JATIMTIMES – Isu sosial terkait pekerjaan adalah hal yang lumrah berlangsung di kalangan negara berkembang maupun negara maju. Namun, apabila permasalahan pekerjaan beralih menjadi narasi kematian, hal ini merupakan fenomena yang tak lazim terjadi.
Korea Selatan telah lama dilanda badai jam kerja hingga mengorbankan kesehatan mental dan kesejahteraan warganya. Masyarakat Korea Selatan dituntut bekerja selama 1.900 jam dalam setahun. Bahkan jam kerja Korea Selatan 300 jam lebih lama daripada negara Jepang yang terkenal disiplin dan pekerja keras. Faktor ini yang turut menjadikan Korea Selatan menjadi negara dengan jam kerja paling lama lama dan produktivitas paling tinggi diantara negara-negara maju di dunia.
Baca Juga : 240 Orang Tewas Usai Israel Gempur 400 Target di Gaza
Rerata jam kerja warga Korea Selatan 50% lebih lama dibandingkan dengan Jerman sebagai negara industri. Dengan jatah libur hanya satu hari, standar jam kerja disana menyentuh 70-90 jam per minggunya. Hal inilah yang menyebabkan lonjakan besar terkait jumlah kematian akibat bekerja. Yang lebih ironisnya lagi, jumlah perempuan yang bunuh diri karena terlalu banyak bekerja juga meningkat secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Masyarakat Korsel sering menyebut fenomena ini sebagai budaya gwarosa atau kerja sampai mati.
Dengan jam terbang yang tinggi tersebut, menunjukkan sisi pertarungan antara kepentingan bisnis yang sengit di Korsel. Setiap tahunnya ada puluhan hingga ratusan orang yang meninggal di Korea Selatan karena banyak bekerja. Hal ini yang mendorong pemerintah Korea Selatan untuk mengeluarkan undang-undang yang mengurangi jam kerja maksimum dari 68 jam per minggu menjadi 40 jam, dengan 12 jam lembur yang dibayar.
“Kesempatan penting untuk beralih dari masyarakat yang terlalu banyak bekerja menjadi masyarakat yang menghabiskan waktu bersama keluarga,” ujar Presiden Moon Jae-in selaku kepala pemerintah Korea Selatan yang menjabat pada saat itu.
Walaupun pemerintah Korea Selatan telah mengeluarkan Undang-Undang untuk mengurangi angka korban kematian akibat kelelahan bekerja, nyatanya fenomena gwarosa ini masih terus berlanjut sampai sekarang. Faktor ini diakibatkan karena Undang-Undang tersebut tidak berlaku untuk semua industri. Mulai dari kecelakaan kerja, serangan jantung hingga pendarahan otak, menjadi penyakit utama yang mendominasi gwarosa.
Namun sayangnya hukum Korea Selatan tidak secara resmi mengakui kematian akibat kerja berlebihan, tetapi kompensasi kematian di tempat kerja akan ditanggung oleh Layanan Kompensasi dan Kesejahteraan Pekerja Korea apabila serangan jantung atau stroke fatal yang diderita saat bekerja lebih dari 60 jam per minggu selama tiga bulan memenuhi syarat.
Melansir dari CNN, pekerja yang tengah mengalami musibah seperti sakit maupun kecelakaan mereka tetap dituntuk untuk masuk dan bekerja. Masyarakat Korea Selatan tak diam saja, mereka telah banyak menggelar aksi yang dilakukan untuk mengecam perusahaan yang tidak manusiawi.
Aksi yang paling terkenal disana adalah rasa unjuk rasa tahun 1970 yang dilakukan oleh Jon Tae Il, yang memprotes kondisi pekerja Korsel dengan cara membakar dirinya sendiri sampai tewas. Aksi serupa pun kembali terulang pada pertengahan tahun 2023, salah satu anggota serikat pekerja Korea membakar dirinya hidup hidup di luar kantor pengadilan sebagao bentuk protes.
Bisa dikatakan gwarosa merupakan budaya sisah zaman peperangan, setelah Perang Dunia II Korea Selatan berusaha sekuat tenaga agar ekonomi negaranya bisa bangkit, dari salah satu negara termiskin dunia menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia hanya dalam waktu beberapa dekade saja.
Baca Juga : Renovasi Alun-Alun Kota Blitar : Tantangan Menyelesaikan Proyek Tepat Waktu di Tengah Capaian 75 Persen
Meskipun pertumbuhan pesat dan keberhasilan ekonomi negara tersebut harus dibayar mahal, pada dasarnya memperpanjang jam kerja mencerminkan keengganan pemerintah untuk mengakui realitas masyarakat Korea Selatan.