free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Serba Serbi

Racun Bangkai Binatang, Strategi Raja Mataram Sultan Agung Taklukkan Kerajaan Surabaya

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Dede Nana

11 - Sep - 2023, 23:36

Placeholder
Ilustrasi.(Foto : Sultan Agung The Movie)

JATIMTIMES - Menaklukkan dan menguasai Jawa Timur adalah target utama Kerajaan Mataram Islam sejak bertahtanya Panembahan Senopati. Namun menaklukkan Jawa Timur ternyata tidaklah mudah. 

Di  Jawa Timur waktu itu ada sebuah kerajaan besar yang jadi pesaing Mataram yaitu Kerajaan Surabaya. Ekspedisi penaklukan itu berlangsung panjang dan melelahkan. Kerajaan pesaing itu baru bisa ditaklukkan ketika Mataram dipimpin Sultan Agung.

Baca Juga : Cegah HPV, Siswa 33 SD di Sampang Ikut Imunisasi Puskesmas Tanjung

Kerajaan Surabaya diperkirakan muncul setelah berakhirnya kekuasaan Kerajaan Demak. Raja-Raja Surabaya adalah keturunan Sunan Ampel. Itulah yang membuat raja Surabaya begitu dihormati dan merasa dirinya sebagai keturunan wali.

Surabaya pada waktu itu adalah negara perdagangan dengan reputasi kuat dan jadi pesaing utama Kerajaan Mataram Islam. Wajar jika kemudian Sultan Agung yang berambisi besar itu ingin segera menaklukkan Surabaya. Perang antara dua kerajaan ini berlangsung sengit dan memakan waktu lebih dari sepuluh tahun. Surabaya kalah dan jatuh ke tangan Mataram.

Surabaya merdeka dari Demak setelah wafatnya Sultan Trenggana. Surabaya kemudian menjadi negara otonom dengan raja terakhirnya bernama Jaya Lengkara. Raja Jaya Lengkara memiliki dua istri. Istri tua bernama Ratu Mas dari Kediri. Sedangkan istri muda yang tidak pernah disebut namanya berasal dari Mojoagung (Wirasaba).

Raja Jaya Lengkara memiliki beberapa putra. Putranya yang paling terkenal adalah Pangeran Adipati Pekik. Putra lainnya bernama Pangeran Indrajid, Pangeran Trunojoyo, dan Pangeran Wiradarma. Jejak dan peninggalan Kerajaan Surabaya saat ini hilang tak berbekas.

Artus Gijsels menguraikan bentuk Kerajaan Surabaya secara panjang lebar. Kerajaan ini memiliki ibu kota dengan garis lingkar lima mil. Pusat kerajaan dikelilingi pertahanan, separuh kota dikelilingi tembok dan separuhnya lagi oleh baluwarti. Kerajaan Surabaya juga dikelilingi dengan parit-patir yang indah. Diantara tembok dan parit yang mengelilingi kerajaan itu berdiri tanggul yang kuat.

Diduga pusat ibukota Kerajaan Surabaya berdiri di kedua sisi Kali Mas dengan panjang tembok sekitar 30 kilometer. Istana raja berada di dalam tembok benteng yang diperkirakan cukup megah itu. Di dalam benteng itu juga terdapat rumah-rumah.

Di samping tembok kerajaan terdapat pintu-pintu air. Uniknya, setiap 15 menit perjalanan sepanjang jalur tembok ini terdapat sebuah pintu gerbang yang bentuknya sama dengan pintu-pintu di benua eropa. Pintu-pintu itu dijaga ketat oleh sekitar 15 sampai 20 prajurit. Di jalur yang sama, Kerajaan Surabaya menempatkan petugas bea cukai untuk memungut pajak 10% untuk semua barang yang lewat.

Di depan pintu gerbang masuk menuju keraton, terdapat taman dan pohon-pohon linde atau pohon beringin yang besar dan indah. Dibawah pohon beringin itu terdapat bangku-bangku dan tempat duduk raja. Sedangkan kaum bangsawan duduk di tanah.Gambaran ini mengingatkan kita pada Alun-Alun di Keraton Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta.

Dalam laporannya Gijsels juga melukiskan keberadaan pasar yang letaknya berada di depan istana. Pasar di Kerajaan Surabaya pada waktu itu bukan hanya berfungsi sebagai pusat ekonomi. Pasar pada zaman itu juga tempat pejabat Negara mengadili para penjahat. Pengadilan era itu benar-benar bengis, perampok dibunuh dengan keris dan yang lain dilempar ke dalam api.

Kerajaan Surabaya juga memiliki teknologi yang lumayan modern pada zaman itu. Raja Surabaya disebut Gijsels telah memiliki artileri. Terdapat pula 20 meriam lebih yang terbuat dari besi dan perunggu. Salah satu meriam bahkan sama panjangnya dengan meriam milik Belanda. Meriam-meriam itu dibuat sendiri oleh arek-arek Suroboyo.

Putera Raja Panembahan Hanyakrawati dengan Ratu Mas Hadi itu bernama Raden Mas Rangsang. Ia  naih tahta pada 1613 dengan gelar pertamanya Panembahan Agung Hanyokrokusumo. Setelah sah jadi penerus tahta, sang raja muda itu ingin melanjutkan cita-cita ayah dan kakeknya, menaklukkan Surabaya dan menguasai Jawa Timur. Ekspedisi penaklukkan itu resmi dimulai pada 1614 dengan Mataram menyerang sekutu-sekutu Kerajaan Surabaya diantaranya Wirasaba. Surabaya dan sekutunya tercatat pernah melakukan serangan balik tapi dikalahkan di dekat Pajang pada tahun 1616. Upaya pengumpulan kekuatan pasukan sekutu Kadipaten Surabaya di Pajang untuk membantuk pemberontakan ke Mataram ternyata tercium oleh pasukan telik sandi Mataram yang berada di Tuban.

Perang terus berlanjut. Sultan Agung meraih kemenangan beruntun atas keraaan kecil sekutu Surabaya di Jawa Timur. Tercatat Sultan Agung meraih kemenangan perang di  Lasem  (1616) dan Pasuruan (1616-17). Di tahun 1617, Pajang yang turun kelas jadi kadipaten dibawah kekuasaan Mataram kembali memberontak terhadap Mataram namun berhasil dikendalikan dan dikalahkan. Para pemimpin Pajang kemudian melarikan diri dan mencari perlindungan ke Surabaya.

Baca Juga : Akibat Kelalaian Bakar Sampah, Si Jago Merah Melalap TPS Jalibar Kota Batu

Serangkaian kemenangan atas aliasi Kerajaan Surabaya itu membuat Sultan Agung berkuasa atas kegiatan pembangunan kapal-kapal di Tuban. Tuban merupakan salah satu kekuatan besar sekutu Kadipaten Surabaya karena menjadi pusat pembangunan kapal-kapal laut penopang utama kekuatan angkatan laut Kadipaten Surabaya.

Mataram mengepung Surabaya secara berkala dalam kurun waktu 1620-1625. Pengepungan itu tidaklah mudah karena lokasi-lokasi penting Kerajaan Surabaya (termasuk istana kadipaten) terletak di antara cabang-cabang Sungai Brantas. Selain itu, banyak lokasi-lokasi dan titik penting kerajaan itu yang dikelilingi oleh rawa. Rawa-rawa itu membentuk benteng alami yang menimbulkan resiko kesehatan bagi pasukan Mataram.

Surabaya pada waktu itu sudah menjadi kota pelabuhan penting di Nusantara dengan komiditi utamanya adalah rempah-rempah. Oleh sebab itu blokade dilakukan Mataram melalui jalur laut dan darat. Keterbatasan logistik dan musim hujan tahunan menyebabkan Mataram tidak dapat mempertahankan pengepungan secara terus menerus. Sebaliknya, Mataram mengikuti pola menyerang saat musim kemarau, menghancurkan tanaman dan menjarah hasil panen dari daerah Surabaya dan sekitarnya.

Sultan Agung tidak main-main dengan ekspedisi ini. Ia mengirimkan lima ekspedisi untuk menyerang Surabaya. Pada 1620, Sultan Agung mengirim 70.000 pasukan Mataram melawan 30.000 pasukan Surabaya,  tetapi pengepungan gagal karena tidak cukup persediaan untuk pasukan Mataram. Upaya kedua pada tahun 1622, juga gagal karena kurangnya persediaan makanan.  Upaya ketiga pada tahun 1623, juga gagal menaklukkan Surabaya. Mataram mengepung Surabaya lagi pada tahun 1624, menduduki dan menjarah wilayah pemukiman di sekitarnya serta memaksa warga untuk mengungsi ke dalam kota. Disaat yang bersamaan, Mataram juga mengirimkan ekspedisi terhadap sekutu Surabaya yang tersisa, terutama Sukadana di Kalimantan, yang jatuh pada tahun 1622, dan Madura, yang jatuh pada tahun 1624. kedua sekutu di luar pulau ini telah memasok bantuan kepada Surabaya, dan kekalahan mereka ikut berdampak terhadap masa depan daerah mereka dengan ikut serta jadi daerah kekuasaan Mataram.

Tahun 1625 merupakan puncak dari peperangan antara Mataram dan Surabaya. Pasukan Mataram dipimpin Tumenggung Mangun Oneng dengan dukungan Tumenggung Yuda Prasena dan Tumenggung Ketawangan. Sadar tidak akan menang dengan mengangkat senjata, dalam ekspedisi kelima ini pasukan Mataram menyerang Surabaya dengan membendung aliran Sungai Brantas yang merupakan sumber kehidupan utama di kerajaan pelabuhan itu. Dalam serangan kelima ini, pasukan Mataram juga meracuni Sungai Brantas dan air yang masuk perkotaan dengan bangkai binatang. Hasilnya pun cukup mengerikan, pusat ibukota Kerajaan Surabaya mengalami bencana kekurangan makanan yang sangat dahsyat. Kelaparan dan wabah penyakit menjangkiti seluruh warga di pusat kota Surabaya.

Melihat rakyatnya menderita, Raja Surabaya Jayalengkara menggelar rapat darurat dengan dewan bangsawan kota untuk membahas persoalan besar yang dihadapi negaranya. Dalam pertemuan tersebut Adipati Pajang yang melarikan diri ke Surabaya usai pemberontakannya digagalkan Mataram menolak menyerah dan ingin melanjutkan upaya perlawanan terhadap Mataram. Tetapi faksi-faksi bangsawan lain yang duduk di dewan bangsawan kota menyarankan Raja Jayalengkara untuk menyerah kepada Mataram dan Sultan Agung. Kebijakan yang diambil akhirnya disepakati, Jayalengkara memutuskan untuk menyerah kepada Raja Mataram, Sultan Agung.

Raja Jayalengkara pada waktu itu sudah berusia lanjut. Dari banyak sumber sejarah disebutkan ia meninggal dunia tak lama setelah Kerajaan Surabaya ditaklukkan dan turun kelas jadi kadipaten dibawah kekuasaan Mataram. Di sisi lain, Mataram Islam setelah penaklukan Surabaya menjadi kerajaan dominan yang berhasil menyatukan Jawa Tengah dan Jawa Timur dalam satu Negara. Kekuatan dominan Mataram ini bertahan hingga 1743. Pada 1743 pasca pemberontakan Geger Pecinan yang dipimpin Raden Mas Garendi (cucu Amangkurat III), Surabaya dan daerah sekitarnya lepas dari Mataram dan diserahkan kepada VOC.

Perjanjian Mataram dan VOC tahun 1743 adalah suatu kesepakatan yang ditandatangani pada bulan November 1743 antara Sunan Pakubuwono II dan VOC. Dengan perjanjian ini, Pakubuwono II mendapat bantuan dari VOC untuk menumpas pemberontakan Raden Mas Garendi. Perjanjian ini juga menyepakati Pakubuwono II dapat naik kembali ke tahtanya di Istana Mataram di  Kartasura.

Sebagai imbalan untuk bantuan VOC tersebut, Pakubuwono II melepaskan Madura Barat, Surabaya, Rembang, Jepara dan Blambangan ke VOC, bersama sebagian dari bea dari semua pelabuhan lain di Pasisir. VOC juga diberi kemungkinan bila mau untuk mendapat lajur di sepanjang seluruh Pasisir dan di sepanjang semua sungai yang bermuara di Pasisir. Di samping itu, Pakubuwana juga harus mengirim setiap tahun ke VOC 5 000 koyan (8 600 ton) beras secara cuma-cuma dan untuk selamanya. Perjanjian ini juga menyepakati Patih Mataram hanya boleh diangkat dengan izin VOC. Selain itu Mataram juga harus menerima satu garnisun VOC di  ibu kota Mataram di Kartasura. Kesepakatan lainnya, orang Jawa dari Negara Mataram tidak diperbolehkan berlayar di luar Jawa, Madura dan Bali. Kerajaan Mataram Islam yang jaya sejaya-jayanya di zaman Sultan Agung perlahan-lahan jatuh dalam kehancuran.


Topik

Serba Serbi sultan agung kerajaan mataram kerajaan surabaya



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Dede Nana