free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Serba Serbi

Memperingati 269 Tahun Perjanjian Giyanti

Perang, Pemerintahan, dan Persahabatan: Melihat Kembali Peran Raden Ronggo Prawirodirdjo I dalam Perang Suksesi Jawa III

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Yunan Helmy

04 - Mar - 2024, 16:23

Placeholder
Ilustrasi.(Foto : Sultan Agung The Movie)

JATIMTIMES - Raden Ronggo Prawirodirdjo I telah menorehkan namanya dalam sejarah sebagai seorang panglima perang yang ulung, pemimpin tertinggi bagi kesejahteraan rakyat Madiun, dan sahabat dekat Sultan Hamengkubuwono I. Sebagai bupati wedana yang memimpin Madiun dengan kebijaksanaan selama beberapa dekade, ia mampu membawa kedamaian bagi wilayah tersebut pasca-Perang Giyanti.

Meskipun bukanlah asli Madiun, kepemimpinan Ronggo yang penuh dengan karisma berhasil memenangkan hati penduduk setempat. Madiun, yang sebelumnya diperintah oleh keturunan Pangeran Timur, pada akhirnya menerima Ronggo sebagai pemimpinnya, meskipun bukan dari garis keturunan yang sama.

Baca Juga : Tak Sekadar Wacana, Program Sport Tourism Direalisasikan KONI Kota Malang

Pangeran Timur, seorang bangsawan terhormat dari keluarga Kesultanan Demak, memiliki peran yang penting dalam sejarah Madiun sebagai bupati pertamanya di era Kesultanan Pajang. Melalui pernikahannya dengan Retno Dumilah, putri Panembahan Senopati, Pangeran Timur memberikan warisan yang berkelanjutan bagi kepemimpinan di Madiun. Namun, jalur suksesi Pangeran Timur terhenti ketika Raden Ronggo Prawirodirdjo I mengambil alih jabatan bupati wedana Madiun, menggantikan Pangeran Mangkudipuro.

Raden Ronggo, putra dari Kiai Ageng Derpoyudo, seorang panglima perang dari Keraton Kartasura, menunjukkan dedikasi yang luar biasa terhadap Madiun sejak awal kepemimpinannya. Cinta dan ikatan emosionalnya dengan rakyat Madiun mungkin terbentuk dalam konteks Perang Giyanti atau Perang Suksesi Jawa III. Dalam perang tersebut, dia bersama dengan Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa) memperoleh dukungan penuh dari rakyat Mataram dalam melawan penjajahan Belanda dan Kasunanan Surakarta.

Dalam perang yang melegenda tersebut, salah satu tokoh yang menjadi andalan Mangkubumi adalah Kiai Wirosentiko, yang kemudian dikenal sebagai Raden Ronggo Prawirosentiko dan kemudian Raden Ronggo Prawirodirdjo I. Kiai Wirosentiko, atau Ronggo, ditunjuk sebagai panglima perang karena kehebatannya dalam strategi perang. Dia bukan hanya sekadar seorang ahli perang, tetapi juga teman baik dari Pangeran Sambernyawa.

Hubungan antara ketiga tokoh ini, Mangkubumi, Sambernyawa, dan Ronggo, sangat menarik untuk ditelusuri. Meskipun kurang dikenal, peran besar Ronggo dalam perjuangan melawan penjajah Belanda sangat diakui oleh kedua pemimpin tersebut. Sejarah mencatat bahwa saat pecahnya perselisihan antara Mangkubumi dan Sambernyawa, Sambernyawa bahkan mengirim surat kepada sahabatnya, Kiai Wirosentiko, sebagai tanda hubungan mereka yang kuat.
Melalui dedikasinya dalam perang dan kepemimpinannya yang bijaksana, Ronggo Prawirodirdjo I tidak hanya menjadi bupati Madiun, tetapi juga seorang pahlawan yang dihormati. Keberhasilannya dalam memimpin Madiun dan kontribusinya dalam perjuangan melawan penjajah tidak boleh dilupakan dalam sejarah.

Beberapa sejarawan Jawa merujuk pada tiga tokoh utama, Mangkubumi, Sambernyawa, dan Kiai Wirosentiko, sebagai "Three Musketeers" dalam perang Suksesi Jawa III. Namun, tidak banyak yang tahu tentang Kiai Wirosentiko sampai berdirinya Kesultanan Yogyakarta, meskipun perannya sangat penting dalam sejarah. Mereka adalah trio pertama dari "Three Musketeers", dengan periode berikutnya diwakili oleh tokoh-tokoh seperti Pangeran Diponegoro, Sentot Ali Basyah Abdul Mustopo Prawirodirdjo, dan Kiai Mojo.

Menariknya, dari ketiga tokoh besar tersebut, Pangeran Diponegoro adalah cucu buyut Sultan Mangkubumi, sedangkan Sentot adalah cucu buyut dari Kiai Wirosentiko. Hal ini mencerminkan warisan perjuangan yang kuat dari generasi ke generasi.

Raden Ronggo Prawirodirdjo I, bupati Madiun ke-14, memiliki peran yang hampir terlupakan dalam perang Suksesi Jawa III. Meskipun demikian, perannya sangat diakui oleh Mangkubumi dan Sambernyawa, yang kemudian menjadi raja-raja Jawa dari Dinasti Mataram Islam. Sebagai panglima perang di Giyanti, Raden Ronggo terlibat dalam pertempuran besar selama delapan tahun.

Salah satu momen penting dalam kariernya adalah ketika pasukan Mangkubumi dan Sambernyawa berhasil menaklukkan Madiun dan Ponorogo. Keberhasilan ini mungkin memberikan kesan khusus bagi Ronggo, karena Madiun menjadi wilayah kekuasaannya sebagai bupati wedana dan tempat peristirahatan terakhirnya.

Pada tahun 1753, seluruh wilayah Mancanegara Timur tunduk kepada pemberontak yang dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi. Serangan besar yang menjadi puncak penaklukkan tersebut terjadi pada 30 September 1752, ketika Sambernyawa menyerbu Magetan dan Ponorogo dengan hasil yang menggembirakan. Mereka berhasil menguasai dan merampok kota-kota tersebut serta menewaskan R.Ad Suradiningrat, Regen Ponorogo yang setia pada pihak kompeni Belanda.
Sementara itu, Mangkubumi bersama orang kepercayaannya, Kiai Wirosentiko, memimpin pasukan mereka dan merebut Madiun yang pada saat itu telah ditinggalkan oleh pasukan Belanda. Serangan mendadak ini membuat Belanda terkejut. Gubernur pertama VOC di pesisir timur laut Jawa, Van Hohendorff, mengamati bahwa para pemberontak berhasil menguasai dua distrik terpenting dan padat penduduk di Pulau Jawa, yakni Ponorogo dan Madiun, dengan satu pukulan saja.
Penaklukkan atas lembah Sungai Madiun, yang merupakan wilayah subur dan berpenduduk padat, menjadi momen penting bagi Mangkubumi dan Wirosentiko. Kemudian, dalam Perjanjian Giyanti 1755, Madiun disepakati untuk menjadi bagian dari Kesultanan Yogyakarta yang dipimpin oleh Mangkubumi (Hamengkubuwono I). Pada tahun 1758, Mangkubumi menunjuk Raden Ronggo Prawirodirdjo I sebagai bupati wedana Madiun, menggantikan Pangeran Mangkudipuro yang lebih cenderung mendukung Kasunanan Surakarta.

Baca Juga : Tahun 2024, Diskominfo Targetkan SPBE Kabupaten Malang Capai Angka 4

Setelah penaklukkan Madiun oleh kelompok pemberontak, Kiai Wirosentiko mungkin semakin dekat dengan rakyat Madiun. Banyak dari mereka yang kemudian turut serta dalam Perang Giyanti bersama Mangkubumi, di mana Wirosentiko menjadi panglima perang dan orang kepercayaan sang pangeran.
Hari setelah menaklukkan Madiun, Mangkubumi dan Kiai Wirosentiko memimpin pasukan mereka menuju selatan, menuju Ponorogo. Pasukan Mangkubumi pada tahap ini terdiri dari 2.800 kavaleri dan 4.000 infanteri. Di Ponorogo, kedatangan Mangkubumi disambut meriah oleh Sambernyawa dan pasukannya. Tembakan salut dari meriam dan senapan, orkestra gamelan, dan tarian bedhaya memuliakan sang raja pemberontak. Mangkubumi segera mendirikan istananya di kubu pertahanan di Ponorogo, sementara turnamen-turnamen Sabtu diadakan untuk menghormatinya.

Keberhasilan penaklukkan Brang Wetan Gunung Lawu ini disambut baik oleh rakyat Madiun. Banyak di antara mereka yang kemudian turut serta dalam perjuangan Mangkubumi, Sambernyawa, dan Kiai Wirosentiko dalam Perang Suksesi Jawa III. Rakyat Madiun lebih memilih Madiun diperintah oleh Mataram di bawah kepemimpinan Pangeran Mangkubumi yang lebih senior, berbakat, dan karismatik daripada Raja Surakarta Pakubuwono III yang dianggap lemah dan hanya menjadi boneka VOC.

Puncak dari perang yang melelahkan ini adalah Perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Perjanjian ini disepakati untuk memecah Mataram menjadi dua kerajaan, Kasunanan Surakarta yang dipimpin oleh Pakubuwono III, dan kerajaan baru Kesultanan Yogyakarta yang dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi, yang kemudian bergelar Sultan Hamengkubuwono I. Kiai Wirosentiko turut mendampingi Mangkubumi dalam perundingan ini di Desa Giyanti, yang kini dikenal sebagai Desa Jantiharjo, terletak di wilayah Kecamatan Matesih, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.
Negara baru Kesultanan Yogyakarta, dengan semangat perjuangan Sultan Hamengkubuwono I dan Raden Ronggo Prawirodirdjo I yang menentang penjajah, kelak melahirkan tokoh-tokoh revolusioner yang membawa perubahan menuju kemerdekaan bangsa Indonesia. Para keturunan Kesultanan Yogyakarta dari garis keturunan Mangkubumi dan Prawirodirdjan, yang terlibat dalam politik pernikahan antara kedua tokoh ini, menjadi pahlawan bangsa yang meneruskan perjuangan leluhur mereka melalui perang. Para revolusioner sejati itu antara lain Raden Ronggo Prawirodirdjo III (bupati wedana Madiun), Pangeran Diponegoro (pemimpin Perang Jawa 1825-1830), Sentot Ali Basyah Abdul Mustopo Prawirodirdjo (panglima perang Diponegoro), dan Sultan Hamengkubuwono IX.

Bagi Madiun, wilayah ini memiliki kepentingan tersendiri karena atas perintah Raden Ronggo Prawirodirdjo I, rakyat Madiun turut serta dalam pembangunan Keraton Yogyakarta dan Taman Sri. Bupati Wedana Madiun, Raden Ronggo, memulai persiapan pembangunan Taman Sari sejak tahun 1758 hingga 1765/9. Pembangunan Taman Sari berlangsung lebih dari satu dasawarsa dengan kontribusi tangan dan tenaga dari rakyat Madiun.
Sebagai wujud komitmen dalam pembentukan negara baru di tanah Jawa, Kiai Wirosentiko yang bergelar Raden Ronggo Prawirodirdjo I menyumbangkan pendopo rumahnya untuk dibawa ke Keraton Yogyakarta. Pendopo sumbangan Raden Ronggo ini dikenal sebagai Bangsal Kamandungan, yang merupakan bangsal tertua di Keraton Yogyakarta. Keagungan bangsal ini hingga kini masih dapat disaksikan tanpa banyak mengalami perubahan.
Menurut catatan sejarah, pendopo bersejarah dari Bangsal Kamandungan tersebut dibawa dari rumah Raden Ronggo Prawirodirdjo I di Desa Karangnongko, Kabupaten Sragen, yang dahulu dikenal sebagai Sukowati. Ketika Perang Suksesi Jawa III meletus, konon rumah Raden Ronggo ini pernah menjadi tempat tinggal bagi Pangeran Mangkubumi, yang kemudian bergelar Sultan Hamengkubuwono I.

Selain sebagai seorang ahli perang, Raden Ronggo Prawirodirdjo I juga ternyata adalah seorang arsitek. Selain memimpin pembangunan Taman Sari, Sultan Hamengkubuwono I juga meminta Raden Ronggo Prawirodirdjo I untuk memimpin pembangunan Benteng Baluwarti, yang awalnya hanya berupa pagar dari kayu.

Setelah mendedikasikan dirinya selama 29 tahun dalam pemerintahan kesultanan, pada usia lanjut sekitar tahun 1784, Raden Ronggo Prawirodirdjo I jatuh sakit dan akhirnya wafat di Istana Kranggan.
Jenazah Raden Ronggo Prawirodirdjo I tidak dimakamkan di Imogiri maupun Kotagede Yogyakarta. Sultan Hamengku Buwono I mengeluarkan perintah agar jenazah Raden Ronggo Prawirodirdjo I dimakamkan di Desa Taman yang terletak di sebelah timur Kranggan. Desa ini kini dikenal dengan nama Kelurahan Taman yang berada di wilayah Kecamatan Taman, Kota Madiun.

Sejak saat itu, Desa Taman di Madiun ditetapkan oleh Sultan pertama Yogyakarta sebagai desa perdikan, diberikan otonomi yang luas. Di lokasi itu, dibangun sebuah masjid yang sekarang dikenal sebagai Masjid Kuno Taman. Sultan kemudian menugaskan seorang kiai sebagai pemimpin Desa Perdikan Taman, yang diberi gelar Kyai Raden Misbach.


Topik

Serba Serbi Raden Ronggo Prawirodirdjo I Perang Suksesi Jawa III Perjanjian Giyanti



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Yunan Helmy