free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Serba Serbi

Di Ambang Kemenangan Perang Suksesi Jawa III, Pangeran Mangkubumi Angkat Diri sebagai Pakubuwono III sebelum Perjanjian Giyanti

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Yunan Helmy

15 - Sep - 2023, 15:59

Placeholder
Pagelaran teater Pangeran Mangkubumi/Sultan Hamengkubuwono I. (Foto : Instagram @anterdans_official)

JATIMTIMES - Perang Suksesi Jawa III menjadi peperangan paling dahsyat yang pernah terjadi di tanah Jawa. Ada banyak kisah-kisah tidak terungkap dari peperangan yang berlangsung melelahkan ini. Salah satunya matahari kembar, yakni Mataram memiliki dua penguasa yang bergelar Sunan Pakubuwono III.

Tokoh utama Perang Suksesi  Jawa III adalah Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Sambernyawa. Kondisi Kerajaan Mataram Islam di Kartasura yang mengalami kemunduran akibat campur tangan VOC yang terlalu dalam memaksa saudara Raja Pakubuwono II, yaitu Pangeran Mangkubumi, meninggalkan istana. Mangkubumi memilih pemberontakan sebagai jalan hidup dan mengangkat senjata memulai episode Perang Suksesi Jawa III. 

Baca Juga : Al Ittihad Duduki Kembali Posisi Puncak usai Taklukkan Al Akhdoud 

Menurut Babad Giyanti, Pakubuwono II memahami kesedihan Mangkubumi dan merestui kepergiannya.

Dalam banyak babad, Pangeran Mangkubumi digambarkan sebagai bangsawan yang memegang teguh sopan santun. Mangkubumi juga terkenal sebagai pemimpin yang memiliki banyak kelebihan. Selain ahli perang, pendiri Negara Yogyakarta ini juga seorang yang saleh dan menguasai ilmu kesusastraan Jawa. 

Posturnya yang gagah, tegap, tampan, dan lawan abadi kompeni. Setelah mendirikan dan menjadi sultan pertama Yogyakarta, Mangkubumi disebut-sebut sebagai raja yang kemiripannya mendekati Sultan Agung, raja terbesar Dinasti Mataram Islam.

Setelah direstui Pakubuwono II, Pangeran Mangkubumi bergegas pergi meninggalkan istana Kartasura. Perang dimulai pada 1746 dan militer VOC tidak siap dengan perang besar yang begitu mendadak. VOC juga mungkin kelelahan karena baru saja bertempur habis-habisan dalam pemberontakan Geger Pecinan yang dipimpin Raden Mas Garendi, cucu Sunan Amangkurat III. Perlengkapan tempur VOC pada waktu itu kurang memadai untuk pertempuran skala besar.

Perang Suksesi Jawa III dimulai pada 1746. Mangkubumi di sekitaran sebelum Juli 1746 membangun pusat pertahanan di Gebang, daerah yang tidak jauh dari Wonogiri. Di tempat itu, Mangkubumi membangun sebuah kota yang mirip dengan kota kerajaan.

 Babad Giyanti mengabarkan, dari tempat ini Mangkubumi mengirimkan utusan kepada sudara-saudaranya, yaitu Pangeran Buminata dan Pangeran Singasari. Mangkubumi juga mengirim utusan kepada keponakannya, Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa). Sambernyawa kemudian ikut bergabung dengan Mangkubumi dan membentuk aliansi pemberontak yang kuat. Sambernyawa juga menganugrahkan gelar Susuhunan Adiprakosa kepada Mangkubumi.

Selanjutnya Mangkubumi yang bergelar Susuhunan Adiprakosa bersama Sambernyawa dan pangeran pemberontak lainnya langsung terjun dalam banyak pertempuran melawan Keraton Surakarta dan VOC. Pertempuran pertempuran awal di perang ini nihil hasil. Mangkubumi dan kelompoknya sering mendapatkan kemenangan namun juga acapkali menderita kekalahan.

Mangkubumi yang cerdas dan ahli strategi perang dengan cepat mengumpulkan banyak pengikut. Di akhir tahun 1746, Mangkubumi menyerang Surakarta dan membakar sebagian dari pusat ibu kota Kesultanan Mataram itu. Mangkubumi kemudian bergerak menuju pantai dan memberikan ancaman untuk Juwana dan Pati pada bulan Desember. VOC benar-benar ketakutan dengan pemberontakan yang dilancarkan Mangkubumi.

Pasukan pemberontak di bawah pimpinan Mangkubumi semakin di atas angin. Di tengah-tengah peperangan, Mangkubumi memindahkan markasnya ke Yogyakarta, tempat dahulu leluhurnya Ki Ageng Pamanahan dan Panembahan Senopati membabat Alas Mentaok menjadi sebuah negara yang bernama Mataram. 

Di Yogyakarta pada akhir 1749, Mangkubumi mendeklarasikan diri jadi raja baru Mataram dengan gelar Susuhunan Pakubuwono III. Putranya yang bernama Raden Mas Entho dinobatkan sebagai putra mahkota. Mata-mata melaporkan Pakubuwono II di Surakarta sedang sakit keras dan Mangkubumi sejatinya enggan mengambil alih tahta jika Pakubuwono II masih hidup. Namun tekanan dari ibunya, Sambernyawa dan pembesar pemberontak lainnya akhirnya membuat Mangkubumi luluh dan menobatkan dirinya sendiri sebagai Pakubuwono III versi kelompok pemberontak.

Sebagai Pakubuwono III, Mangkubumi mendapatkan dukungan dari para pemimpin pusat-pusat keagamaan di Mataram. Pemimpin keagamaan dari Kajoran, Tembayat, Kembangarum dan Wedi datang  ke Yogyakarta dan mendoakan Mangkubumi.

Selamatan digelar untuk memohon keselamatan Mangkubumi sebagai raja baru dengan gelar Pakubuwono III. Di saat yang bersamaan, Mangkubumi juga mengangkat keponakannya, Pangeran Sambernyawa, sebagai senopati dan patihnya. Mangkubumi juga mengangkat sejumlah pejabat kerajaan. Penghulu kerajaan diberikan gelar Kiai Ngabdullah. Mangkubumi juga memberikan gelar untuk pejabat baru di bidang hukum (jaksa). Tiga hari setelahnya, dilaporkan Pakubuwono II meninggal dunia dan di Surakarta digelar jumenengan penobatan putra mahkota Raden Mas Suryadi sebagai Pakubuwono III. 

Dalam waktu yang sama, Mataram memiliki dua raja dengan gelar Pakubuwono III. Sejarah yang jarang diulas dan diceritakan. Terbaginya Kerajaan Mataram Islam menjadi dua secara tidak sah sejatinya sudah terjadi sejak 1749.

Yang cukup mengejutkan, Belanda melaporkan ada lebih banyak pembesar yang menghadiri jumenengan Mangkubumi  sebagai Pakubuwono III di Yogyakarta dibanding jumenengan putra mahkota Raden Mas Suryadi sebagai Pakubuwono III di Surakarta. Penobatan putra mahkota sebagai Pakubuwono III dilaksanakan pada 15 Desember 1749. Mataram memiliki raja kembar dengan Mangkubumi sebagai Pakubuwono III di barisan pemberontak.

Setelah penobatan Pakubuwono III kembar, Babad Giyanti melaporkan terus-menerus terjadi pertempuran hebat hingga Perjanjian Giyanti 1755. Di pertengahan tahun 1750, perang yang tak kunjung usai telah menyebabkan Jawa tidak hanya hancur oleh perang, tapi juga penyakit cacar. Laporan dari Belanda melalui Van Hohendorff menyebutkan, desa di dataran tinggi Jawa dan Surakarta hampir seluruhnya ditinggalkan dan tidak bisa dihuni.Penyakit cacar ini telah mengakibatkan lebih dari 300 orang meninggal dunia. Penyakit cacar ini tak hanya menjangkiti orang Eropa, tapi juga orang Jawa. Salah satu orang  Jawa yang terjangkit penyakit ini adalah Pangeran Mangkuningrat, adik Pangeran Sambernyawa.

Lemah dan tak berdaya akibat penyakit cacar, Mangkuningrat kemudian dirawat di Kabanaran, markas dari barisan pemberontak yang dipimpin Mangkubumi. Mengetahui parahnya kondisi saudaranya, Sambernyawa kemudian bergegas datang ke Kabanaran. 

Setiba di Kabanaran, Sambernyawa melihat dengan mata kepalanya sendiri, Mangkuningrat diobati hanya dengan sirih dikombinasi pinang, gambir dan kapur. Mangkubumi menemui Sambernyawa dan berkata tidak usah mengkhawatirkan kondisi adiknya. Mangkubumi kemudian memerintahkan Sambernyawa kembali ke medan tempur. Mangkuningrat yang sakit itu akhirnya bertahan hidup.

Menurut Babad Giyanti, penyakit cacar yang mewabah di tengah-tengah meletusnya Perang Suksesi Jawa III ini ada akibat ritual gaib yang dilakukan Pangeran Mangkubumi. Tujuan Mangkubumi menyebarkan wabah ini adalah untuk membalaskan dendam kepada musuh yang telah mengalahkan pasukannya dalam pertempuran.

Setelah kekalahannya dalam pertempuran, Mangkubumi mengirim pasukannya melintasi Sungai Progo. Mereka kemudian diperintahkan untuk menunggu dia di sana. Mangkubumi kemudian pergi dengan melakukan penyamaran dengan hanya ditemani dua orang pelayan dan sepuluh anggota kavaleri. 

Tempat selanjutnya yang dituju Mangkubumi adalah Saribit, yang letak lokasinya dekat Delanggu di Sungai Kemiri antara Kartasura dan Yogyakarta.  Mangkubumi kemudian melanjutkan perjalanan ke arah Piji, yang lokasinya berada di tempat yang lebih tinggi dari sungai di lereng Merapi, lokasi terakhir ini adalah tempat berkumpulnya pasukan VOC dan Madura.

Kisah ini diceritakan Babad Giyanti dalam sebuah laporan dokumenter:

30. Pada malam hari ia beristirahat di Saribit

Berniat untuk menjalankan hukum Islam (shari’a)

Dengan menyamar ia berjalan

Hanya bersama dua pelayan

Membawa sebuah batu gerinda using

Dan di dalam rongga, termuat

Tulisan yang dibungkus dalam dluwang (Kertas Jawa yang terbuat dari kulit pohon)

31.Tiba di barat Piji,

Benda ini dikubur di tenga sungai,

Batu gerinda yang sudah using dan juga

Dluwang yang di dalamnya ada tulisan

Ini dengan segera didoakan

Oleh Yang Mulia Raja (Mangkubumi)

Dengan 12 pengulangan doa (raka’at)

31.Kedua pelayannya terheran-heran :

“Ya, benar, Yang Mulia.”

Mereka kembali ke timur

Dan tiba di Saribit ketika matahari terbit

Dari sana ia pergi

Dengan hanya sepuluh penunggang kuda

Ke barat progo….

33. … Tiga hari

34.Sesudah penguburan

Oleh Raja Kabanaran (Mangkubumi)

Batu gerinda yang telah didoakan itu,

Hukuman ilahi datang menyerang

Semua pasukan (musuh) di barisan mereka:

Jika mereka sakit pada sore hari, mereka mati pagi

Keesokan harinya.

Jika mereka sakit pada pagi hari, mereka musnah pada sore harinya

….

35. Madura dan Kompeni:

Tak satupun terlewatkan oleh

Demam, panas-dingin penyakit mereka

Begitulah catatan yang disampaikan Babad Giyanti. Pasukan VOC dan Madura yang mengalahkan pasukan pemberontak akhirnya meninggal dunia akibat penyakit cacar. Konon wabah cacar itu disebarkan secara ghoib oleh Mangkubumi yang terkenal sakti dan menguasai ilmu mistis. Mangkubumi adalah sosok pemimpin yang lengkap. Selain tangguh dan jago perang, ia juga seorang pemimpin yang cerdas, pintas dan sakti mandaraguna. Tak heran memang jika ia dikagumi rakyat Mataram dan disegani musuh-musuhnya.

Pada 27 Oktober 1751 pecah pertempuran yang tidak seimbang dibawah guyuran hujan badai. Dalam pertempuran ini, pasukan VOC dibawah komando Letnat Foster sudah hampir kehabisan pasukan. Pasukan VOC hanya terdiri dari 20 pasukan eropa dan 50 pasukan pribumi (menurut babad terdiri dari orang bugis dan Bali). Dalam pertempuran ini, Foster dan hampir seluruh pasukannya tewas terbunuh, yang berhasil selamat dan hidup hanya tiga orang saja.

Baca Juga : Viral Mall Sunnah, Pusat Perbelanjaan di Kalimantan Barat yang Menjalankan Syariat Islam

Kemenangan demi kemenangan terus diraih barisan pemberontak di akhir tahun 1751. Pada 12 Desember di Jenar di Sungai Bogowonto, pasukan VOC di bawah komandan Mayor H. de Clercq beradu kekuatan dengan pasukan utama Pangeran Mangkubumi. Dengan penuh percaya diri, Mayor Belanda ini percaya dia telah berhasil membuat Mangkubumi melarikan diri. 

Mayor H. de Clercq lalu bergerak maju meninggalkan pasukan kavalerinya dengan meninggalkan pasukan infatenrinya dan secara tidak sadar telah melewati musuhnya yaitu Pangeran Mangkubumi yang menyamar jadi penduduk desa. Pertempuran kemudian pecah di tengah persawahan dan hasilnya bisa ditebak, pasukan VOC kembali kalah. Pangeran Sambernyawa tidak ikut serta dalam pertempuran di Jenar ini, saat itu dia sedang berperang di wilayah Gunung Kidul.

Dalam pertempuran ini, di sawah yang banjir itu, Kapten Wouthier dan seluruh kompi dragoonnya terbunuh dan beberapa orang ditangkap pasukan Mangkubumi. Sementara de Clercq, mencoba melarikan diri melewati persawahan yang berlumpur. Namun apa daya, semuanya sudah terlambat, kuda orang Belanda ini terjebak lumpur dan tidak bisa bergerak. Pasukan Mangkubumi dengan sigap menebas leher de Clercq dan Sembilan hussarnya hingga tewas.

Di tahun 1751, dengan serangkaian kekalahan berturut-turut dalam peperangan ini telah menimbulkan kerugian besar di pihak VOC. Dalam laporan Batavia ke Amsterdam, dalam pertempuran ini juga dilaporkan di ujung pertempuran Jenar tergeletak mayat 180 pasukan VOC dan pasukan Keraton Surakarta. Korban tewas juga mencatat beberapa pejabat Jawa dari Banyumas, seorang bupati bernama Dipayuda dan sejumlah orang Jawa yang pro kepada VOC.

Kemenangan Pangeran Mangkubumi dalam pertempuran di Jenar menjadi titik balik gelombang militer di Perang Suksesi Jawa III. Hampir enam tahun pertempuran berlangsung, di tahun 1751 ini pasukan pemberontak mulai memiliki kontrol yang besar dengan meletupnya konflik ini. Simpati rakyat Mataram terhadap Keraton Surakarta semakin berkurang. Rakyat lebih memberikan simpatinya kepada Pangeran Mangkubumi, sang raja di barisan pemberontak.

Puncak dari peperangan yang melelahkan ini adalah Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755. Perjanjian ini sepakat memecah Mataram menjadi dua kerajaan, Kasunanan Surakarta yang dipimpin Pakubuwono III dan kerajaan baru Kesultanan Yogyakarta yang dipimpin Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengkubuwono I. Dengan perjanjian ini pula Mangkubumi meninggalkan gelar Pakubuwono III yang disandangnya selama bertahun-tahun. Perjanjian Giyanti menyepakati gelar Pakubuwono jadi milik Keraton Surakarta yang lebih sepuh dari Yogyakarta.

Perjanjian Giyanti ternyata belum membuat perang berakhir. Masih ada Pangeran Sambernyawa yang melanjutkan peperangan. Semangat perjuangan Pangeran Sambernyawa tidak kendor, ia kemudian seorang diri memimpin perang  melawan Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Pangeran Mangkubumi (Hamengkuwono I) adalah mertua sekaligus paman dari Pangeran Sambernyawa. Dalam perang ini Pangeran Sambernyawa memandang Pangeran Mangkubumi berkhianat dan dirajakan oleh VOC. Selama kurun waktu 16 tahun, Laskar Pangeran Sambernyawa melakukan pertempuran sebanyak 250 kali.

Perdamaian yang diharapkan oleh VOC akhirnya terwujud.Perdamaian tersebut diformalkan Sunan Pakubuwono III dengan Pangeran Sambernyawa dalam perjanjian Salatiga Pada 17 Maret 1757. Pertemuan berlangsung di Desa Jemblung, Kabupaten Wonogiri.Perjanjian tersebut hanya melibatkan Sunan Paku Buwono III dan saksi utusan Sultan Hamengku Buwono I dan VOC.

Perjanjian Salatiga menyepakati Pangeran Sambernyawa atau Raden Mas Said diangkat sebagai Adipati Miji alias mandiri dengan gelar KGPAA Mangkunegara I. Wilayah kekuasaan Mangkunegara I meliputi wilayah Kedaung, Matesih, Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Pajang sebelah utara dan Kedu. Wilayah kekuasaan Mangkunegara I ini kemudian dikenal dengan nama Kadipaten Mangkunegaran.

 


Topik

Serba Serbi Sejarah Mataram sejarah Kerajaan Mataram Mataram Pangeran Mangkubumi



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Yunan Helmy