JATIMTIMES - Saat senja mulai merayap di langit, suasana di perkampungan sekitar Candi Boyolangu berubah menjadi tenang dan memesona. Cahaya kuning keemasan menyelinap di antara celah-celah rumah-rumah padat yang terletak di pinggiran candi, menciptakan siluet yang dramatis di sepanjang lorong sempit. Di kejauhan, suara gemericik air dari sumur-sumur tradisional menambah kesan damai di sekitar lingkungan yang tenang ini.
Sementara itu, aktivitas masyarakat setempat juga turut meramaikan suasana sore itu. Sebagian dari mereka terlihat sibuk dengan pekerjaan sehari-hari, seperti menyelesaikan pekerjaan pertanian atau memperbaiki peralatan rumah tangga. Beberapa anak-anak riang gembira bermain di halaman-halaman rumah, mengejar bola bambu atau sekadar bermain layang-layang di angkasa yang tenang.
Baca Juga : Viral, Konser Berkedok Running di Mojokerto Bikin Pelari Tak Bisa Capai Finish
Di sudut-sudut tersembunyi, terlihat pula sekelompok ibu-ibu yang berkumpul di bawah pohon rindang, sambil mengobrol ringan dan berbagi cerita tentang kehidupan mereka. Suasana kehangatan dan kebersamaan terasa begitu kental di antara mereka, menciptakan ikatan sosial yang erat di tengah-tengah keindahan alam yang memukau.
Seiring matahari semakin tenggelam ke ufuk barat, lampu-lampu kecil mulai dinyalakan di sepanjang lorong-lorong sempit, menyinari jalanan dan memancarkan cahaya lembut ke sekitar candi. Suasana magis ini membawa kesan kedamaian dan keindahan yang abadi, mengundang siapa pun yang mengunjungi perkampungan ini untuk merasakan kedamaian yang mendalam di dalam hati mereka.
Sementara suasana sore melambai dengan kehangatan di perkampungan sekitar Candi Boyolangu, di dalam tembok candi yang bersejarah, seorang juru rawat candi tengah sibuk dengan serangkaian aktivitas untuk menjaga kebersihan dan kesakralan tempat tersebut. Dengan langkah hati-hati, ia memasuki ruang candi utama yang dihiasi oleh arca-arca kuno dan relief-relief yang menceritakan kisah masa lalu.
Dengan tekun, juru rawat candi mulai membersihkan debu dan kotoran yang menempel di permukaan batu candi, memastikan keindahan dan keanggunan arsitektur klasik tetap terjaga. Ia menggunakan sapu dan kain lembut dengan gerakan hati-hati, seolah-olah merawat sebuah pusaka berharga yang tak ternilai harganya.
Setelah membersihkan setiap sudut dan celah, juru rawat candi kemudian menyusun dupa dan menyalakan lilin di altar utama. Aroma harum dupa mulai tercium di udara, menyatu dengan keharuman bunga-bunga dan kelembutan angin sore. Dengan wajah khusyuk, ia memanjatkan doa-doa dalam keheningan, mengungkapkan rasa syukur dan penghormatan kepada leluhur yang telah meninggalkan jejaknya di candi ini.
Saat cahaya senja mulai redup di dalam candi, suasana keramat semakin terasa kuat. Juru rawat candi duduk di hadapan altar dengan sikap tulus dan khidmat, merenung dalam kesunyian sambil membiarkan wanginya asap dupa menari-nari di sekelilingnya. Di sanalah, dalam momen keheningan dan kesederhanaan, ia merasakan kehadiran yang suci dan membebaskan jiwa dari belenggu dunia.
Ya, di tengah pemukiman yang ramai di Dusun Boyolangu, terselip sebuah keajaiban sejarah yang bernama Candi Boyolangu, atau yang akrab disapa oleh penduduk sekitarnya sebagai Candi Gayatri. Terletak di Desa Boyolangu, Kecamatan Boyolangu, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, candi ini tetap memukau meskipun kini tinggal menyisakan reruntuhannya saja.
Untuk memasuki kompleks candi yang memikat ini, pengunjung harus melalui lorong sempit yang dibatasi oleh tembok setinggi 75 cm dan selebar 2,5 m, menciptakan pengalaman mistis sebelum mencapai kemegahan bangunan utama.
Menurut penanggalan dari bangunan induk dan catatan dalam Kitab Nagarakertagama, Candi Boyolangu didirikan pada masa keemasan pemerintahan Raja Hayam Wuruk, berkisar antara tahun 1359 hingga 1389 Masehi. Dengan nama asli Prajñaparamitapuri, candi ini menjadi saksi bisu dari gemerlapnya masa lalu.
Dahulu, candi ini memiliki peran ganda sebagai tempat penyimpanan abu Jenazah Gayatri serta sebagai pusat pemujaan agama Buddha. Kini, kehadirannya tetap memikat, mengundang pengunjung dari berbagai penjuru untuk merasakan keagungan dan kedamaian yang mengalir dalam sejarah yang terpatri di setiap sudutnya.
Pada tahun 1914, sebuah penemuan arkeologis yang menggetarkan ditemukan kembali: Candi yang tersembunyi dalam timbunan tanah. Kabarnya, penemuan ini telah tertulis dalam laporan bersejarah tahun 1917, dijelaskan pula oleh N.J. Krom dalam karyanya yang berjudul "Inleiding tot De Hindoe-Javaansche Kunst" sebagai Punden Gilang. Namun, Agus Aris Munandar (1955) lebih menekankan bahwa candi ini mungkin dulunya adalah tempat tinggal seorang resi, dengan arsitektur yang sederhana dan lokasi yang terpencil. Sedangkan menurut Hariani Santiko (1999), candi ini memperlihatkan ciri arsitektur yang mirip dengan Candi Naga.
Nama "Candi Gayatri" sendiri mengemuka dari jejak sejarah yang menghubungkannya dengan putri Raja Kertanegara dari Kerajaan Singasari, nenek dari Raja Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit. Dalam lipatan sejarahnya, candi ini menjadi saksi bisu dari kisah-kisah legendaris yang mengalir dari masa kejayaan kerajaan di tanah Jawa. Keberadaannya yang misterius dan kisahnya yang memikat, semakin memperkaya jalinan sejarah budaya yang terus menginspirasi generasi demi generasi.
Candi Gayatri adalah candi berbahan bata dengan denah segi empat dan tangga masuk yang menghadap ke barat. Ukurannya yang mencengangkan, 11,40 m x 11,40 m, dengan pintu masuk yang megah berukuran 2,68 m x 2,08 m, mengundang pengunjung untuk memasuki keajaiban sejarah ini.
Bangunan candi secara horizontal terbagi menjadi candi induk yang menjulang di tengah, ditemani oleh dua candi perwara di sisi kiri dan kanannya. Namun, sayangnya, sisa-sisa dua candi perwara itu hanya menyisakan reruntuhan, terhampar ke arah utara dengan hiasan motif ragam hias tapak dara yang menghiasi dinding kakinya.
Namun, sorot utama candi ini terletak pada tokoh wanita yang begitu megah, sebuah arca yang diletakkan di dalam candi utama. Arca tersebut, dengan tinggi 120 cm, lebar 168 cm, dan tebal 140 cm, kini bersemayam di bawah cungkup tanpa dinding yang menjaganya dari waktu dan cuaca. Wanita yang diwakili dalam arca ini adalah Gayatri, seorang pendeta wanita Buddha dari masa kejayaan kerajaan Majapahit, yang juga dikenal sebagai Rajapadmi. Tidak hanya itu, dia juga dikenal sebagai istri keempat dari Raja Wijaya, pendiri kerajaan Majapahit yang legendaris.
Dyah Gayatri, atau yang juga dikenal sebagai Sri Rajapatni, adalah sosok yang lahir sekitar tahun 1275 dan berpulang pada tahun 1350. Sebagai putri bungsu dari Raja Kertanagara, dia memperoleh tempat di hati Raden Wijaya, raja pertama Majapahit (1293-1309). Gayatri juga adalah nenek dari Hayam Wuruk, salah satu raja paling berpengaruh dalam sejarah Nusantara.
Nagarakretagama, dokumen bersejarah yang menggema hingga masa kini, menyampaikan bahwa Raden Wijaya, dalam kebesaran hatinya, mempersunting empat putri Kertanagara, raja terakhir Singhasari. Mereka adalah Tribhuwana yang bergelar Tribhuwaneswari, Mahadewi yang bergelar Narendraduhita, Jayendradewi yang bergelar Prajnyaparamita, dan Gayatri yang bergelar Rajapatni. Selain itu, dalam perjalanannya, Raden Wijaya juga menikahi seorang istri dari Melayu bernama Dara Petak yang bergelar Indreswari.
Baca Juga : Pj Wali Kota Kediri Berangkatlan Lomba Kirab dan Konser Drumband
Namun, dari lima istri tersebut, hanya dua yang memberikan keturunan, yakni Dara Petak dan Gayatri. Dari Dara Petak lahirlah Jayanagara, sementara dari Gayatri, lahirah Tribhuwanatunggadewi dan Rajadewi. Dari garis keturunan Tribhuwanatunggadewi inilah tampaknya warisan kerajaan Majapahit dilanjutkan, menandai keberlangsungan sebuah dinasti yang menjadi pijakan kekuatan dan kebesaran kerajaan Nusantara selanjutnya.
Versi lain dari kitab Pararaton menyebutkan, konon sebelum berdirinya Majapahit, Raden Wijaya hanya menikahi dua putri Kertanagara. Sebelumnya, diyakini bahwa Raden Wijaya hanya menikahi Tribhuwaneswari dan Gayatri. Namun, setelah Majapahit berdiri, ia kemudian menambahkan Mahadewi dan Jayendradewi ke dalam genggaman hatinya. Dalam Kidung Harsawijaya, Tribhuwaneswari dan Gayatri disebut dengan nama Puspawati dan Pusparasmi secara berturut-turut.
Ketika Singasari runtuh karena serangan Jayakatwang pada tahun 1292, Raden Wijaya hanya berhasil menyelamatkan Tribhuwaneswari, sementara Gayatri ditawan oleh musuh di Kadiri. Setelah Raden Wijaya berpura-pura menyerah kepada Jayakatwang, barulah dia berhasil bertemu kembali dengan Gayatri.
Menurut Kitab Pararaton, Raden Wijaya bersekutu dengan bangsa Tatar, atau Mongol, untuk mengalahkan Jayakatwang. Konon, raja Tatar bersedia membantu Majapahit setelah Arya Wiraraja menawarkan Tribhuwaneswari dan Gayatri sebagai hadiah.
Namun, banyak pengamat meragukan kebenaran cerita ini, menganggapnya sebagai imajinasi dari pengarang Pararaton semata. Pasukan Mongol di bawah pimpinan Ike Mese dikirim ke Jawa dengan tujuan utama untuk menaklukkan Kertanagara, bukan untuk membantu dalam perseteruan antara Majapahit dan Jayakatwang.
Setelah kemenangan mereka atas Jayakatwang, tantangan berikutnya menanti Raden Wijaya dan Arya Wiraraja dalam menghancurkan pasukan Tatar. Dalam cerita yang terpatri dalam Pararaton, kisah menyebutkan bahwa kedua putri, yang telah disiapkan untuk diserahkan kepada pasukan Tatar, menetapkan syarat bahwa tentara Tatar harus menyembunyikan senjata mereka, karena kedua putri merasa takut melihat senjata dan darah.
Maka, saat pasukan Tatar tiba tanpa senjata untuk menjemput kedua putri tersebut, pasukan Raden Wijaya segera melancarkan serangan mendadak dan menghabisi mereka.
Raden Wijaya kemudian memegang tampuk kekuasaan sebagai raja pertama Majapahit sejak tahun 1293. Namun, perjalanan panjangnya sebagai pemimpin hanya berlangsung hingga tahun 1309 ketika ia meninggal. Putranya, Jayanagara, menggantikannya sebagai penguasa, tetapi pemerintahan Jayanagara tidak berlangsung lama. Pada tahun 1328, Jayanagara tragis tewas dibunuh oleh Ra Tanca tanpa meninggalkan keturunan yang dapat melanjutkan dinasti Majapahit.
Menurut catatan Nagarakretagama, Gayatri, sebagai sesepuh keluarga kerajaan yang masih hidup, memiliki hak atas takhta Majapahit. Namun, Gayatri telah memilih untuk mengundurkan diri dari urusan duniawi dengan menjadi seorang Bhiksuni, atau pendeta Buddha. Dalam perannya sebagai pemimpin spiritual, Gayatri kemudian menugaskan putrinya, Tribhuwanatunggadewi, untuk naik takhta menggantikannya pada tahun 1329, mengambil alih posisi Jayanagara yang tidak memiliki keturunan.
Namun, pada tahun 1350, Tribhuwanatunggadewi turun takhta bersamaan dengan wafatnya Gayatri, meskipun kebenaran hal ini masih diragukan. Prasasti Singasari menunjukkan bahwa Ratu Tribhuwana masih memerintah hingga tahun 1351. Pada tahun tersebut, Tribhuwanatunggadewi masih merangkap sebagai Rajaputri, sesuai dengan temuan prasasti Singasari yang ditemukan. Nagarakretagama dan Pararaton juga mencatat bahwa pada tahun 1362, Hayam Wuruk, raja keempat Majapahit, mengadakan upacara Sraddha untuk memperingati 12 tahun wafatnya Gayatri Rajapatni, menandakan betapa pentingnya peran dan pengaruhnya dalam sejarah kerajaan Majapahit.
Menurut Nagarakretagama, takhta yang ditinggalkan oleh Jayanagara, yang tidak memiliki keturunan, diwarisi oleh Gayatri. Kemungkinan saat itu, istri-istri Raden Wijaya yang lain telah meninggal, dan garis keturunan yang tersisa adalah dari Gayatri. Gayatri, sebagai putri bungsu Kertanegara dan salah satu istri Raden Wijaya, mewarisi takhta tersebut. Namun, karena Gayatri telah mengambil jalan kehidupan keagamaan sebagai seorang Bhiksuni, pemerintahannya diwakili oleh putrinya, Tribhuwanatunggadewi, yang diangkat sebagai Rajaputri, istilah yang membedakannya dari istilah "Ratu" dalam bahasa Jawa yang berarti "Penguasa".
Meskipun tahun kelahiran dan usia Gayatri tidak diketahui secara pasti, berdasarkan fakta bahwa ia meninggal 57 tahun setelah berdirinya Majapahit, dipastikan bahwa ia meninggal dalam usia yang cukup tua. Raja Majapahit, Hayam Wuruk, memerintahkan pembangunan candi pendharmaan untuk Rajapatni Dyah Gayatri di Bayalangu sebagai tempat pendarmaan. Tanahnya disucikan oleh pendeta Sri Jinana Widhi.
Dalam kitab Nagarakertagama, dicatat pembangunan Prajnyaparamitapuri sebagai nama candi makam yang dibangun, dan arca Sri Rajapatni diberkahi oleh Sang pendeta Sri Jinana Widhi. Di Bayalangu, juga akan dibangun candi makam Sri Rajapatni, dengan pendeta Sri Jinana Widhi lagi yang ditugaskan memberkahi tanahnya. Rencananya telah disetujui oleh sang menteri demung Boja, Wisesapura namanya, jika candi sudah sempurna dibangun.
Candi makam Sri Rajapatni menjadi terkenal sebagai tempat yang suci dan keramat. Setiap bulan Badrapada, dipersembahkan oleh para menteri dan pendeta. Di tiap daerah, rakyat membuat peringatan dan memuja secara serentak. Hal ini dianggap sebagai surga, berkat berputera dan bercucu dari Narendra utama.
Pada tahun 1362 M, berlangsunglah upacara Sraddha untuk memperingati 12 tahun wafatnya Rajapatni Dyah Gayatri, sesuai catatan dalam kitab Nagarakertagama. Pada saat perayaan tersebut, abu jenazah Rajapatni Dyah Gayatri dan arca Pradjnaparamita ditempatkan sebagai penghormatan kepada Rajapatni Dyah Gayatri.