JATIMTIMES - Pada zaman dahulu, di wilayah yang kini kita kenal sebagai Jawa Barat, ada sebuah kerajaan yang berdiri megah di tepi Sungai Citarum. Namanya adalah Kerajaan Tarumanegara, sebuah kerajaan Hindu yang menjadi saksi bisu dari kejayaan masa lalu. Sebuah kerajaan yang telah mengukir namanya dalam lembaran sejarah Indonesia.
Kerajaan Tarumanegara lahir pada abad ke-4, tepatnya pada tahun 358 M. Namun, yang membuatnya begitu istimewa adalah fakta bahwa pendirinya bukanlah seorang putra tanah air, melainkan seorang maharesi bernama Jayasingawarman yang datang dari jauh, dari tanah India yang jauh di sana. Ia adalah sosok yang membawa agama Hindu ke Jawa Barat, dan dengan tekad yang kuat, ia membangun sebuah kerajaan yang akan menjadi bukti keberadaan Hindu tertua di wilayah ini, setelah Kerajaan Kutai.
Baca Juga : UM Sukses Kembangkan Fotokatalis untuk Limbah Air Sungai
Jayasingawarman mencintai tanah yang ia pilih sebagai tempat berdirinya kerajaannya. Di sanalah ia menemukan pohon tarum yang tumbuh subur. Dari pohon tarum itulah ia mengambil inspirasi untuk memberi nama kerajaannya, Tarumanegara. Tanah ini menjadi tempat bagi agama Hindu berkembang, dan ia memerintah dengan bijaksana dari tahun 358 M hingga 328 M, sebelum akhirnya memutuskan untuk meninggalkan tahta dan menjadi seorang petapa.
Kepemimpinan Kerajaan Tarumanegara kemudian dilanjutkan oleh Raja Dharmayawarman, meskipun masa pemerintahannya (382-395 M) tidak banyak tertulis dalam catatan sejarah. Namun, kejayaan sejati Kerajaan Tarumanegara datang di bawah pemerintahan Raja Purnawarman, yang memerintah pada tahun 397 Masehi.
Purnawarman adalah seorang penguasa yang berwawasan luas dan ambisius. Ia membangun ibu kota kerajaan yang megah dan bernama Sundapura di pantai, tempat asal-usul nama "Sunda" sekarang. Tindakan cemerlangnya juga tercermin dalam Prasasti Tugu, di mana ia memerintahkan penggalian Sungai Gomati sepanjang 12 kilometer. Sungai ini tidak hanya berfungsi sebagai jalur perdagangan yang makmur, tetapi juga mengendalikan banjir dan menghindari kekeringan yang biasanya melanda di musim kemarau.
Kerajaan Tarumanegara di bawah pimpinan Purnawarman mencapai puncak kejayaannya, menjadi salah satu kerajaan terbesar di wilayah tersebut. Namun, seperti semua hal dalam sejarah, kejayaan ini juga akan berlalu, dan Kerajaan Tarumanegara akan menjadi satu lagi dalam deretan kisah-kisah megah yang menyusun lembaran sejarah Indonesia yang kaya dan berwarna.
Kerajaan Tarumanegara, pada suatu masa, mengalami perpecahan, menciptakan dua kerajaan bersaudara, yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh. Perpecahan ini tidak hanya memengaruhi wilayah, tetapi juga membentuk perbedaan yang signifikan dalam budaya dan tradisi di Jawa bagian barat.
Orang Galuh, yang umumnya tinggal di wilayah pesisir, dijuluki sebagai "orang air," sementara orang Sunda, yang sering mendiami pedalaman dan daerah pegunungan, memiliki sebutan "orang gunung." Perbedaan ini mencerminkan gaya hidup dan lokasi geografis yang berbeda antara dua kelompok ini. Selain itu, perbedaan mitos tradisional juga menjadi ciri khas masing-masing kelompok, dengan orang Galuh memiliki mitos tentang buaya, sedangkan orang Sunda memiliki mitos tentang harimau.
Jejak-jejak tradisi lama masih dapat ditemukan di beberapa tempat di daerah Ciamis dan Tasikmalaya. Tempat-tempat ini dulu digunakan untuk melabuhkan mayat, dan disebut "Panereban." Orang Galuh meyakini bahwa mayat harus dilarung atau dihanyutkan di sungai sesuai dengan tradisi mereka. Di sisi lain, orang Sunda mengubur mayat dalam tanah. Tradisi ini mencerminkan perbedaan budaya yang masih berlanjut di masa lampau.
Meskipun perpecahan historis telah memisahkan orang Sunda dan Galuh, seiring berjalannya waktu, perbedaan ini telah melebur dan menyatu. Mereka kini menjadi satu entitas, seperti yang digambarkan dalam dongeng "sakadang kuya jeung sakadang monyet." Pada abad ke-14, sebutan "Sunda" telah mencakup seluruh Jawa Barat, baik dalam arti wilayah maupun etnik. Nama "Sunda" pertama kali digunakan oleh Purnawarman untuk ibu kota Tarumanagara yang baru didirikannya, Sundapura, yang bermakna "kota suci" atau "kota murni." Sementara "Galuh" bermakna "permata" atau "batu mulia," dan secara kiasan juga merujuk kepada gadis.
Sejarah perpecahan dan perpaduan antara Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh telah membentuk dasar identitas etnis dan budaya Jawa Barat yang kaya dan beragam. Mereka menggabungkan elemen-elemen unik dari kedua tradisi, menciptakan warisan budaya yang istimewa.
Perbedaan antara "orang air" dan "orang gunung" kini telah menjadi lebih simbolis daripada literal. Masyarakat Jawa Barat, terlepas dari asal usul etnis mereka, merayakan kekayaan budaya dan tradisi yang meliputi mitos, tarian, musik, dan seni lainnya yang mencerminkan sejarah panjang dan perkembangan wilayah ini.
Dalam buku "Menemukan Kerajaan Sunda" karya Saleh Danasasmita, diperlihatkan betapa dalam kerangka sejarah ini, banyak elemen budaya yang menjadi pusat perhatian. Tradisi Panereban yang mencerminkan perbedaan dalam cara memperlakukan mayat di masa lalu menggambarkan kompleksitas budaya dan tradisi yang melekat dalam masyarakat Jawa Barat.
Seiring berjalannya waktu, orang Sunda dan Galuh telah memupuk persatuan yang kuat, menggabungkan sejarah mereka yang kaya menjadi satu kesatuan budaya yang mewakili kekayaan dan pluralitas Jawa Barat. Peristiwa sejarah ini telah menjadi bagian penting dari identitas kolektif mereka, dan cerita tentang perpecahan dan perpaduan ini terus diwariskan dari generasi ke generasi, menguatkan rasa persaudaraan di antara mereka.
Sebagai hasil dari perpecahan dan perpaduan antara Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh, masyarakat Jawa Barat telah berhasil menciptakan keberagaman yang memperkaya budaya mereka. Kedua kerajaan bersaudara ini memberikan kontribusi penting dalam membentuk identitas kolektif yang kuat dan warisan budaya yang unik di wilayah ini.
Dalam perjalanannya, masyarakat Jawa Barat terus merayakan tradisi dan budaya mereka dengan semangat yang menghargai sejarah mereka yang beragam. Mitos buaya dan harimau, serta tradisi Panereban dan penguburan mayat, semuanya telah menjadi bagian integral dari cerita-cerita mereka yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Kisah tentang perpecahan dan akhirnya persatuan antara Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh bukan hanya cerita sejarah, tetapi juga cerita keberagaman dan persatuan. Hal ini tercermin dalam moto yang populer di Jawa Barat, "sakadang kuya jeung sakadang monyet," yang menggambarkan kesatuan dan persatuan di antara masyarakat yang sebelumnya berbeda.
Sejarah ini memberikan inspirasi bagi masyarakat Jawa Barat untuk terus merayakan kekayaan budaya mereka yang telah berkembang seiring waktu. Mereka memahami bahwa perbedaan dapat menjadi kekuatan dan kekayaan dalam membangun identitas yang kuat dan unik, yang tetap hidup dan relevan hingga saat ini.