JATIMTIMES - Pada masa gemerlap sejarah Mataram, nama Raden Mas Garendi melambung tinggi dalam ingatan. Dia yang pernah menggenggam kekuasaan setelah melengserkan tahta Pakubuwono II dalam pemberontakan Geger Pecinan. Namun, takdir berkata lain.
Dalam perebutan kekuasaan yang rumit, Garendi naik tahta dengan gelar Amangkurat V, hanya untuk sebentar. VOC, kekuatan dominan saat itu, tidak berdiam diri. Hanya enam bulan kemudian, atas permohonan Pakubuwono II, mereka menggulingkan Garendi dari singgasana yang baru saja direbutnya.
Baca Juga : Sirkuit Sentul Kota Blitar Ganti Wajah Jadi Arena Drag Race, Pecinta Balap Wajib Merapat
Perang melawan kekuatan Belanda dan pasukan setia Pakubuwono II berlangsung sengit. Salah satu komandan perang yang setia pada pihak Garendi adalah Raden Mas Said, putera Pangeran Arya Mangkunegara. Namun, kekuatan yang dibangun dengan darah dan keringat itu runtuh dalam satu serangan besar pada 26 November 1742.
Dibantu oleh Cakraningrat IV dari Madura, Pakubuwono II menyerbu Istana Kartasura dari arah Bengawan Solo, sementara pasukan Belanda menyerang dari arah Ungaran dan Salatiga. Amangkurat V terpaksa meninggalkan istana Mataram, mengungsi ke selatan bersama pasukannya.
Perjuangan yang dipenuhi dengan keberanian dan pengorbanan itu berakhir tragis bagi Amangkurat V. Dia berhasil ditangkap di Surabaya pada bulan Desember 1743, setelah terpisah dari rombongannya. Dibawa ke Semarang, lalu ke Batavia, dan akhirnya dibuang ke Ceylon atau Sri Lanka, nasib Garendi berakhir di tanah asing.
Misteri melayang di sekeliling kematian Garendi. Tidak ada yang tahu pasti kapan dia menghembuskan napas terakhirnya. Catatan Belanda menyebutkan bahwa Garendi meninggal saat dalam pembuangan di Sri Lanka.
Di balik panggung politik yang dipenuhi intrik, tersembunyi rencana Belanda yang lebih dalam. Mereka berencana melantik Pangeran Pancoran sebagai Sunan Pakubuwono III, dalam upaya untuk memegang kendali lebih lanjut atas wilayah Mataram. Namun, cerita itu hanya menjadi sebuah potongan dari masa lalu yang penuh teka-teki, terkubur dalam lembaran sejarah yang terus berputar.
Pangeran Pancoran, sebuah nama yang mungkin hanya sebagian kecil dari kita yang mengenali. Namun, di balik sejarah yang terpendam, ia adalah bagian tak terpisahkan dari Dinasti Mataram Islam, dengan kedekatan yang erat dengan Pangeran Sambernyawa dan Kadipaten Mangkunegaran.
Lahir sebagai Raden Mas Ngali, putra sulung dari Pangeran Arya Mangkunegara, ia kemudian dikenal dengan gelar Pangeran Tirtakusuma ketika mencapai kedewasaan. Di antara lima belas saudaranya, yang paling mencuat adalah Raden Mas Said, yang kelak dikenal sebagai Pangeran Sambernyawa, pendiri Kadipaten Mangkunegaran. Ada pula Pangeran Pamot dan Pangeran Mangkudiningrat, keduanya turut serta dalam Perang Suksesi Jawa III mendukung Pangeran Sambernyawa.
Pada tahun 1728, Pangeran Tirtakusuma mengikuti ayahnya dalam pengasingan ke Batavia. Saat itu, saudara-saudaranya tetap tinggal di Kartasura, termasuk sang adik yang masih balita, Raden Mas Said. Meskipun diasingkan ke Sri Lanka, Tirtakusuma memilih untuk menetap di Batavia. Di sana, ia menetap di distrik Pancoran. Dan dari sinilah, ia mulai dikenal sebagai Pangeran Pancoran. Nama yang kini melekat pada sebuah kecamatan di Jakarta Selatan, sebuah jejak dari perjalanan hidupnya yang penuh warna dalam lembaran sejarah yang terus bergulir.
Di penghujung pemberontakan Geger Pecinan pada tahun 1743, Belanda merencanakan langkah besar. Mereka ingin menurunkan Pakubuwono II, sang penguasa yang dianggap lemah dalam memimpin dan membuat kebijakan. Rencana mereka telah terarah pada satu titik: mengangkat Pangeran Pancoran sebagai raja Mataram berikutnya. Beda dengan sang saudara, Pangeran Sambernyawa, yang gigih memerangi bangsa Eropa, Pancoran dikenal sebagai sosok yang ramah dan mendukung setiap kebijakan Belanda.
Namun, harapan Belanda pupus saat Pakubuwono II setuju dengan tuntutan VOC dan kembali menduduki takhtanya. Pancoran gagal meraih gelar Pakubuwono III.
Perjanjian antara Mataram dan VOC pada tahun 1743 menjadi titik balik penting. Disepakati pada bulan November, perjanjian ini ditandatangani oleh Sunan Pakubuwono II dan VOC. Dalam kesepakatan ini, Pakubuwono II menerima bantuan VOC untuk menumpas pemberontakan Raden Mas Garendi dan dipulihkan ke takhtanya di Istana Mataram di Kartasura.
Sebagai imbalannya, Pakubuwono II menyerahkan beberapa wilayah kekuasaan kepada VOC, termasuk Madura Barat, Surabaya, Rembang, Jepara, dan Blambangan. Bea dari pelabuhan-pelabuhan di Pasisir juga menjadi milik VOC, bersama dengan kemungkinan untuk mengendalikan jalur perdagangan di sepanjang Pasisir dan sungai-sungai yang mengalir ke sana. Mataram juga diwajibkan untuk menyuplai VOC dengan 5.000 koyan (setara dengan 8.600 ton) beras setiap tahun secara cuma-cuma dan secara permanen. VOC juga berhak menyetujui pengangkatan Patih Mataram, dan harus ditempatkan satu garnisun VOC di ibu kota Mataram, Kartasura. Selain itu, orang Jawa dari Mataram dilarang berlayar ke luar Jawa, Madura, dan Bali.
Kerajaan Mataram Islam, yang pernah megah di masa Sultan Agung, pada akhirnya terperosok ke dalam kehancuran, terikat oleh perjanjian yang merenggut kebebasannya dan menyerahkan kendali kepada kekuatan luar.
Baca Juga : Apa Itu Hattrick? Kata yang Dipakai PDI Perjuangan usai Kuasai Suara Pileg 2024
Setelah rencana pengangkatan Pangeran Pancoran sebagai raja gagal, Tirtakusuma tetap berdiam di Batavia. Namun, tak lama kemudian, situasi menghadirkan tugas baru baginya. Saat Perang Suksesi Jawa III merebak, Belanda melihat kesempatan untuk memanfaatkannya dalam meredam pemberontakan yang dipimpin oleh adiknya, Pangeran Sambernyawa. Bersama Pangeran Mangkubumi, Sambernyawa melawan Keraton Surakarta dan VOC, menjadi musuh utama bagi kedua pihak tersebut.
Pada tahun 1753, atas permintaan Sunan Pakubuwono III, jenazah Pangeran Arya Mangkunegara dikembalikan ke tanah Jawa. Tirtakusuma, yang datang dari Batavia, turut serta dalam pengembalian jenazah tersebut. Meskipun Pangeran Sambernyawa tidak hadir dalam penyambutan tersebut, ia mengirimkan utusan untuk mewakili dirinya.
VOC melihat momen ini sebagai kesempatan untuk bernegosiasi dengan Pangeran Sambernyawa. Pertemuan berlangsung pada 11 Mei 1753 di Semarang, dihadiri oleh Gubernur VOC Van Hohendorff dan 500 pasukan kavaleri. Dalam kesempatan ini, Pangeran Sambernyawa, yang tengah terlibat dalam pertempuran, menitipkan sebuah surat kepada VOC. Di dalam surat tersebut, Sambernyawa menuntut VOC untuk mempromosikannya ke status yang diinginkannya dan mengirimkan saudaranya, Tirtakusuma atau Pangeran Pancoran, kepadanya.
Meskipun VOC menolak permintaan pertama dari Pangeran Sambernyawa karena keberadaan Sunan Pakubuwono III yang sudah memegang tahta di Surakarta, mereka tetap berusaha memenuhi permintaan kedua. Pangeran Pancoran dengan tegas menyatakan kesiapannya untuk bertemu dengan Sambernyawa, asalkan sang adik menunjukkan niat baik kepada VOC.
Setelah jenazah Pangeran Arya Mangkunegara diberangkatkan kembali ke peristirahatan terakhirnya di Imogiri, Pangeran Pancoran memilih untuk tetap tinggal di Semarang, menolak untuk kembali ke Batavia. Sikap ini dipandang oleh VOC sebagai bukti kesetiaan Pancoran terhadap mereka. Mungkin Pancoran merasa berhutang budi kepada Belanda karena telah memberinya perlindungan dan kehidupan yang nyaman selama bertahun-tahun di Batavia.
Meskipun ada pertukaran surat dan upacara pemakaman Pangeran Arya Mangkunegara di Imogiri, VOC terus menggunakan kehadiran Pangeran Pancoran untuk mencoba memaksa Pangeran Sambernyawa menyerah. Bahkan, melalui Van Hohendorff, Belanda mengancam akan mengasingkan Pancoran dan keluarganya ke Sri Lanka jika Sambernyawa tidak menghentikan perang. Ancaman ini tidak mempan, dan Sambernyawa tetap bersikeras untuk mendapatkan kekuasaan sebagai raja Mataram. Perang pun berlanjut dengan sengit dan melelahkan, tanpa tanda-tanda akan segera berakhir.
Perang yang berkecamuk antara Mangkubumi-Raden Mas Said dengan Surakarta-Belanda akhirnya menemui titik terang pada tahun 1755 dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti. Perjanjian ini membagi Kerajaan Mataram menjadi dua bagian, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Mangkubumi memperoleh wilayah Yogyakarta dan naik takhta sebagai penguasa pertamanya dengan gelar Sultan Hamengkubuwono I.
Meskipun demikian, Perjanjian Giyanti tidak sepenuhnya mengakhiri konflik. Pangeran Sambernyawa masih merasa tidak puas dengan pembagian wilayah tersebut. Ia memilih untuk terus berperang, kali ini melawan tiga pihak sekaligus: Keraton Surakarta, Keraton Yogyakarta, dan Belanda. Perjuangan Sambernyawa baru berakhir secara resmi dalam Perjanjian Salatiga pada tahun 1757. Perjanjian ini melibatkan VOC dan Sunan Pakubuwono III, yang mengangkat Sambernyawa sebagai Adipati Mangkunegaran dan memberinya status pangeran merdeka dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Arya Adipati Mangkunegara I.
Kadipaten Mangkunegaran mengambil nama dari ayah Raden Mas Said, yaitu Pangeran Arya Mangkunegara. Gelar Mangkunegara kemudian diwariskan sebagai gelar penguasa Kadipaten Mangkunegaran, yang saat itu dipegang oleh Kanjeng Gusti Pangeran Arya Adipati (KGPAA) Mangkunegara. Setelah mendirikan Kadipaten Mangkunegaran, Raden Mas Said bergelar KGPAA Mangkunegara I.
Sementara itu, Pangeran Pancoran, hingga akhir hayatnya, memilih untuk tinggal di Semarang dan menjalin hubungan dekat dengan Belanda, menjadi sahabat setia dari pihak kolonial tersebut.