JATIMTIMES - Acara DESUS (Digital and Election Issues) digelar CfDS (Center for Digital Society) Universitas Gadjah Mada, Rabu (25/10/2023) melalui live streaming di akun YouTube CfDS. Acara diisi oleh Arya Budi Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM.
Arya Budi mengungkapkan studi terbarunya di acara tersebut. Ia menyebut, preferensi publik Indonesia terkait pemilihan umum cenderung lebih berkaitan dengan kedekatan terhadap figur calon presiden (capres) daripada kedekatan terhadap partai politik.
Baca Juga : Video Megawati Hempaskan Tangan Jokowi, Puan: Tidak Ada Itu
Studi ini melibatkan hampir 700 mahasiswa dari berbagai daerah, mulai dari Sumatera hingga Papua. Studi ini menemukan bahwa hanya 21% dari responden merasa dekat dengan partai politik. Hal ini disebabkan oleh kurangnya kesadaran dan pemahaman terhadap partai politik di kalangan publik, terutama di kalangan anak muda.
“Nah paling kenal dari 21%, itu 3% PDIP angkanya kecil-kecil gitu ya. Kemudian ada Gerindra 2% , PKS dan Nasdem. Kemudian PKB, Golkar, baru kemudian PSI yang diklaim sebagai partai anak muda. Responden survei sisanya jadi di bawah 1% itu kecil sekali,” ujar Arya Budi via Live Streaming YouTube, Rabu (25/10/2023).
Penelitian ini juga menunjukkan, kedekatan terhadap figur calon presiden berbeda secara signifikan dengan perolehan sekitar 42% dari responden. Bahkan, kedekatan terhadap figur capres ini dua kali lipat dari kedekatan terhadap partai politik.
Ini menunjukkan bahwa publik lebih cenderung mengidentifikasi diri dengan individu dibandingkan dengan partai politik. Studi ini juga mengungkapkan bahwa Prabowo, Ganjar, dan Anies adalah figur-figur yang paling populer di kalangan responden. Publik, terutama generasi muda, merasa lebih dekat dan terhubung dengan figur-figur ini dalam konteks politik.
Penelitian ini mengindikasikan bahwa publik, terutama anak muda, memiliki identifikasi yang lebih jelas terhadap figur calon presiden daripada terhadap partai politik. Ini mencerminkan tren yang sudah berlangsung selama beberapa dekade, di mana personalitas ketua partai lebih dominan dibandingkan dengan partai itu sendiri.
Di Indonesia, sistem pemilu terbuka berdampak signifikan pada preferensi pemilih. Dalam sistem ini, pemilih dapat memilih calon anggota legislatif dan juga partai politik. Namun, yang menentukan kursi adalah suara yang diperoleh oleh caleg.
Baca Juga : Pakubuwono X dan Pers sebagai Alat Pencitraan serta Perjuangan
Hal ini berarti bahwa caleg yang mencalonkan diri dapat menarik pemilih dengan memfokuskan kampanye pada kepribadian mereka, bukan lambang partai. Selama kampanye pemilihan yang seringkali mendominasi adalah wajah-wajah para caleg yang terpampang di baliho-baliho, bukan program dan lambang partai.
Hal ini terjadi karena sistem pemilu di Indonesia lebih menghitung suara yang diperoleh oleh caleg, daripada oleh partai politik yang mereka wakili.
“Yang datang kerumah Anda, yang terpampang di baliho-baliho itu wajah para caleg bukan program dan lambang partai. Karena sistem pemilu mengkondisikan hadirnya caleg. Caleg yang dihitung, bukan partainya,” tambahnya.
Hasil penelitian ini mencerminkan perubahan signifikan dalam preferensi pemilih Indonesia dengan lebih banyak pemilih cenderung mengidentifikasi diri mereka dengan figur calon presiden daripada partai politik. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang peran partai politik dalam proses politik Indonesia dan dampaknya pada sistem politik secara keseluruhan.
