JATIMTIMES - Menyusuri jejak sejarah yang kaya di Bumi Arya Wiraraja, penulis Jatim TIMES memulai perjalanan ekspedisi pada Idul Fitri 2024 mengarah ke Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Meskipun kota ini terasa sepi, di balik kesunyian itu tersembunyi situs-situs bersejarah yang lebih kuno daripada zaman Majapahit dan Mataram Islam. Salah satunya adalah Situs Selogending.
Berbekal motor klasik Kawasaki W175, penulis memulai perjalanan pada hari yang panas, mencerminkan sisa-sisa efek El Niño. Namun, begitu sampai di Desa Kandangan, tempat di mana Situs Selogending berada, udara sejuk dan adem menyambut, mungkin karena letaknya yang terbentang di lereng Gunung Semeru.
Baca Juga : Gerindra dan PDIP Bangun Koalisi Politik, Siap Menangkan Bunda Indah
Dari pusat Kota Lumajang, perjalanan hanya memerlukan waktu sekitar 30 menit menuju Situs Selogending. Di perjalanan, penulis melintasi Pura Agung Mandara Giri Semeru di Kecamatan Senduro, yang katanya merupakan pura terbesar se-Indonesia.
Tiba di Situs Selogending, penulis disambut oleh Pak Wiji, seorang tokoh adat di Desa Kandangan, yang ramah menyambut dengan ajakan ngopi untuk menghilangkan rasa dingin. Sambil menyuguhkan kopi, Pak Wiji menjelaskan bahwa mereka sedang mempersiapkan kerja bakti untuk menyambut perayaan Sedekah Bumi 5 tahunan yang akan dilaksanakan pada tanggal 23 April. Acara ini akan diadakan bersamaan dengan masyarakat Tengger dan Probolinggo, dengan menu utama ubo rampe dan kepala kerbau sebagai bentuk penghormatan kepada alam dan leluhur.
"Kerja bakti ini untuk mempersiapkan perayaan Sedekah Bumi yang akan datang. Ini adalah bentuk penghormatan kami kepada leluhur dan alam, serta cara untuk memperkokoh tali persaudaraan di antara warga desa,” ungkap Pak Wiji.
Desa Kandangan, Kecamatan Senduro, di Kabupaten Lumajang menjadi sorotan karena menjadi pemukiman tertua di wilayah itu, dikenal sebagai tempat berdirinya Situs Cagar Budaya Selogending. Terletak sekitar 36 kilometer dari Kota Lumajang, Desa Kandangan memiliki makna spiritual yang kuat terhadap Gunung Semeru bagi masyarakatnya. Keyakinan akan kekuatan spiritual gunung ini dan perlindungan nenek moyang dianggap sebagai berkah yang membawa kemakmuran jangka panjang dan kesuburan lahan pertanian. Manusia prasejarah memilih tinggal di lereng gunung dan sepanjang aliran sungai, mempercayai tempat-tempat tersebut sebagai sumber berkah.
Desa ini menyimpan artefak kuno seperti mangkok perunggu, bangunan berundak, menhir, dan pecahan porselen, yang merupakan warisan berharga dari masa lalu.
Situs Selogending, tempat persembahyangan penting bagi masyarakat Hindu, mengabadikan tradisi spiritual dan sejarahnya, menjadikannya tempat yang bernilai tinggi bagi keberagaman budaya dan kepercayaan di daerah tersebut.
Situs Selogending, sebuah warisan masa lalu yang dipersembahkan untuk pemujaan kuno. Dikelilingi oleh punden berundak yang memikat, situs ini menampilkan pusat pemujaan yang megah dengan batu-batu menhir yang mengesankan, seperti Watu Selogending, Watu Wadung Prabu, Watu Mbah Pikulun, Watu Tejo Kusumo, dan Watu Tejo Gedang. Luasnya yang mencapai lima hektar menawarkan ruang peribadatan yang luas bagi para pengunjung untuk merenungkan kebesaran masa lalu. Menurut cerita lisan, punden Selogending ada sejak zaman prasejarah.
Sejak zaman dahulu, Gunung Semeru dianggap sebagai penjelmaan Gunung Meru yang dihormati oleh masyarakat. Legenda itu terwujud dalam Prasasti Kumbolo yang menceritakan perjalanan Mpu Kameswara ke puncak Gunung Semeru pada tahun 1525 Masehi, mencari Tirtayatra. Hari ini, tradisi itu tetap hidup, terutama di antara umat Hindu Bali yang secara rutin mengunjungi sumber mata air Watu Klosot di Pasrujambe, sebuah kawasan kuno yang dahulu menjadi tujuan peziarah. Bukti sejarah, seperti prasasti Rabut Macan Pethak, menegaskan kekayaan spiritual dan sejarah tempat ini, menghadirkan makna mendalam bagi mereka yang merenungkan warisan masa lalu.
Sungai Rawa dan Situs
Selogending memiliki ikatan yang kuat, yang tercermin dalam referensi Rabut Macan Pethak, yang kemungkinan merujuk pada Selogending itu sendiri. Laporan Belanda juga mengungkapkan hubungan erat antara Situs Selogending dan Sumber Rawa, yang tercermin dalam nama tempat "Selarawa", menggabungkan Selogending dan Sumber Rawa. Selarawa, sebuah pertapaan yang dipimpin oleh Pandita Amongdharma, menyimpan rahasia mantan penguasa Malang, Adipati Malayakusuma. Mata-mata Belanda bahkan bertemu dengan Pandita Amongdharma di Gunung Ciri (Banjarsawah), di mana mereka dilarang untuk bertemu Malayakusuma.
Baca Juga : Cak Thoriq Siap Bersaing dengan Bunda Indah di Pilkada Lumajang 2024
Watu Tedjo Kusumo, salah satu batu keramat yang dihormati di Situs Selogending, mengambil nama dari tokoh legendaris masa lalu, Panji Mas Tedjo Kusumo, penguasa Tengger dan putra Adipati Malayakusuma. Ketika VOC menguasai Kota Malang, Panji Mas Tedjo Kusumo yang masih kecil diselamatkan oleh Pandita Tengger Amongdharma dan diasuh di Pegunungan Tengger hingga dewasa, menjadi seorang Demang. Pada tahun 1813, ia memberontak terhadap pemerintah kolonial dan diasingkan ke Rembang. Di sana, ia menikahi keturunan keluarga Han Lasem dan melahirkan keturunan seperti Mas Soemodiwirjo, Mas Sastrodiwirjo, dan Mas Prawiriodiwirjo, yang turut mewarisi warisan keberanian dan kebijaksanaan leluhurnya.
Watu Tedjo Gedang, batu keramat yang berdekatan dengan Watu Tedjo Kusumo di Situs Selogending, mendapat namanya dari Hasan Mukmin atau Mbah Reso, juga dikenal sebagai Mas Soemodiwirjo. Namanya "Tedjo" mengacu pada hubungannya sebagai anak dari Tedjo Kusumo, sementara "Gedang" terkait erat dengan peristiwa pemberontakan Kiai Hasan Mukmin di Gedangan. Batu ini mengandung jejak sejarah yang menggugah, menandai keberanian dan semangat perlawanan dari masa lalu yang tetap hidup dalam ingatan dan spiritualitas masyarakat setempat.
"Situs Selogending ini lebih tua dari Pura Mandara Giri Semeru Agung di Senduro. Pura itu dibangun pada tahun 1970-an, sementara Selogending ini sudah ada sejak zaman pra-sejarah. Ini adalah bukti nyata bahwa warisan budaya dan spiritualitas di Desa Kandangan memiliki akar yang sangat dalam, melampaui sejarah yang tercatat,” jelas Pak Wiji.
Situs Selogending telah menjadi tujuan yang cukup terkenal di kalangan orang Bali yang beragama Hindu. Ketika mereka melakukan ziarah ke Pura Mandara Giri Semeru Agung di Senduro, banyak yang memanfaatkan kesempatan untuk mengunjungi Situs Selogending yang tak jauh dari sana. Hal ini menunjukkan betapa kuatnya daya tarik spiritual dan nilai keagamaan yang terkandung di dalamnya.
"Kami merasa senang melihat kunjungan orang Bali yang datang untuk menghormati Situs Selogending. Ini adalah bukti bahwa warisan spiritual dan keagamaan di sini tidak hanya dihargai oleh masyarakat lokal, tetapi juga oleh mereka yang datang dari jauh,” tutup Pak Wiji.
Dengan menelusuri jejak pra-sejarah di Situs Selogending Lumajang, telah terbuka jendela yang mengungkapkan warisan kuno dan kehidupan masa lalu yang penuh misteri. Situs ini tidak hanya menjadi tempat bersejarah yang mengagumkan, tetapi juga sebuah tanda kebesaran zaman dahulu yang terus hidup dalam ingatan kita.
Melalui eksplorasi ini, kita telah memperkaya pemahaman kita tentang budaya, spiritualitas, dan kearifan nenek moyang yang masih relevan hingga saat ini. Dengan harapan bahwa warisan berharga ini akan terus dijaga dan dihormati oleh generasi mendatang, mari kita terus menjaga dan merawat warisan sejarah kita dengan penuh kebanggaan dan penghargaan. Salam Budaya!