JATIMTIMES - Setelah deburan senjata mereda dan perang Diponegoro berakhir pada tahun 1830, semangat perjuangan laskar pribumi melawan kolonial Belanda tidak pernah padam. Di bawah bayang-bayang kejayaan pesantren, nyala api perlawanan terus berkobar, menerangi jalan para pejuang Islam yang tak kenal lelah.
Salah satu sosok yang menjelma sebagai pilar perlawanan dan pembela agama adalah KH Imam Bukhori, yang meneguhkan langkahnya sebagai pendiri Pondok Pesantren Miftahul Ulum di Desa Jatinom, Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar.
Baca Juga : Hengky Kurniawan Mantap Maju di Pilkada Blitar 2024, Tegaskan Kesiapan dengan Syarat Ini
Dari balik tembok pondoknya, ia memimpin generasi penerus dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan, membawa harapan bagi masa depan yang lebih baik bagi umat dan tanah air bangsanya.
Pondok Pesantren Miftahul Ulum masih kokoh berdiri hingga hari ini dan seperti sejak awal berdirinya, pondok ini jadi pusat kegiatan keagamaan di bulan Ramadan. Suasana Ramadan di pondok ini tak pernah lekang oleh waktu. Begitu senja menggantikan teriknya siang, aura spiritualitas mulai mengisi udara. Para santri berkumpul di masjid, menunggu dengan sabar saat langit berubah menjadi guratan oranye dan merah muda. Setelah azan maghrib berkumandang, ritual tarawih pun dimulai.
Di tengah langkah-langkah imam yang khusyuk dan suara tilawah al-Quran yang merdu, suasana begitu kental dengan energi masa lalu yang kuat. Seakan-akan bayang-bayang para ulama terdahulu turut hadir dalam setiap rakaat yang dilalui, menerangi jalan bagi mereka yang tekun beribadah.
Selepas tarawih, suasana masih terasa hangat. Orang-orang berkumpul di sekitar halaman masjid atau di ruang-ruang pengajian, memperdalam diskusi tentang agama. Di sini, suasana energi masa lalu semakin terasa, ketika para ulama dan tokoh agama dahulu sering mengadakan majelis ilmu untuk menyampaikan hikmah dan petunjuk spiritual kepada jamaahnya.
Para santri dan penduduk sekitar merasakan kehadiran spiritualitas yang begitu kuat, seakan-akan terhubung dengan akar-akar Islam yang dalam dan murni. Ramadan di Pondok Pesantren Miftahul Ulum bukan hanya sekadar menjalankan ibadah, tetapi juga merupakan perjalanan spiritual yang mempererat ikatan dengan Allah SWT dan menyuburkan kekuatan iman dalam diri setiap individu.
Sejarah mencatat, Pondok Pesantren Maftahul Ulum di Desa Jatinom Kecamatan Kanigoro Kabupaten Blitar, pondok ini telah menjadi pusat pendidikan Islam sejak tahun 1880, didirikan oleh seorang sufi terkemuka bernama KH. Imam Bukhori.
KH. Imam Bukhori, yang lahir dengan nama kecil Samsuri, atau lebih dikenal sebagai Mbah Bestir, merupakan putra dari seorang ulama bernama Muhammad Kahfi Ats Tsani. Kelahiran KH. Imam Bukhori terjadi di Kaligintung, Yogyakarta, sekitar tahun 1823. Kaligintung, dalam hirarki kekuasaan pada masa itu, merupakan wilayah Negara Agung atau wilayah induk yang langsung dipimpin oleh Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Dari tangan seorang sufi yang berjiwa besar ini, Pondok Pesantren Maftahul Uluum terus menerus menyebarkan cahaya ilmu pengetahuan Islam hingga menjadi salah satu institusi pendidikan Islam yang terhormat di Blitar dan sekitarnya.
Di tengah peristiwa politik yang memanas di Jawa pada awal abad ke-18, seorang anak kecil bernama Samsuri atau yang lebih dikenal sebagai Imam Bukhori lahir. Waktu itu, politik Kolonial Belanda menekan keras kehidupan rakyat dan kesultanan Yogyakarta, memicu konflik besar yang dikenal sebagai Perang Jawa atau Perang Diponegoro pada tahun 1825.
Sebagai anggota keluarga ulama, Imam Bukhori menggali ilmu agama dari ayahnya dan juga mondok di bawah bimbingan beberapa ulama besar. Meskipun detail tempat beliau menimba ilmu agama tidak sepenuhnya jelas, namun kehausan akan pengetahuan tergambar jelas dalam perjalanan remaja Imam Bukhori ke Mancanegara Wetan, sebutan masyarakat Mataram untuk Jawa Timur.
Menurut Sunawan, ketua santri di Pondok Maftahul Uluum, Imam Bukhori memiliki hubungan dekat dengan keraton Yogyakarta, yang memungkinkan dia belajar ilmu agama yang murni dari kitab-kitab para ulama terdahulu. Meski tidak ada catatan pasti, namun diperkirakan Imam Bukhori menikah dan bercerai di Yogyakarta sebelum kemudian melanjutkan perjalanannya dalam menuntut ilmu agama.
“Mbah Kiai ini menurut sejarah masih berkerabat dekat dengan keraton Yogyakarta. Karena ya memang kabarnya masih dekat dengan keraton, ilmu agama yang dipelajarinya masih murni dari kitab-kitab para ulama terdahulu,” ungkap Sunawan.
Meskipun tidak ada catatan pasti mengenai usia dan pasangan hidupnya saat di Yogyakarta, beberapa riwayat menyebutkan bahwa Imam Bukhori pernah menikah dan mengalami perceraian di sana. Setelah itu, beliau memutuskan untuk mengembara ke arah timur guna memperdalam ilmu agama dan pengetahuan.
Dalam perjalanan, Imam Bukhori tidak hanya menjadi murid, tetapi juga menjadi guru bagi banyak orang. Salah satu tokoh yang berpengaruh dalam perjalanannya adalah Kiai Zaid dari Njalen, Ponorogo.
Selain itu, beliau juga belajar di Pesantren Keling atau Ringin Agung Pare, di bawah bimbingan Raden Sekepuh atau yang lebih dikenal sebagai Kiai Nawawi, seorang priyayi dan mantan penghulu Keraton Surakarta Hadiningrat. Di sinilah beliau bertemu dengan sahabat karibnya, Mas’ud Komarudin, yang kelak menjadi kakak iparnya.
Melihat kealiman Imam Bukhori, Mas’ud Komarudin menjodohkannya dengan adiknya, Khadijah Binti KH. Hasan Mustar atau yang lebih dikenal sebagai KH Qomarudin, sekitar tahun 1883. KH Qomadurin sendiri adalah seorang santri yang turut berjuang dalam Perang Diponegoro, menambahkan kisah keberanian dan ketabahan dalam garis keturunan mereka.
Di Desa Jatinom, Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar, sebuah pondok pesantren yang dipimpin oleh KH. Qomarudin telah berdiri, dan di sinilah KH. Imam Bukhori dan KH. Mas’ud turut membantu mertuanya dalam mengasuh para santri. Dari gemblengan mereka, lahirlah para santri dan pejuang yang akan memiliki peran penting dalam menyebarkan dakwah Islam dan memperjuangkan kemerdekaan Nusantara dari penjajah.
Tidak lama setelah itu, KH. Imam Bukhori melanjutkan perjuangannya ke Jambewangi, Wlingi, di mana beliau mendirikan sebuah pesantren dengan jumlah santri yang lumayan besar. Namun, sebelum pesantren itu sempat berkembang lebih lanjut, KH. Imam Bukhori dipanggil oleh Paman Nyai Khadijah, yaitu KH. Irfan, untuk kembali ke Desa Jatinom dan membantu KH. Qomarudin dalam dakwah di sana.
Baca Juga : Kisah Perjuangan Nabi Muhammad di Malam Lailatul Qadar, Sempat Diterpa Badai
Pada sekitar tahun 1883, KH. Imam Bukhori diberikan sebidang tanah untuk membangun kembali pusat pendidikan Islam yang dinamai Daarus Salaam, yang artinya Kampung Damai. Dengan modal yang terbatas, beliau mendirikan sebuah masjid kecil dan sederhana serta beberapa pondok untuk menampung para santri, menandai awal dari perjalanan pendidikan Islam yang berarti di daerah tersebut.
Pada tahun 1923, KH. Imam Bukhori memimpin pembangunan Masjid dan pondokan yang layak, yang diberi nama Pondok Pesantren Maftahul Uluum. Di sinilah beliau mengabdikan dirinya untuk mengajarkan berbagai ilmu keislaman kepada para santri.
Menurut Sunawan, salah satu pengurus pondok, pendidikan di sini banyak menekankan pada ilmu alat, terutama ilmu nahwu dan sharaf. Hal ini bertujuan agar para santri mampu membaca kitab kuning dengan baik dan menjadi berguna bagi masyarakat setelah mereka lulus, terutama dalam hal mengajarkan ilmu agama.
Hingga kini, Pondok Pesantren Maftahul Uluum tetap mengajarkan berbagai ilmu keislaman, termasuk Al-Quran dan Tafsirnya, Hadis, Fiqih, dan lain-lain. Banyak lulusan pondok ini yang kemudian menjadi ulama besar di wilayah Blitar dan sekitarnya.
Meskipun didirikan sejak abad ke-19, pondok ini masih mempertahankan gaya arsitektur kuno dengan tembok-tembok tebal yang menjadi ciri khasnya. Tradisi-tradisi salafiyah juga tetap dijaga, seperti ngaji bandongan dan penggunaan kitab kuning.
“Salah satu tradisi yang masih dilestarikan hingga saat ini adalah Grebeg Maulud, di mana sebuah tumpeng besar dari susunan telur dibuat dan kemudian diarak keliling kampung serta dibagikan kepada masyarakat sebagai bagian dari perayaan Maulid Nabi,” terang Sunawan.
KH. Imam Bukhori, pendiri Pondok Pesantren Jatinom di Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar, adalah sosok yang meneguhkan komitmennya melawan penjajahan Belanda sepanjang hidupnya.
Pada tahun 1938, setelah menjalani hukuman pengasingan selama 10 tahun di Pulau Banda Neira, beliau tetap kukuh menolak menggunakan piring keramik yang dianggapnya sebagai simbol kolonialisme Belanda. Sampai akhir hayatnya, beliau selalu makan menggunakan piring batok kelapa sebagai simbol perlawanan terhadap penjajahan.
Sebelumnya, KH. Imam Bukhori sudah menjadi sorotan pemerintah Belanda sejak lama. Pada tahun 1910, penasehat Kolonial Belanda Urusan Pribumi, Hazeu, membuat catatan tentang beliau yang dianggap membahayakan pemerintahan kolonial dengan pandangannya yang radikal dalam menafsirkan jihad dan menolak kedudukan Belanda di Indonesia.
Saat terlibat dengan Sarikat Islam (SI), KH. Imam Bukhori memilih bergabung dengan SI Merah yang sikap perlawanannya terhadap penjajahan Belanda lebih radikal. Penangkapan beliau oleh pemerintah kolonial pada tahun 1928 menjadi sorotan media massa saat itu, menandai perjuangan dan keteguhan hati seorang ulama dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsanya.
Penangkapan Kiai Bukhori oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1928 terkait dengan keterlibatannya dalam pemberontakan Sarikat Islam (SI) Merah atau Sarekat Rakyat pada November 1926.
Namun, jejak perlawanan Kiai Bukhori terhadap penjajahan Belanda sudah terlihat sejak lama. Pada tahun 1914, saat SI menggelar pertemuan besar di Kota Blitar yang dihadiri oleh HOS Cokroaminoto, Kiai Bukhori menjadikan Pondok Pesantren Jatinom sebagai tempat makan siang para peserta. Para tamu yang datang dari Alun-alun Kota Blitar harus berjalan kaki menuju Pondok Pesantren Jatinom, meskipun jaraknya cukup jauh.
Dokumen resmi dari Koninklijk Instituut Voor Taal en Volkenkunde (KITLV) mengungkap bahwa pemerintah kolonial Belanda telah lama mengawasi Kiai Bukhori sebelum ia aktif dalam Sarikat Islam. Pada tahun 1910, penasehat kolonial Belanda, Hazeu, mencatat Kiai Bukhori sebagai seorang guru ngaji di pesantren Jatinom Blitar yang dianggap membahayakan Belanda dengan pandangannya yang radikal, terutama dalam menafsirkan konsep jihad dari Kitab fikih Fathul Qorib. Dalam pidato-pidatonya, Kiai Bukhori dengan tegas menyatakan bahwa kedudukan Belanda di Indonesia adalah ilegal.
KH. Imam Bukhori menjalani hidup yang panjang, mencapai usia sekitar 122 tahun sebelum beliau berpulang ke rahmatullah pada sekitar tahun 1945. Konon, sebelum wafat, beliau sering merasakan firasat yang menghampiri. Setiap kali bangun tidur, beliau kerap mengucapkan kata-kata, "Ealah, durung dipundut to" (Ealah, rupanya belum dipanggil Allah).
Setelah kepulangan KH. Imam Bukhori, kepemimpinan Pondok Pesantren Maftahul Uluum diambil alih oleh salah satu putranya, yaitu KH. Banu Sofwan, dan dilanjutkan oleh generasi berikutnya dalam keluarga mereka. Dengan kesinambungan ini, warisan ilmu dan tradisi yang dimulai oleh pendiri pondok pesantren terus dijaga dan diperkokoh untuk generasi mendatang.