangkurat I dan Raden Mas Rahmat melarikan diri ke arah barat, meninggalkan Pangeran Puger di Plered.
Ditinggalkan di tengah kekacauan, Pangeran Puger memilih untuk menghadapi para pemberontak dan membela kedudukan Kajoran, menunjukkan bahwa tidak semua penduduk Kajoran mendukung Trunojoyo. Namun, setelah pasukan Trunojoyo merebut keraton Plered, Pangeran Puger terpaksa menyingkir ke Desa Jenar. Di sana, ia membangun Keraton Purwakanda dan memproklamasikan dirinya sebagai raja dengan gelar Susuhunan ing Ngalaga atau Sunan Ngalaga.
Situasi semakin rumit ketika Trunojoyo kembali ke Jawa Timur. Sunan Ngalaga kembali ke Plered dan menyatakan dirinya sebagai raja Mataram yang baru. Sementara itu, Raden Mas Rahmat juga mengklaim tahta Mataram atas wasiat Amangkurat I yang wafat dalam pelarian dari keraton. Konflik suksesi pun muncul di antara para pretender ini, memperumit politik dan stabilitas Kesultanan Mataram.
Setelah Plered diduduki oleh Sunan Ingalaga, Raden Mas Rahmat yang bergelar Amangkurat II memutuskan untuk membangun istana baru di Kartasura pada tahun 1680. Meskipun sempat diminta untuk bergabung dengan kakaknya di Kartasura, Sunan Ingalaga menolak, sehingga terlibat dalam perang saudara dengan Amangkurat II. Akhirnya, Sunan Ingalaga harus menyerah dan mengakui kedaulatan Amangkurat II, yang didukung oleh VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie).
Pada tahun 1703, takhta Mataram jatuh ke tangan putra Amangkurat II yang kemudian bergelar Amangkurat III. Amangkurat III dikenal sebagai raja yang anti bangsa Eropa, mengikuti jejak leluhurnya, Sultan Agung. Kesempatan ini kemudian dimanfaatkan oleh Pangeran Puger untuk mencoba mengambil alih tahta Mataram. Puger mencari dukungan dari beberapa pihak di istana, dan Bupati Semarang yang bernama Rangga Yudanagara bahkan meminta bantuan Belanda untuk mendukung Puger.
Belanda akhirnya menyetujui untuk membantu Pangeran Puger dalam merebut takhta Mataram, dengan syarat diberikan kekuasaan atas Madura. Pada tanggal 6 Juli 1704, Pangeran Puger resmi dinobatkan sebagai raja Mataram yang ketujuh dengan gelar baru yang berbeda dari pendahulunya. Gelarnya adalah Susuhunan Pakubuwana Senapati ing Ngalaga Abdurahman Sayyidin Panatagama Khalifatulah, atau lebih dikenal sebagai Pakubuwono I.
Dengan dukungan Belanda, Pakubuwono I berhasil merebut Keraton Kartasura dari Amangkurat III pada tanggal 17 September 1705. Untuk memperkuat kedudukannya, Pakubuwono I terlibat dalam perjanjian baru dengan Belanda, yang salah satu isinya adalah bahwa Mataram harus mengirimkan 13.000 ton beras setiap tahunnya kepada Belanda sebagai imbalan atas bantuan dan dukungan mereka.
Berkat kerjasama tersebut, masa pemerintahan Pakubuwono I tergolong relatif aman, karena segala pergolakan yang mengancam takhtanya dapat ditumpas dengan bantuan dari pihak Belanda. Sementara itu, Pakubuwono I juga menjaga hubungan baik dengan kerabat keraton, memperkuat stabilitas dalam negeri. Karena itu, dalam naskah Babad Tanah Jawi, ia diabadikan sebagai seorang raja agung yang bijaksana.
Pakubuwono I menghembuskan napas terakhir di Kartasura pada tanggal 22 Februari 1719, setelah memerintah Kesultanan Mataram selama 15 tahun. Jenazahnya kemudian dimakamkan di Imogiri, Yogyakarta, bersama dengan para leluhurnya. Sebagai pengganti Pakubuwono I, tahta Mataram kemudian dipegang oleh Raden Mas Suryaputra yang bergelar Amangkurat IV.
Dari garis keturunan Amangkurat IV, Pangeran Puger menurunkan para raja yang memerintah di Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Kadipaten Mangkunegaran, dan Kadipaten Pakualaman hingga saat ini. Bahkan, jika ditelusuri secara silsilah lebih lanjut, Presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno, masih merupakan keturunan dari Pakubuwono I melalui garis keturunan Raja kedua Yogyakarta, Sultan Hamengkubuwono II. Hubungan ini menegaskan kedalaman sejarah dan warisan budaya yang terus hidup dalam struktur sosial dan politik Indonesia hingga masa kini.
Seiring berjalannya waktu, gelar Pangeran Puger terus diwarisi dan digunakan oleh Kerajaan Mataram Islam dari masa ke masa. Namun, setelah terjadinya Perjanjian Giyanti pada tanggal 13 Februari 1755, gelar Pangeran Puger beralih ke Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Sejak saat itu, Keraton Surakarta mewarisi dan menggunakan gelar Pangeran Puger sebagai salah satu gelar kebangsawanan yang masih dilestarikan hingga hari ini.
Dengan menggunakan gelar Pangeran Puger, Keraton Kasunanan Surakarta tidak hanya memperkuat ikatan dengan sejarah dan tradisi Mataram yang kaya, tetapi juga mengamankan keberlangsungan dan kehormatan gelar yang memiliki makna mendalam dalam struktur sosial dan budaya Jawa. Tindakan ini bukan sekadar simbolik; ini merupakan upaya nyata untuk merawat dan mewarisi nilai-nilai kebangsawanan yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan tradisional Jawa.
Penggunaan gelar Pangeran Puger adalah sebuah pernyataan kuat dari Keraton Kasunanan Surakarta tentang penghargaan yang tinggi terhadap warisan leluhur. Dalam penggunaan gelar ini, keraton tidak hanya mengenang kebesaran Kerajaan Mataram yang pernah berdiri megah, tetapi juga menunjukkan rasa hormat yang mendalam terhadap jejak-jejak sejarah dari Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sadeng. Kabupaten Jember, Jawa Timur, yang menjadi tempat berdirinya Kerajaan Sadeng, menjadi saksi bisu dari perjalanan panjang kejayaan masa lalu yang masih diingat dan dihormati hingga hari ini.