JATIMTIMES - Pangeran Sambernyawa dan Pangeran Mangkubumi, dua sosok kuat dari Dinasti Mataram, menjadi pilar utama dalam Perang Suksesi Jawa III, didukung oleh keahlian seni perang Kiai Wirosentiko dari Sukowati. Kekuatan mereka tak terkalahkan, membuat Kompeni Belanda dan sekutunya, Kasunanan Surakarta, terguncang dan Jawa dilanda kekacauan.
Namun, kesatuan kuat antara Mangkubumi dan Sambernyawa harus pupus saat ketidakcocokan di antara mereka muncul. Perbedaan senioritas dan hubungan kekeluargaan memaksa mereka untuk berpisah. Sambernyawa memilih jalannya sendiri, meskipun harus berhadapan dengan Mangkubumi, pangeran sekaligus mertua yang sangat dihormatinya.
Di tengah persiapan Perjanjian Giyanti, Sambernyawa terus melancarkan serangan mematikan ke wilayah Surakarta dan wilayah pemberontak di bawah pimpinan Mangkubumi. Serangannya tidak hanya menargetkan kota dan pemukiman, tetapi juga tempat-tempat bersejarah. Salah satu serangan kontroversial terjadi di tahun 1754, di mana pasukannya menodai Makam Ki Ageng Selo, situs suci Dinasti Mataram, dengan kekejaman yang tidak termaafkan.
Sambernyawa merasa bersalah atas penodaan di Selo, meskipun dalam serangannya, pasukannya telah diperintahkan untuk berhenti merusak. Mereka merampok desa-desa dan merusak masjid serta makam Ki Ageng Selo, menyulut kemarahan bangsawan dan meninggalkan bekas luka mendalam pada sejarah Jawa.
Baca Juga : Mengenal Christmas Island, Pulau Dekat Indonesia yang Dihuni Mayoritas Muslim
Ki Ageng Selo, diangkat sebagai figur suci dan dihormati dalam lingkaran Dinasti Mataram Islam, menghadirkan warisan keturunan langsung dari Raja Majapahit terakhir, Brawijaya V. Dalam gelar kebesaran, ia adalah kakek dari Ki Ageng Pamanahan, tokoh yang membabat alas mentaok bersama putranya, Danang Sutawijaya, yang kemudian mendirikan Kerajaan Mataram Islam dengan gelar Panembahan Senopati, memerintah sekitar tahun 1584-1601. Melalui perjalanannya, Mataram berkembang menjadi kekaisaran yang megah di bawah pemerintahan Sultan Agung, mewarisi takhta yang menguasai tanah Jawa, hingga saat meletusnya Perang Suksesi Jawa III, di mana Mataram dipimpin oleh Raja Pakubuwono III dengan pusat kekuasaannya berada di Surakarta.
Nama asli Ki Ageng Selo adalah Bagus Songgom, seorang bangsawan keturunan Majapahit yang hidup sebagai petani biasa yang haus akan ilmu. Ia mengejar setiap ilmu untuk menghidupi dirinya. Semula, masyarakat hanya melihatnya sebagai individu biasa, hingga suatu peristiwa mengubah segalanya. Ki Ageng Selo, yang dikenal juga sebagai Ki Ageng Ngabdurrahman, memperlihatkan keajaiban saat mampu menangkap petir. Peristiwa itu menjadi titik awal 'sumorote' (manifestasi kesaktiannya) Ki Ageng Selo, terjadi saat Pati Unus wafat, sekitar tahun 1521 Masehi, ketika Ki Ageng Selo masih berusia dua puluhan.
Perusakan makam Ki Ageng Selo oleh pasukan Sambernyawa tidak hanya membuatnya marah, tetapi juga mengganggu kehatinya. Sambernyawa menyadari bahwa tindakan tersebut akan mendatangkan murka Tuhan dan membawa malapetaka di masa depan selama perang masih berlangsung. Sebagai tanggapan, dia segera memerintahkan agar semua barang yang dicuri dari Selo dikembalikan kepada pemiliknya. Selain itu, Sambernyawa juga memutuskan untuk membangun kembali makam Ki Ageng Selo, seorang leluhurnya, sesuai dengan permintaan dari komunitas keagamaan.
Namun, tindakan pengrusakan makam Ki Ageng Selo mendapat kecaman dari Pangeran Mangkubumi, mantan sekutu yang kini menjadi lawan Sambernyawa setelah perpecahan koalisi. Dalam Babad Giyanti, disebutkan bahwa Mangkubumi, yang akan segera menjadi Sultan Yogyakarta, mengecam tindakan penodaan Sambernyawa dan pasukannya terhadap situs makam Ki Ageng Selo. Patih Natakusuma, yang berada di pihak Mangkubumi, menegaskan, "Tidak ada seorang pun yang mengerti makna 'Kulhu' dan tidak ada seorang pun yang menyadari pentingnya 'istana' Sela, yang merupakan akar dari seluruh garis keturunan raja."
Istilah 'Kulhu' merujuk pada Surah 112 dalam Al-Quran, al-Ikhlash (Memurnikan Keesaan Allah), yang mengandung penegasan singkat tentang keesaan dan kesatuan Tuhan. Dengan kata lain, surah ini menyampaikan ajaran yang sangat mendasar. Dengan surat ini, Natakusuma menyatakan bahwa orang-orang Sambernyawa tidak mengerti hal ini atau menghargai pentingnya makam Ki Ageng Sela.
Dalam Babad Giyanti, Patih Natakusuma menggambarkan pasukan Sambernyawa sebagai orang-orang barbar yang tidak menghargai keyakinan Islam dan tradisi Jawa mereka sendiri. Pangeran Mangkubumi, yang geram oleh tindakan Sambernyawa, ingin segera menyerang keponakan dan menantunya itu, tetapi dicegah oleh Natakusuma.
Meskipun Mangkubumi benar-benar marah, Natakusuma memberikan nasihat yang bijak. Pertama, ia mengingatkan bahwa berperang di makam leluhur sama saja dengan menunjukkan kurangnya rasa hormat dan penghargaan kepada sang leluhur. Kedua, Natakusuma menyadarkan Mangkubumi bahwa sebagai calon Sultan Yogyakarta, ia sekarang didampingi oleh pasukan VOC yang berbeda keyakinan agama, dan kehadiran mereka akan mengotori situs suci tersebut serta merusak kekuatan spiritual yang ada di sana.
Perang Suksesi Jawa III yang meletus pada 11 Desember 1749 hingga 13 Februari 1755 menghadirkan pemandangan epik di Mataram. Rakyat Mataram bersatu memberikan dukungan tanpa syarat kepada Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa) dalam perjuangan mereka melawan kolonialisme Belanda dan aliansi mereka dengan Keraton Kasunanan Surakarta.
Baca Juga : Tingkatkan Keandalan Listrik, PLN UP3 Malang Gelar Panjat Tiang Sampai Tuntas
Dukungan itu tidak hanya terbatas dari rakyat Mataram, tetapi juga dari kaum pejuang di Jawa Timur, seperti yang terjadi di Madiun. Dalam perang ini, seorang tokoh kunci adalah Kiai Wirosentiko, yang kemudian mengabdi sebagai Raden Ronggo Prawirosentiko, lalu Raden Ronggo Prawirodirdjo I, dan akhirnya menjabat sebagai Bupati Wedana Madiun.
Klimaks dari perang yang melelahkan ini terjadi saat Penandatanganan Perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Perjanjian itu membagi Mataram menjadi dua kerajaan, Kasunanan Surakarta di bawah kepemimpinan Pakubuwono III, dan Kesultanan Yogyakarta yang baru di bawah Pangeran Mangkubumi yang kemudian menjadi Sultan Hamengkubuwono I.
Namun, semangat perjuangan Pangeran Sambernyawa tidak pernah pudar. Ia memimpin perang sendirian melawan Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Meskipun Pangeran Mangkubumi adalah mertuanya, Sambernyawa melihatnya sebagai pengkhianat yang terjerat oleh VOC. Selama 16 tahun, Laskar Pangeran Sambernyawa bertempur sebanyak 250 kali.
Akhirnya, harapan akan perdamaian yang diusung oleh VOC terwujud dengan Perjanjian Salatiga pada 17 Maret 1757. Perjanjian itu disepakati antara Sunan Pakubuwono III dan Pangeran Sambernyawa di Desa Jemblung, Kabupaten Wonogiri. Namun, perjanjian itu hanya melibatkan Sunan Paku Buwono III, dengan saksi utusan dari Sultan Hamengku Buwono I dan VOC.
Perjanjian Salatiga menegaskan Pangeran Sambernyawa, atau Raden Mas Said, menjadi Adipati Miji alias mandiri dengan gelar KGPAA Mangkunegara I. Wilayah kekuasaannya, dikenal sebagai Kadipaten Mangkunegaran, mencakup wilayah yang luas dan strategis di Kedaung, Matesih, Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Pajang utara, dan Kedu.