JATIMTIMES - Pasukan gabungan Jawa-Tionghoa berhasil menghancurkan dan mengambil istana Kartasura pada 30 Juni 1742. Raden Mas Garendi, sang pemimpin pemberontakan kemudian mengambil alih kerajaan dengan gelar Susuhunan Amangkurat V. Pasukan pemberontak Geger Pecinan mengibarkan bendera kemenangan.
Setelah mengambil alih kerajaan, Garendi yang bergelar Amangkurat V bermaksud menggempur pasukan Belanda di Semarang. Ia mengirim 1.200 prajurit gabungan etnis Jawa dan Tionghoa di bawah pimpinan Raden Mas Said (kelak di kemudian hari dikenal Pangeran Sambernyawa) dan Singseh (Tan Sin Ko).
Baca Juga : Gubernur Khofifah Resmikan PLTS Atap di Pabrik Kertas Sidoarjo
Pada 26 November 1742, Pakubuwono II dibantu Cakraningrat IV dari Madura menyerang Amangkurat V di Istana Kartasura dari arah Bengawan Solo, sementara pasukan Belanda dari arah Ungaran dan Salatiga. Pakubuwono II berhasil merebut kembali Karaton Kartasura dan memaksa Amangkurat V meninggalkan istana Mataram dan mengungsi ke selatan bersama pasukannya.
Perjuangan yang berakhir antiklimaks. Amangkurat V kemudian lari dan kabar dari Belanda menyebutkan tertangkap di Surabaya pada bulan Desember 1743 setelah terpisah dari rombongannya.
Setelahnya, Amangkurat V atau Raden Mas Garendi dibawa ke Semarang, lalu ke Batavia dan akhirnya dibuang ke Ceylon atau Sri Lanka. Tidak ada yang tahu kapan Raden Mas Garendi wafat. Catatan Belanda menyatakan Garendi wafat saat pembuangan di Srilanka.
Itulah sekilas gambaran dari akhir peristiwa pemberontakan Geger Pecinan. Garendi dan pasukannya berhasil ditumpas oleh pasukan gabungan Keraton Surakarta dan VOC. Aliansi ini semakin tangguh dengan tambahan kekuatan dari penguasa Madura Pangeran Cakraningrat IV. Tanpa bantuan Cakraningrat IV mungkin Pakubuwono II tidak akan bisa kembali merebut keraton dan tahtanya.
Keterlibatan Cakraningrat IV dalam membantu Pakubuwono II meredam pemberontakan Geger Pecinan kiranya cukup menarik. Pangeran Cakraningrat IV adalah seorang pemimpin Madura Barat (bertahta 1718-1746). Seperti Raden Trunojoyo yang jadi pendahulunya, Cakraningrat IV menolak tunduk kepada VOC dan Mataram.
Cakraningrat IV memiliki nama kecil Abdul Kharim Diningrat dan nama lainnya adalah Raden Djurit. Ia naih tahta sebagai penguasa Madura dibawah kekuasaan Raja Mataram pada 1718 menggantikan menggantikan kakaknya Tumenggung Adisosro yang bergelar Cakraningrat III yang wafat.
Di antara raja-raja Madura Barat (Sampang dan Bangkalan), Cakraningrat IV adalah pemimpin yang paling tampan dan lihai dalam meracik strategi perang. Kelihaiannya dalam meracik strategi perang membuat takut VOC dan Keraton Mataram. Ketakutan itu cukup berasalah karena pada masa kepemimpinan Cakraningrat IV, Madura menolak hegemoni Jawa (Mataram), Persis seperti yang pernah dilakukan oleh pendahulunya dari Madura yaitu Raden Trunojoyo, cucu Pangeran Cakraningrat I.
Cakraningrat IV juga adalah pemimpin Madura yang benci dengan Amangkurat IV, raja Mataram yang bertahta pada 1719-1726. Di era pemerintahan Amangkurat IV, Cakraningrat IV tidak mau sowan kepada raja di Istana Kartasura. Alasannya ia takut akan diracun jika datang sowan ke keraton.
Tahun 1726 Amangkurat IV wafat dan digantikan puteranya yang naik tahta dengan gelar Susuhunan Pakubuwono II. Suksesi ini juga menadai membaiknya hubungan antara Cakraningrat dengan raja Mataram. Cakraningrat IV menikahi R. Ayu Lengis / R. Ayu Demis, salah satu putri Pakubuwono I. Hubungan antara Cakraningrat IV dan Pakubuwono II menjadi akrab.
Saat pasukan Jawa-Tionghoa pimpinan Raden Mas Garendi menaklukkan dan menjarah istana Kartasura, Pakubuwono II dan Kapten van Hohendorff lari ke Ponorogo. Disaat pelarian ini Pakubuwono II meminta bantuan kepada Cakraningrat IV. Cakraningrat IV berkenan untuk membantu Pakubuwono II. Pada bulan November, pasukan Cakraningrat berhasil merebut Kartasura kembali.
Cakraningrat IV sebenarnya bisa saja mengambil langkah represif di situasi ini untuk mengambil alih Jawa. Saat itu ia Cakraningrat IV sudah menguasai Keraton beserta Mahkotanya, namun dengan ksatria Cakraningrat IV mengembalikan Keraton yang memang bukan haknya itu kepada yang berhak yaitu Pakubuwono II.
Meskipun telah berhasil mengalahkan pasukan Garendi dan merebut serta menyerahkan kembali Keraton Kartasura kepada Pakubuwono II, nyatanya Cakraningrat IV mengajukan banyak tuntutan. Tuntutan itu terkait dengan kemerdekaan Jawa Timur. Cakraningrat IV menuntut seluruh Jawa Timur merdeka dari Mataram dan VOC dan berada dibawah kekuasaanya sebagai Raja Madura. VOC menganggap tuntutan Cakraningrat IV terlalu berlebihan. Di tahun 1744, VOC mencoba perundingan tapi Cakraningrat IV menolak.
Cakraningrat IV kemudian bersekutu dengan pemimpin Surabaya dan keturunan Untung Surapati yang masih menguasai sebagian Jawa Timur. Dia juga berhenti mengirim upeti beras dan membayar bea pelabuhan Jawa Timur ke VOC. Nyatanya kebijakan-kebijakan Cakraningrat itu justru membuar rakyat Madura hidup dalam kemakmuran.
Tidak ingin pengaruh Cakraningrat IV semakin meluas, VOC kemudian memutuskan untuk menyerang Madura. Serangan akhirnya dilakukan dan selama enam bulan, pasukan ekspedisi VOC dikepung di pulau Madura. Namun pada akhirnya pasukan VOC berhasil lolos dari kepungan itu dan berbalik arah mengepung Cakraningrat IV dan pasukannya. Cakraningrat IV kemudian melarikan diri menuju Banjarmasin dengan menyeberangi laut Jawa. Perang antara Madura dengan VOC pecah pada tahun 1745.
Cakraningrat IV menuju Banjarmasin bersama Sasradiningrat, Ranadiningrat, Raden Ayu Roman, Raden Ayu Sugih dan Raden Ayu Demis. Rombongan ini meloloskan diri dari Sembilangan menuju Arosbaya dan sampai di Banjarmasin. Di Banjarmasin, Cakraningrat IV meminta perlindungan kepada sebuah kapal Inggris. Namun bukan perlindungan yang didapat, di kapal itu ia justru malah dirampok. Cakraningrat akhirnya berhasil ditangkap pada akhir tahun 1745.
Tujuan Cakraningrat IV ke Banjarmasin sebenarnya adalah untuk mencari perlindungan. Dengan harapan dapat memperoleh dukungan orang Inggris; usahanya sia-sia karena ia ditangkap di sana dan diserahkan kepada VOC yang mengirimnya ke Tanjung Harapan.
Baca Juga : Wali Kota Kediri Apresiasi Tutor English Massive Lolos Seleksi Beasiswa LPDP di University of Edinburg
Sumber lain menyebutkan, Dokumen persidangan Pangeran Cakraningrat IV di Batavia, 26 – 27 Juli 1746, poin nomor 42 – 51, mencatat jelas rentetan kronologis rute pelayaran Cakraningrat IV serta rombongan ke Banjarmasin, hingga beliau ditangkap VOC di sana.
Berdasarkan dokumen tersebut, diketahui bahwa rombongan beliau meninggalkan Madura dengan beberapa perahu dan sebuah kapal EIC (East India Company, perusahaan dagang Inggris) tipe chialoup (bernama Louisa?). Rombongan Cakraningrat IV membawa 70.000 mat Spanyol, 1 pikul emas, ½ pikul perak, satu berlian hijau, 5 berlian besar, 1.000 giwang berlian milik putri beliau, 25 anak kucing, 6 cincin (3 di antaranya bertahtakan berlian), peti berisi pakaian bagus, beberapa kantong obat istri – istrinya, emas (milik istri – istri beliau), uang, perhiasan, permata, dua tempat tidur bayi, 2 liontin (1 di antaranya bertahtakan berlian), dan emas senilai 400 real.
Armada perahu dan kapal Pangeran Cakraningrat IV pun memulai pelayaran. Berdasarkan pemberitaan Inggris tahun 1747, dikabarkan bahwa di perjalanan armada ini sempat bertemu dan dihujani tembakan meriam kapal VOC, untungnya armada dari Madura berhasil lolos. Rombongan ini pun singgah di Bawean untuk beberapa saat, kemudian melanjutkan pelayaran terus ke utara. Setelah berlayar cukup lama di lautan, mereka pun tiba di Banjar dan disambut dengan kekeluargaan oleh Sultan Banjar.
Rombongan Pangeran Cakraningrat IV pun tiba di istana Banjarmasin, disambut dengan begitu meriah, dan bahkan dilangsungkan pernikahan antara puteri Pangeran Cakraningrat IV dengan Pangeran dari Banjarmasin. Sayang kebahagiaan ini tak berlangsung lama, karena 6 atau 7 hari pasca tibanya rombongan Madura di istana Banjar, sebuah kapal perang VOC tipe brigantin bersenjata lengkap, dengan pimpinan bernama Komodor Van Den Burg, tiba di Banjarmasin. Menurut berita Inggris tahun 1747, VOC memang sudah mengetahui bahwa rombongan Cakraningrat IV berlayar ke Banjarmasin, oleh karenanya sebuah kapal yang cukup tangguh milik VOC berlayar pula ke Banjarmasin.
Sadar bahwa keberadaannya telah diketahui VOC, Cakraningrat IV bermusyawarah dengan Sultan Banjar. Sultan berencana agar Pangeran Cakraningrat IV dan rombongan akan diberi perlindungan ketat di sebuah pegunungan Kalimantan yang sulit dijangkau, namun Cakraningrat IV keberatan. Cakraningrat IV memilih untuk mencari perlindungan ke tepi pantai, agaknya karena ia ingin melanjutkan perjalanan ke Bengkulu. Sultan Banjar pun menyetujui keinginan Cakraningrat IV, sehingga Sang Sultan segera mencarikan kapal terbaik EIC yang sedang berlabuh di Banjarmasin.
Sebuah perahu Inggris tipe pinnace terlihat sedang berlayar menyusuri sungai. Diketahui bahwa perahu ini adalah milik Kolonel William Congreve, seorang perwira EIC yang menjadi kapten kapal Onslow. Kapal Onslow merupakan kapal perang EIC tipe East Indiaman, yang merupakan kapal terbesar dan terbaik armada Inggris di dunia timur. Kapal ini dilengkapi persenjataan sejumlah 32 meriam. Setelah menghubungi kapten kapal tersebut, rombongan Pangeran Cakraningrat IV pun diberikan izin untuk berlindung di salah satu kapal terbaik EIC.
Jurnal harian kapal Onslow dan berita Inggris tahun 1747 menggambarkan suasana di dalam kabin kapal Onslow yang begitu bersahabat. Raja Madura, begitulah mereka menuliskan Pangeran Cakraningrat IV, yang disebutkan sudah berusia sepuh, dengan postur tinggi dan tegap, penampilan yang begitu tegas, serta sangat santun berbicara dan berperilaku.
Dikabarkan pula bahwa rupanya Raja Madura ini dapat berbahasa Inggris, walau belum begitu baik, dan ia sudah sangat mengenal Inggris, melalui puteranya yang sedang di Bengkulu. Pangeran Cakraningrat IV juga dikenal dermawan, ia membagikan sebagian emas, permata, dan keris dengan gagang bertahtakan berlian kepada awak dan perwira kapal. Seluruh awak dan perwira kapal Onslow digambarkan sangat senang dengan kehadiran Raja Madura yang sangat ramah ini.
Setelah tinggal di kapal Onslow selama 4 atau 5 hari, datanglah kapal brigantin VOC pimpinan Komodor Van Den Burg yang sudah meneror Banjarmasin. Rupanya VOC berhasil mengetahui keberadaan Pangeran Cakraningrat IV di kabin kapal Onslow, melalui beberapa perahu Madura yang masih ada di sekitar kapal East Indiaman EIC ini. Komodor pun meminta Kolonel Congreve untuk menyerahkan Raja Madura, rombongan, dan seluruh bawaannya pada brigantin tersebut, namun Sang Kolonel alias kapten kapal Onslow tetap menolak.
Pihak VOC memulai aksinya dengan kekerasan, mereka menyergap kapal Onslow secara tiba – tiba. Kolonel Congreve pun berhasil mereka tawan, dan banyak awak kapal Onslow yang gugur akibat penyergapan itu. Para penyergap mengikat tangan Pangeran Cakraningrat IV dan membawanya ke dalam penjara kapal brigantin VOC. Begitu pula para istri dan pengikut Cakraningrat IV juga ikut ditangkap. Kolonel Congreve dilepaskan oleh mereka, dan mereka segera meninggalkan dek kapal Onslow, lalu bersiap berlayar.
Jurnal harian kapal Onslow menggambarkan bahwa setelah tragedi ini, awak kapal Onslow tak dapat menahan air mata karena prihatin terhadap nasib Cakraningrat IV. Mereka pun menjadi jarang berbicara satu sama lain selama beberapa hari, perasaan riang dari mereka turut lenyap direngut Komodor Van Den Burg.
Cakraningrat IV dibawa ke Batavia dan diadili. Ia kemudian dibuang ke Tanjung Harapan di Afrika Selatan pada tahun 1746 dan wafat di negeri itu pada 1753. Karenanya, ia mendapat julukan rakyat sebagai Panembahan Siding Kaap. VOC memutuskan puteranya untuk menjadi penggantinya, sebagai penguasa baru Madura dengan gelar Cakraningrat V.
Cakraningrat V adalah pemimpin Madura Barat yang sangat patuh pada VOC. Era suksesi ini juga menandai era baru bagi Madura dengan para penguasannya tidak lagi jadi bagian dari Kerajaan Mataram Islam. Wilayah Madura mulai era ini diserahkan Mataram kepada VOC.
Di sisi lain, Gubernur Jenderal Van Imhoff mulai menindak Sultan Banjar, yakni dengan mengirimkan armada bersenjata lengkap untuk membangun benteng VOC di Banjarmasin. VOC juga memaksa Sultan Banjar untuk menandatangani perjanjian yang sangat memberatkan pada tahun 1747.
Nasib pilu juga dialami kapal Onslow. Mereka melanjutkan pelayaran ke Tiongkok dengan hanya sedikit muatan dan setelah penguburan massal awak kapal mereka yang gugur akibat serangan VOC atas Cakraningrat IV.