JATIMTIMES - Surakarta memang sudah tidak lagi jadi daerah istimewa. Namun, kota di Jawa Tengah itu punya satu pahlawan nasional yang istimewa dibanding pahlawan-pahlawan nasional lainnya. Ia adalah Susuhunan Pakubuwono X, raja yang tampil sebagai pelindung kebudayaan.
Kerajaan di Jawa yang sejatinya negara berdaulat pada masa Hindia Belanda seperti timbul tenggelam, namun tidak dengan Surakarta Hadiningrat. Di saat Jawa mengalami masa-masa sulit, Keraton Surakarta justru mengalami kejayaan di masa pemerintahan Susuhunan Pakubuwono X.
Baca Juga : Antarkan Anies-Cak Imin Daftar ke KPU, DPC PKB Kota Blitar Gelar Istighotsah
Pakubuwono X adalah raja yang istimewa. Raja Jawa yang satu ini dikenal cerdas dan ahli dalam segala ilmu. Ilmu pemerintahan, ilmu politik, hingga ilmu ghaib semuanya dikuasai oleh Pakubuwono X.
Di masa penjajahan ini, Pakubuwono X yang dikenal kaya-raya dan dermawan melakukan serangkaian gebrakan besar. Yang paling mencolok, raja itu melakukan perombakan dan pembangunan fisik besar-besaran di Surakarta Hadiningrat, yang saat ini kita kenal dengan nama Kota Surakarta atau Kota Solo.
Pakubuwono X memiliki dua permaisuri dan istri selir yang jumlahnya banyak. Pakubuwono X juga adalah menantu dari seorang raja Jawa yaitu Sultan Hamengkubuwono VII, penguasa Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Istri pertama Pakubuwono X adalah putri KGPAA Mangkunegara IV yang bernama BRAj Sumarti. Setelah menikah dengan Pakubuwono X, nama sang putri berubah menjadi Kanjeng Ratu Adipati Anom. Pernikahan ini terjadi pada 1890 atau tiga tahun sebelum Pakubuwono X naik tahta menjadi raja Surakarta. Setelah Pakubuwono X naik tahta pada 1893, putri dari Mangkunegaran itu berganti gelar menjadi Kanjeng Ratu Pakubuwono. Dari pernikahan ini, Pakubuwono X tidak memiliki anak.
Setelah tidak dikaruniai dari pernikahan pertama, Pakubuwono X membuat keputusan untuk mengambil permaisuri kedua. Pilihan jatuh kepada putri Sultan Hamengkubuwono VII yang bernama GBRAj Mur Sudarinah. Keputusan ini diambil untuk mencegah terjadinya konflik suksesi kekuasaan karena tidak adanya anak laki-laki dari permaisuri pertama. Pakubuwono X tidak ingin ada sengketa kekuasaan dengana adik-adiknya terkait dengan suksesi, apabila nantinya yang jadi raja adalah putranya dari selir. Pakubuwono X juga tidak mau mengambil salah satu adiknya untuk menggantikan dirinya menjadi raja Surakarta.
Pernikahan Pakubuwono X dengan putri Yogyakarta itu menorehkan sejara besar bagi dua kerajaan Jawa pecahan Dinasti Mataram Islam. Sejak Perjanjian Giyanti 1755, hubungan Keraton Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta menjadi renggang dan jauh. Hubungan juga menjadi sangat terbatas meskipun dua kerajaan ini sejatinya bersaudara.
Rencana Pakubuwono X menikah dengan putri Sultan Hamengkubuwono VII itu berjalan penuh liku dan sempat menimbulkan kekisruhan. Kisruh terjadi karena permaisuri pertama Pakubuwono X adalah putri Mangkunegara IV. Namun badai berhasil bisa dilewati. Dan dengan kharismanya yang luar biasa, Pakubuwono X berhasil mendapatkan restu rencana pernikahan dengan putri sultan Yogyakarta. Dia mendapat persetujuan dari gubernur jenderal Belanda.
Setelah mendapat persetujuan dari gubernur jenderal Belanda, Pakubuwono X melaksanakan kunjungan ke Keraton Yogyakarta. Di istana Yogyakarta, Pakubuwono X melihat putri-putri Sultan Hamengkubuwono VII. Pakubuwono X akhirnya memilih GBRAj Mur Sudarinah dan pernikahan pun dilangsungkan.
Pernikahan Pakubuwono X dengan GBRAj Mur Sadarinah bukan hanya pernikahan untuk mencari putra mahkota. Pernikahan ini merupakan strategi Pakubuwono X untuk menyatukan kembali Kerajaan Mataram Islam yang terpecah pasca Perjanjian Giyanti. Pernikahan ini sangat istimewa karena di dalamnya ada politik integrasi.
Pakubuwono X menikah dengan GBRAj Mur Sadarinah pada 27 Oktober 1915. Pernikahan berlangsung sangat mewah dan megah. Setelah menikah dan diangkat sebagai permaisuri kedua, GBRAj Mur Sadarinah bergelar Kanjeng Ratu Hemas. Dan sayangnya dengan prosesi yang begitu megahnya, pernikahan ini tidak melahirkan apa yang telah direncanakan. Dari pernikahan ini Pakubuwono X tidak dikaruniai anak laki-laki. Dari pernikahan ini, Pakubuwono X dan Kanjeng Ratu Hemas dikaruniai anak perempuan bernama Gusti Raden Ayu Sekar Kedathon Kustiyah dan setelah dewasa bergelar Gusti Kanjeng Ratu Pembayun.
Karena tidak memiliki anak laki-laki, pada akhirnya Pakubuwono X menunjuk putranya dari selir yaitu Raden Mas Ontoseno sebagai putra mahkota. Ontoseno adalah putra sulung Pakubuwono X dari istri selir KRAy Mandayaretna. la dilahirkan pada Senin Kliwon, 1 Februari 1886, dan setelah dewasa bergelar KGPH Hangabehi. Ia naik takhta sebagai Pakubuwono XI pada tanggal 26 April 1939.
Baca Juga : Ini Cara Pemerintah Banyuwangi Memberdayakan Perajin Batik
Pengangkatan KGPH Hangabehi menjadi Pakubuwana XI bukanlah tanpa konflik. Pasalnya, Pakubuwono X cenderung lebih memilih KGPH Kusumayuda (GRM Abimanyu), adik Hangabehi, untuk menggantikannya. Apalagi di mata Pemerintah Hindia Belanda, Kusumayuda dianggap merupakan bangsawan Jawa yang berkepribadian kuat, mandiri, serta tertarik pada persoalan keuangan dan administrasi keraton. Di sisi lain, posisi Hangabehi juga sangat kuat, terutama dukungan mayoritas elite keraton yang anti-Belanda.
Seperti diulas di awal tulisan ini, Pakubuwono X sendiri memiliki putra dan putri lebih dari 60 orang. Masalah yang mengganjal ialah bahwa Pakubuwono X tidak memperoleh putra dari kedua permaisurinya. Dua putra Pakubuwono X yang tertua, Hangabehi dan Kusumayuda, lahir dari selir.
Sebenarnya pada tahun 1898 Pakubuwana X sudah berniat mengangkat Kusumayuda sebagai putra mahkota meski usianya 40 hari lebih muda dari Hangabehi. Sampai akhirnya keinginan Pakubuwono X itu diurungkan, dan ia lebih memilih Hangabehi untuk menjadi pewaris tahta.
Setelah ditunjuk sebagai pewaris tahta, Pakubuwono X memberikan sejumah peran dan posisi penting kepada Hangabehi. Hangabehi diberikan sejumlah posisi penting. Di antaranya menjabat sebagai wedana tengen (jabatan setingkat pangageng putra sentana), serta memperoleh kepercayaan sesoeratman, sebagai wakil ketua Raad Nagari, sebuah dewan pertimbangan kerajaan. Hangabehi juga diutus Pakubuwono X untuk menghadiri undangan peringatan 40 tahun kenaikan tahta Ratu Wilhelmina di Belanda.
Pada akhir bulan November 1938, Pakubuwono X sakit keras dan akhirnya wafat pada Februari 1939. Atas nasihat Den Haag, Gubernur Jenderal A.W.L. Tjarda van Starkenborgh Stachouwer memilih KGPH Hangabehi untuk menggantikan ayahnya sebagai Pakubuwana XI.
Pengangkatan Hangabehi disertai dengan kontrak politik yang menurunkan kewibawaan susuhunan. Dalam kontrak politik itu disebutkan bahwa Hangabehi bisa diturunkan dari kedudukannya jika ternyata tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam kontrak politik plus pemotongan anggaran belanja keraton secara drastis.
Pemerintahan Pakubuwana XI terjadi pada masa sulit, yaitu bertepatan dengan meletusnya Perang Dunia Kedua. Ia juga mengalami pergantian pemerintah penjajahan dari tangan Belanda kepada Jepang sejak tahun 1942. Pihak Jepang menyebut Kasunanan Surakarta dengan nama Solo Koo.
Pada masa pendudukan Jepang terjadi inflasi yang mengakibatkan keuangan keraton dan para bangsawan amat menderita. Jepang juga merampas sebagian besar kekayaan keraton dan aset-aset Kasunanan Surakarta, hingga akhirnya Pakubuwana XI jatuh sakit. Pakubuwana XI kemudian wafat pada 1 Juni 1945, ia digantikan oleh putranya yang masih berusia sangat muda sebagai Pakubuwono XII.