free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Hiburan, Seni dan Budaya

Kerajaan Arosbaya: Kerajaan Islam Pertama di Madura, Hancur Akibat Politik Invasi Sultan Agung

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Sri Kurnia Mahiruni

07 - Oct - 2023, 23:29

Placeholder
Litografi oleh Auguste van Pers yang menggambarkan seorang pangeran dari Madura dan pelayannya pada masa Hindia Belanda.(Foto: Istimewa)

JATIMTIMES-Di masa lalu Madura berdiri banyak kerajaan-kerajaan kecil yang saling bersaing, diantaranya adalah Arosbaya, Blega, Sampang, Pamekasan dan Sumenep. Dari semua kerajaan, Kerajaan Arosbaya adalah kerajaan yang pertama kali memeluk Islam di pulau Madura.

Kerajaan Arosbaya diperkirakan bediri pada abad ke-15. Berdirinya kerajaan ini ditandai dengan mulai bertahtanya Kiai Demang Plakaran di keraton Anyar. Kiai Demang Plakaran atau Pangeran Demang Plakaran memiliki beberapa anak laki-laki. Dua putra yang paling terkenal adalah Raden Adipati Pramono dan Kiai Pragalba alias Pangeran Arosbaya.

Baca Juga : Menuju Pemilu 2024, Jokowi: RI Butuh Pemimpin Bernyali, Tak Ciut Saat Digertak Negara Lain

Menurut catatan silsilah, Kiai Demang Plakaran merupakan keturunan dari Raja Majapahit Prabu Brawijaya V dari jalur Ario Damar, penguasa Palembang. Ario Damar kemudian menurunkan Ario Menak Senoyo yang berkelana dan akhirnya menginjakkan kaki di pulau Madura dan kemudian mendirikan kraton di Proppo, Pamekasan.  Menak Senoyo yang kemudian menurunkan Ario Kedut, Ario Timbul, Ario Pojok, hingga Kiai Demang Plakaran. Sumber lain menyatakan Kiai Demang Plakaran adalah trah dari Giri Kedaton dari garis keturunan Sunan Giri I (Sayyid Ainul Yaqin).

Kerajaan Arosbaya semakin berkembang di masa pemerintahan Ki Demang Plakaran. Ki Demang Plakaran adalah sosok peletak dasar lahirnya sistem pemerintahan di Plakaran yang waktu itu telah berbentuk kerajaan. Sistem pemerintahan inilah yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya Kerajaan Madura Barat.

Terkait dengan nama, Kerajaan Madura Barat adalah sebutan untuk kerajaan yang dipimpin oleh anak keturunan Ki Demang Plakaran yang meliputi wilayah Bangkalan dan Sampang. Sedang di Pamekasan dan Sumenep juga telah berdiri kerajaan lain. Jadilah Madura pada masa itu terbagi menjadi tiga wilayah, yaitu Bang Wetan (Sumenep), Bang Tengah (Pamekasan) dan Bang Kulon (Bangkalan dan Sampang).

Setelah Kiai Demang Plakaran wafat, Kerajaan Arosbaya dipimpin Kiai Pragalba yang kemudian dikenal dengan nama Pangeran Arosbaya. Pada masa pemerintahan Kiai Pragalba, pengaruh Jawa kawi masih begitu kental di Arosbaya, baik dari segi bahasa maupun adat istiadat. Kajian cagar budaya menyatakan, makam Pragalba di makam Komplek Makam Agung Arosbaya, Bangkalan, Madura, didominasi batu-batuan yang sejenis dengan batuan candi di pulau Jawa.

Masa pemerintahan Pragalba juga jadi penanda masuknya pengaruh islam di Madura. Peran dari  Sunan Kudus dan kebijaksanaan putra mahkota Raden Pratanu jadi faktor utama pesatnya perkembangan islam di Madura. Setelah ayahnya wafat, Raden Pratanu kemudian meneruskan estafet kepemimpinan Kerajaan Arosbaya dengan gelar Panembahan Lemah Duwur.

Panembahan Lemah Duwur naik tahta sebagai Raja Arosbaya bersamaan dengan kenaikan tahta Sultan Trenggana di Kesultanan Demak. Namun kedua penguasa ini berbeda nasib, Sultan Trenggana tewas dibunuh oleh utusan Arya Penangsang. Menantu Trenggana, Joko Tingkir kemudian balas dendam membunuh Penangsang. Pusat kekuasaan Demak kemudian berpindah di Pajang yang dipimpin Joko Tingkir.

Panembahan Lemah Duwur juga adalah pemimpin visioner di zamannya. Ia memindahkan pusat pemerintahan kraton yang semula di Plakaran ke suatu dataran tertinggi di sekitar Arosbaya. Kraton tersebut kemudian diberi nama Kraton Lemah Duwur. Pasca dipindahkannya pusat kraton, Jaringan islamisasi di pulau garam semakin meluas bahkan sampai ke pusat-pusat islam di Jawa Timur seperti Surabaya, Gresik dan Tuban.  Pada masa pemerintahan Panembahan Lemah Duwur, kerajaan Arosbaya juga meluaskan daerah kekuasaannya hingga ke seluruh Madura Barat, termasuk Bangkalan, Sampang, dan Blega.

Kerajaan yang dipimpin Lemah Duwur semakin maju dengan relasi perdagangan yang luas dengan pedagang muslim. Kemajuan ini ditandai dengan banyaknya perahu para pedagang yang bersandar di Arosbaya. Hubungan bilateral Kerajaan Arosbaya diperluas lagi dengan hubungan bilateralke Jawa Tengah melalui persekutuan dengan Kesultanan Pajang yang dipimpin Sultan Hadiwijaya alias Joko Tingkir.

Catatan silsilah di Madura Barat menyatakan, Panembahan Lemah Duwur menikah dengan salah satu putri Joko Tingkir. Dari pernikahan tersebut lahir di antaranya Raden Koro alias Pangeran Tengah, pengganti Lemah Duwur. Pangeran Tengah kelak menurunkan petarung tangguh dari Madura yaitu Raden Trunojoyo.

Dari ulasan diatas dapat diperoleh keterangan jika Kerajaan Arosbaya memiliki hubungan kekerabatan dengan Kesultanan Demak dan Kesultanan Pajang di Jawa Tengah sejak masa pemerintahan Panembahan Lemah Duwur. Hubungan ini sejatinya tidaklah mengherankan karena Demak, Pajang dan Madura adalah kerajaan-kerajaan yang didirikan dan dipimpin keturunan Kerajaan Majapahit.

Panembahan Lemah Duwur memiliki putral bernama  Raden Koro yang kemudian menjadi Raja Arosbaya berikutnya dengan gelar Pangeran Tengah (1592-1624). Pangeran Tengah adalah Raja Arosbaya terakhir. Kerajaan islam pertama di Madura ini pada akhirnya hancur akibat politik invasi Sultan Agung dari Kerajaan Mataram. Madura diserang bersamaan dalam invasi Mataram ke Surabaya pada 1624.

Serangan pasukan Mataram ke Madura itu bisa ditemukan dalam beberapa sumber. Serat Kandha memberitakan Sultan Agung menunjuk Aria Jaya Puspita yang baru saja naik pangkat menjadi Adipati Sujanapura sebagai panglima ekspedisi militer ini. 

Serangan dari Mataram itu dibaca dengan seksama oleh penguasa Madura. Pangeran Madura bersama sekutunya yaitu Sumenep, Pamekasan, Balega, Pakacangan dan Surabaya, mengerahkan pasukan dalam jumlah besar dengan total 100.000 prajurit. 

Serat Kandha mengabarkan pertempuran antara Mataram dan Madura berlangsung sengit. Mataram membagi angkatan perang dalam empat formasi. Tentara dari Mancanegara ditempatkan di sebelah kiri dan sebelah kanan dikomando Pangeran Sumedang dan Adipati Pragola dari Pati. 

Berhari-hari pertempuran berlangsung Mataram belum juga berhasil mengalahkan Madura. Sebanyak 400 tentara terpilih dari Madura berhasil memasuki pondok peristirahatan pasukan Mataram dan membunuh banyak prajurit musuh. Panglima Mataram bertarung satu lawan satu dengan Adipati Pamekasan dengan hasil tanpa pemenang, keduanya meregang nyawa.

Mulai letih dan banyak pasukan yang tewas, pasukan Mataram kemudian mengirim Pangeran Silarong untuk pulang menghadap Sultan Agung. Bantuan kemudian dikirim dari Mataram. Pasukan yang tewas digantikan oleh putra atau saudara mereka. Sultan Agung juga mengirimkan Juru Kiting, putra Adipati Mandaraka yang sudah wafat.  Juru Kiting dikirim atas permintaan langsung dari Silarong.

Menurut Babad Tanah Djawi, Juru Kiting pada waktu itu sudah berusia lanjut. Bahkan untuk ikut serta dalam pertempuran di Madura ia harus dipikul dengan tandu.  Namun Juru Kiting sangat dihormati oleh petinggi dan pasukan Mataram yang terjun dalam peperangan. Selain keturunan dari tokoh besar, Juru Kiting juga adalah seorang petapa. Juru Kiting berhasil memberikan suntikan energi baru bagi pasukan Mataram yang terjun dalam perang besar di pulau garam.

Juru Kiting yang sudah renta itu pantas disebut sebagai tokoh kunci kemenangan Mataram atas Madura. Di tengah-tengah peperangan, Juru Kiting menyuruh membuat nasi liwet yang pada akhirnya menjadi nasi ajaib . 

Nasi itu dibagikan rata oleh Juru Kiting kepada seluruh prajurit. Selanjutnya, Juru Kiting yang duduk diatas tandu dipikul mengelilingi pasukan tiga kali. Selanjutnya, pasukan Mataram diperintahkan melihat ke atas dan kemudian melihat ke bawah. Keajaiban benar-benar terjadi, pasukan Mataram menjadi lebih berani dan dalam pertempuran selanjutnya berhasil meraih kemenangan atas Madura.

Politik invasi Mataram menguasai Madura berakhir mengerikan. Tak satupun raja-raja Madura yang hidup, seluruhnya tewas di tangan pasukan ekspedisi Mataram. Satu-satunya pangeran yang masih hidup adalah Raden Prasena dari Kerajaan Arosbaya. Penguasa Arosbaya yaitu Pangeran Tengah, ayah Raden Prasena, gugur dalam serangan ini. Di Pamekasan, gugur Panembahan Ronggosukowati, dan penggantinya. Sementara di Madura Timur atau Sumenep, gugur Pangeran Lor II dan Pangeran Cakranegara.

Baca Juga : Disebut Bangun Politik Dinasti, Jokowi Disorot Mahasiswa

Cerita lisan menyebutkan, Raden Prasena adalah seorang bangsawa asli Madura yang dididik oleh pamannya, Pangeran Santa Merta di Madegan. Sumber lain menyatakan ia dididik dengan nilai-nilai keislaman oleh ibunya.

Raden Prasena ikut dibawa ke Mataram setelah Madura dikuasai Mataram. Di Mataram, Raden Prasena dijadikan tahanan perang. Sultan Agung berhati baik, ia kemudian mengangkat Prasena sebagai abdi dalem. Raden Prasena berjiwa besar, ia menutup luka dendamnya dan dengan jiwa besar dan penuh ketegaran menerima jalan kehidupannya sebagai abdi dalem Mataram.

Raden Prasena adalah putra Raja Arosbaya terakhir yaitu Pangeran Tengah dengan permaisuri Ratu Ibu. Dari Raden Prasena inilah kemudian Arosbaya menurunkan Dinasti Cakraningrat yang memerintah Madura Barat selama tujuh turunan.  

Setelah tiba di Mataram, Raden Prasena memainkan perannya sebagai abdi dalem Mataram dengan baik dan dengan loyalitas tinggi. Integritasnya berhasil memikat hati Sultan Agung. Sultan Agung kemudian menjadikan Prasena sebagai anak angkat. Sebagai anak angkat, Prasena memiliki hak dan perlakuan sama dengan putera raja yang lain.

Nasib Prasena semakin mujur setelah Sultan Agung mengangkatnya sebagai penguasa Madura di bawah kekuasaan Mataram. Pada 23 Desember 1624, Raden Prasena resmi dinobatkan sebagai penguasa Madura dengan gelar Pangeran Cakraningrat I. Penobatan ini dilaksanakan bersamaan dengan dengan grebek Maulud  Peringatan Hari Kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Sultan Agung memandang bahwa Raden Prasena cukup mampu memimpin kerajaan bawahan Mataram di Madura, baik dipandang dari segi kepribadian maupun dari segi jiwa kepemimpinan yang dimilikinya. Sultan Agung melihat Raden Prasena memiliki rasa tanggung jawab besar dalam menunaikan tugas dan kewajiban yang dipercayakan kepadanya.

Kepercayaan besar Sultan Agung juga dilandasi oleh pemikiran, dengan kepribadiannya yang luhur tidak mungkin jika Raden Prasena akan melakukan balas dendam. Dengan pemikiran inilah akhirnya Sultan Agung kemudian mengangkar Raden Prasena sebagai penguasa Madura dibawah kekuasaan Mataram.

Sultan Agung juga menikahkan Prasena dengan adiknya yang kemudian bergelar Kanjeng Ratu Ibu yang terhitung masih keturunan Sunan Giri. Raden Prasena yang bergelar Cakraningrat I memimpin Madura dengan mendirikan keraton di Sampang.

Di satu sisi, perlakuan baik Sultan Agung kepada Raden Prasena ini merupakan bukti jika Mataram ingin menjalin hubungan yang baik dengan Madura. Mataram menganggap Madura bukan sebagai daerah jajahan, melainkan sebagai bagian penting dari kerajaan mereka yang beribu kota di Kotagede.

Dari pernikahannya dengan Ratu Ibu, Cakraningrat I memiliki beberapa putra-putri yaitu Raden Ario Admodjonegoro, Raden Oendakan dan Ratu Martopati. Cakraningrat I juga memiliki beberapa putra-putri dari selir yaitu Raden Demang Molojo, Pangeran Saring Argo Podjok, Raden Sumotonojo, Raden Mantri, Raden Maospati, Ratu Megatsari, Raden Ayu Weronolo dan Raden Ayu Rondo.

Dari seluruh putra-putri Cakraningrat I, Raden Demang Molojo yang lahir dari istri selir kelak di kemudian hari menurunkan seorang petarung tangguh dari Madura. Ksatria sejati itu tak lain adalah Raden Trunojoyo. 

Trunojoyo adalah anak Raden Demang Molojo dari istri yang masih keturunan Joko Tole.  Raden Demang Molojo meninggal dunia di istana Mataram saat Trunojoyo berusia enam tahun. Raden Demang Molojo gugur bersama Cakraningrat I pada tahun 1647 saat menjalankan tugas mengatasi pemberontakan Pangeran Alit di alun-alun Plered. Dua bangsawan Madura ini tewas setelah ditikam keris oleh Pangeran Alit. Setelah ayahnya terbunuh, Trunojoyo memilih keluar dari keraton dan menyingkir ke pesantren Raden Kajoran di Klaten.

Sepeninggal Sultan Agung dan Mataram dipimpin Amangkurat I, Trunojoyo melakukan pemberontakan terhadap Mataram. Latar belakang pemberontakan karena Amangkurat I memerintah dengan keras dan menjalin persekutuan dengan VOC. Meskipun berakhir dengan kegagalan, pemberontakan Trunojoyo dikenang sejarah sebagai salah satu perlawanan terbesar orang pribumi terhadap bangsa Eropa. 

Bersama Karaeng Galesong, Trunojoyo juga berhasil menghancurkan dan menguasai istana Mataram di Plered. Pemberontakan Trunojoyo berlangsung mulai 1674 dan berakhir pada 1680.

Kerajaan Arosbaya memang sudah hilang ditelan bumi, namun namanya akan abadi dan tercatat dalam sejarah. Arosbaya saat ini secara administratif masuk sebagai salah satu kecamatan di Kabupaten Bangkalan, Provinsi Jawa Timur. Kecamatan Arosbaya berjarak sekitar 16 kilometer dari ibu kota Kabupaten Bangkalan ke arah timur laut. Pusat pemerintahannya berada di Desa Arosbaya.

Saat ini tercatat 18 desa berada dalam wilayah Kecamatan Arosbaya. Kecamatan Arosbaya berbatasan dengan kecamatan Klampis (utara), Geger (timur), Bangkalan dan Burneh (selatan), dan Laut Jawa (barat).

 


Topik

Hiburan, Seni dan Budaya Madura arosbaya sejarah madura



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Sri Kurnia Mahiruni