JATIMTIMES - Pemilu 2024 masuk masa tenang. Gelaran kampanye telah resmi berakhir pada Sabtu (10/2/2024) lalu. Berbagai dinamika dalam proses kampanye telah terjadi. Lantas, bagaimana pandangan pakar akan kampanye dalam Pemilu 2024 ini ?.
Ketua Departemen Ilmu Komunikasi UB, Prof Rachmat Kriyantono SSos MSi PhD melihat, bahwa pada Pemilu 2019 hanya terjadi polarisasi yang disebabkan politik identitas dan banyak terkonstruksi di grassroot. Meski begitu, dampak polarisasi ini tak berimbas serius.
Baca Juga : Penyidik Ungkap Pemicu Suami Beri Racun Istri hingga Tewas dari Buku Diary Korban
“Muncullah politik atribusi yang membagi rakyat ke dalam dua kelompok besar, cebong dan kampret. Tetapi, polarisasi ini tidak berdampak serius pada kerusakan demokrasi dan sistem hukum kita," ucapnya, Senin (12/2/2024).
Berbeda dengan Pemilu 2024, bahwa dalam Pemilu ini memanas karena tokohnya bersumber dari kalangan elit, seperti halnya Presiden. Menurutnya, orang nomor 1 di republik ini menjadi pemicu utama.
“Pemicu utama adalah sikap dan perilaku politik Presiden. Kasus MK, majunya Gibran, pernyataan Presiden bahwa dia boleh kampanye, keputusan DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum) telah memunculkan isu hilangnya etika dalam praktek politik dan demokrasi," paparnya.
Menurutnya, dari sisi Ilmu Komunikasi, Sebagai komunikator politik, Presiden telah mereduksi trust atau kepercayaan publik. Publik saat ini kehilangan trust dan tidak percaya jika Pemilu berjalan sesuai dengan kaidah yang ada atau tanpa kecurangan. Sebaliknya, publik malah percaya jika Pemilu berjalan dengan adanya berbagai penyimpangan.
Lebih dari itu, banyak inkonsistensi pesan yang terjadi dan disuguhkan. Baik itu, inkonsistensi pesan verbal maupun inkonsistensi pesan non verbal. "Misalnya, menginstruksikan aparat netral, tapi foto presiden bersama satu capres dan parpol tertentu berjejeran di semua daerah,” paparnya.
Kemudian disampaikan penulis buku Teknik Praktis Riset Komunikasi ini, bahwa penguatan pesan kunci pada pasangan calon 01 dan 03 memperkuat positioning mereka. Isu etika dan netralitas membuat sebuah polarisasi yang jelas bahwa paslon 02 merupakan Paslon berstatus quo dan paslon lainnya adalah oposisi.
Baca Juga : Bawaslu Banyuwangi Ajak Warga Awasi Kecurangan dan Politik Uang di Masa Tenang
Lebih lanjut dijelaskan, bahwa kegiatan Desak Anies atau Tabrak Prof mempunyai positioning kuat untuk membangun image yang bisa mengubah dan memperbaiki kondisi rakyat. "Desak Anies dan Tabrak Prof merupakan sarana komunikasi untuk membangun image sebagai paslon yang merakyat dan peduli rakyat. Ada faktor homofili, yakni kesesuaian pesan komunikator dengan kebutuhan rakyat, yang membuat komunikasi efektif," tuturnya.
Kapasitas intelektual, pengalaman, dan kapasitas komunikasi seorang paslon sangat teruji di model kampanye ini. Disitu ada edukasi politik melalui diskusi dan berbagi opini dengan rakyat.
Sebaliknya, penyebutan gemoy hingga Samsul, menurut pria yang akrab disapa RK justru menunjukkan paslon dengan kapasitas gagasan yang kurang hingga pengalaman yang kurang. “Namun harus diakui gimmick tersebut bisa meningkatkan awareness publik, tapi jika publik kita sudah terliterasi secara baik justru kondisi akan berbalik," pungkasnya.