JATIMTIMES - Dua kasus pembunuhan disertai mutilasi yang terkuak di awal 2024, menggemparkan masyarakat Kota Malang. Pertama, seorang suami warga Blimbing memutilasi istrinya dan kemudian pelaku menyerahkan diri. Kemudian, seorang tukang pijat yang membunuh dan memutilasi pasiennya disebuah kos dikawasan Kedungkandang. Lantas, bagaimana kriminolog melihat peristiwa keji?
Peristiwa ini tentunya cukup mengagetkan. Sebab, selama ini Kota Malang lebih dominan dengan kasus pencurian, seperti halnya pencurian motor. Adanya kasus keji ini, juga menimbulkan pertanyaan mengapa hal ini bisa terjadi dan apa sebenarnya faktor yang mempengaruhi sehingga terjadi aksi keji tersebut.
Baca Juga : Ungkap Peredaran Okerbaya: Polres Situbondo Amankan 790 Butir Pil Trex dan Detron
Kriminolog yang juga Wakil Dekan I Fakultas Hukum UB Milda Istiqomah menjelaskan bahwa tindak pidana mutilasi sebetulnya memang bukan kali pertama terjadi di Indonesia. Bahkan, sejak tahun 1960 telah terjadi kasus mutilasi.
Namun, 3 sampai 5 tahun terkahir kasus mutilasi dari pengamatannya terdapat peningkatan. Motifnya, dijelaskan Milda ada banyak hal. Ada dua faktor yang mempengaruhi, yakni faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal, dilihat dari dalam diri pelaku. Faktor ini juga terkait dengan kejiwaannya pelaku. Jadi ada faktor gangguan kejiwaan yang dialami oleh si pelaku yang menyebabkan mengapa dia sampai melakukan tindakan mutilasi.
"Jadi mohon dibedakan antara pembunuhan dengan mutilasi pembunuhan, itu juga banyak faktornya penyebabnya," jelasnya.
Kasus mutilasi yang terjadi, pelaku memotong korban menjadi beberapa bagian. Bahkan, pada beberapa kasus, pelaku sampai semacam mengkuliti korban. Hal ini kebanyakan dilakukan bermotif untuk menghilangkan jejak dan menghilangkan bukti.
"Tapi menurut saya, ini yang memang harus dicermati di masing-masing kasus. Karena kita tidak bisa menggeneralisir ya, jadi memang faktor internal dari dalam diri si pelaku itu. memang penting untuk melihat faktor kejiwaan begitu ya. Apakah memang dia memiliki gangguan kejiwaan dan sebagainya," katanya.
Namun, dijelaskannya bahwa tidak selalu pelaku mutilasi itu mempunyai gangguan kejiwaan. Tetapi, ada juga yang didasarkan pada emosi yang tak bisa terkendali dari pelaku, sampai kemudian melakukan aksi tersebut.
Kemudian, faktor eksternal. Faktor eksternal memang bermacam-macam. Ada yang menyebutkan faktor sosial lingkungan maupun faktor ekonomi maupun faktor keluarga. Dan ini ditegaskan Milda harus dicermati secara mendalam.
"Secara mendalam, ya artinya harus melihat kasus case by case untuk kemudian mencari upaya bagaimana penyelesaiannya," ungkapnya.
Baca Juga : Waspada, Ancaman Cuaca Ekstrem dan Bencana Hidrometeorologi di Indonesia hingga Februari 2024
Namun, dari kasus mutilasi di Kota Malang, kasus mutilasi istri menarik perhatiannya. Sebelum kasus terjadi, tetangga dan masyarakat setempat sudah seringkali mengetahui adanya cekcok. Dan hal ini bukan pertama kali yang dilihat oleh warga. Bahkan ada warga yang sampai khawatir akan terjadi peristiwa yang tidak diinginkan, namun mereka tidak melakukan tindakan antisipatif.
"Nah itu yang sebetulnya menjadi PR kita bersama. Kita sebagai masyarakat yang gotong-royong, yang humanis, yang sosial, begitu melihat itu harus punya panggilan nurani untuk setidaknya untuk melaporkan itu ke pihak kepolisian," jelasnya.
Terlepas penyebab cekcok persoalan keluarga dan beranggapan masyarakat tak bisa turut campur, namun ketika satu peristiwa berpotensi mengancam atau membahayakan, maka masyarakat harus bertindak dengan setidaknya menegur dan melaporkan kepada pihak berwajib.
"Ketika itu membahayakan jiwa, keselamatan kita tetap harus bertindak. Saya sesalkan juga sebetulnya. Ada masyarakat setempat sudah mengetahui sering berantem, tapi masyarakat tidak bisa melakukan apa-apa," katanya.
Masyarakat mempunyai kewajiban juga untuk berpartisipasi dalam mencegah adanya hal-hal yang tidak diinginkan di sekitarnya. Seperti halnya peristiwa KDRT bahkan sampai dengan pembunuhan. Partisipasi masyarakat tentunya akan berdampak setidaknya untuk mencegah hal-hal yang melanggar hukum di sekitarnya.
"Kita enggak bisa kemudian hanya menyerahkan tugas dan kewajiban itu semua pada pihak kepolisian. Kepolisian itu juga sudah bekerja keras, sudah kewalahan ngurusin kasus-kasus besar yang lain. Nah kalau misalnya masyarakat tidak membantu dan tidak memiliki peran yang besar untuk mencegah terjadinya kejahatan, maka bisa jadi kejahatan akan terjadi lagi," jelasnya.