free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Peristiwa

Karaeng Galesong Ngamuk Setelah Nikahi Putri Trunojoyo, Rebut Surabaya dan Gresik dari Mataram

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : A Yahya

11 - Sep - 2023, 03:25

Placeholder
Ilustrasi pertempuran pasukan Makassar dengan VOC.(Foto : atlasofmutualheritage.nl)

JATIMTIMES - Karaeng Galesong adalah pahlawan dari Kerajaan Gowa yang dikenal pantang menyerah melawan VOC. Selain bangsa eropa, Galesong juga tercatat dalam sejarah berhasil menghancurkan istana Mataram di Plered. Galesong meski tidak berumur panjang, dikenang sejarah sebagai salah satu putera terbaik Nusantara dari pulau rempah-rempah.

Ya, Karaeng Galesong adalah  harta berharga Kerajaan Gowa (Makassar, Sulawesi Selatan).  Ia adalah putra Sultan Hasanuddin, tapi bukan putra mahkota. Galesong adalah putra keempat sultan dari istri yang bernama  I lo’mo  Tobo.  Saat masih berusia muda, Galesong sudah sering diterjunkan dalam peperangan untuk meredam pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di wilayah kekuasaan Kerajaan Gowa. Bakatnya sebagai ahli strategi dan panglima perang sudah terasah sejak usia belia.

Baca Juga : Atlet Putri Perserosi Kota Malang Berhasil Raih Emas di Kelas Freestyle Slaloom 

Nama asli Karaeng Galesong adalah I Manindori. Nama gelar lengkapnya adalah Karaeng Galesong Karaeng Tojeng. Selain ahli seni perang, Galesong adalah kesatria gagah perkasa yang menguasai ilmu pengetahuan tinggi. Galesong adalah nama sebuah daerah Kerajaan Gowa di bagian selatan. Galesong adalah daerah yang makmur dan menjadi lumbung pangan Kerajaan Gowa.

Empat tahun setelah Perjanjian Bongaya ditandatangani pada 1671, Karaeng Galesong memutuskan pergi meninggalkan tanah leluhurnya. Ia pergi mengembara berlayar ke arah barat untuk menyusun strategi dan melanjutkan perlawanan melawan Belanda, bangsa asing dari eropa yang sangat ia benci.

Kekalahan Kerajaan Gowa atas Belanda tidak menyurutkan mental Galesong melanjutkan perjuangan. Dari Gowa, Karaeng Galesong berhasil mendarat bersama rombongannya di Pelabuhan Banten pada Oktober 1671. Tujuan kedatangan Karaeng Galesong ke Banten adalah untuk membantu perjuangan Sultan Ageng Tirtayasa melawan VOC. Pertempuran yang terjadi antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan VOC dikenal sebagai Perang Banten.

Di tengah berlangsungnya Perang Banten, Raden Kajoran mertua dari Raden Trunojoyo dari Madura yang sedang mempersiapkan pergerakan melawan Sunan Amangkurat I dari Kesultanan Mataram, datang untuk meminta bantuan. Raden Kajoran kemudian memohon agar Karaeng Galesong mau membantu Trunojoyo melawan VOC di Jawa Tengah dan Jawa Timur. 

Pada masa itu, di wilayah Jawa Timur terdapat dua penguasa besar dan disegani, yaitu Sri Susuhunan Prabu Tawangalun II di Blambangan dan Panembahan Maduretno Pangeran Trunojoyo di Sampang, Madura. Sudah sejak lama kedua penguasa besar ini saling bantu untuk melawan VOC. Mereka berdua juga sama-sama menjadi incaran penguasa Mataram Sri Susuhunan Amangkurat I.

Kedatangan Karaeng Galesong di Jawa Timur disambut baik oleh Trunojoyo dan Tawangalun. Trio ini kemudian mengadakan pertemuan di Kedhaton Keraton Sampang. Mereka bersatu padu melanjutkan perlawanan terhadap kerajaan Mataram dan Belanda pada 1676-1679. Trunojoyo secara terang-terangan menyatakan diri berpisah dengan Kerajaan Mataram. Trunojoyo kemudian resmi mendeklarasikan diri sebagai Raja Madura  dengan dukungan Sunan Giri dan Raden Kajoran.

Hubungan Galesong dengan Trunojoyo semakin dekat dan pada akhirnya menjadi keluarga. Galesong jatuh cinta dengan putri Trunojoyo yang berparas jelita. Trunojoyo suka dengan pribadi Galesong, ia  mengambil Galesong sebagai menantunya.

Menginjakkan kaki di pulau garam, Galesong yang cerdas dan tampan dalam waktu singkat langsung menjadi perhatian di kalangan orang-orang Madura. Ketampanan dan kharisma Galesong memikat hati putri cantik dari Madura yang bernama Maduretno. Maduretno tak lain adalah putri dari Trunojoyo.

Maduretno dan Galesong diam-diam saling jatuh cinta setelah sang pangeran Gowa berkunjung ke Keraton Sampang. Di sisi lain, Trunojoyo sangat ingin menjodohkan putrinya dengan Galesong. Trunojoyo yakin, Galesong akan jadi suami yang baik bagi putrinya.

Maduretno yang cantik itu sangat berbahagia ketika mendapat panggilan dan kabar dari ayahnya. Sang ayah, Trunojoyo memanggil sang putri untuk menanyai apakah ia mau dinikahkan dengan Galesong, sang putri tidak menolak dan hatinya berbunga-bunga. Di tempat lain di markas pasukan Makassar di Demung, Galesong yang gagah perkasa sedang murung dan banyak melamun. Galesong sedang kasmaran, ia terbayang-bayang dengan wajah cantik dan senyum manis kembang gula dari Madura, putri Maduretno.

Kegalauan Galesong mendadak sembuh seketika saat kedatangan utusan pembawa kabar dari Sampang. Utusan itu mendatangi Galesong di Demung. Dengan agak gugup, utusan menyampaikan kepada Galesong bahwa penguasa Madura yaitu Trunojoyo ingin menikahkan Galesong dengan putri Maduretno.

Mendengar kabar itu, hati dan otak Galesong bagai tersambar petir. Senyum mengambang di bibir Galesong, ia langsung memerintahkan utusannya untuk mempersiapkan pernikahannya.

Upcara pernikahan dilaksanakan begitu cepat. Setelah mengucapkan ijab qabul, Karaeng Galesong sah menjadi menantu Pangeran Trunojoyo. Upacara pernikahan dilaksanakan pada siang hari dan disaksikan oleh tamu-tamu dari seluruh Madura. Pernikahan ini kemungkinan berlangsung di sekitaran tahun 1675. Pasangan ini kemudian melahirkan seorang anak yang lahir pada 1677.

Selain murni perjodohan, ada versi lain terkait pernikahan Galesong dengan putri Maduretno. Sumber itu menyatakan Trunojoyo berkenan menikahkan putrinya dengan Galesong dengan syarat sang Pangeran  Gowa merebut Surabaya dan Gresik dari kekuasaan Mataram. Galesong sepakat dengan apa yang diinginkan Trunojoyo, keduanya pun melakukan perjanjian.

Sesuai dengan perjanjiannya dengan Trunojoyo, Karaeng Galesong kemudian mengerahkan pasukannya untuk menyerang wilayah Jawa yang dikuasai Amangkurat I. Tak tanggung-tanggung, empat pelabuhan laut berhasil direbut pasukan Makassar. Empat pelabuhan itu adalah daerah dengan penduduk yang banyak yaitu Pasuruan, Panjarakan,  Gombong dan Gerongan. Serangan ini kemungkinan berlangsung pada bulan-bulan terakhir tahun 1675.

Galesong yang berstatus pengantin baru benar-benar trengginas. Dalam waktu singkat ia Surabaya digempur dari berbagai penjuru. Kota-kota sebelah selatan, timur diserang dalam waktu yang begitu cepat oleh pasukan Makassar. Pasukan Makassar tak punya lelah, tempat-tempat di sebelah utara dan barat kota pelabuhan itu jadi sasaran serangan berikutnya.

Penduduk Surabaya begitu ketakutan dan mengungsi ke Gunung Giri. Keadaan semakin memburuk bagi Mataram. Tanggal 7 Desember 1675, Gresik dikabarkan telah musnah dan jatuh ke tangan pasukan Makassar. 

Baca Juga : Kota Batu Kantongi Dua Emas di Cabor Sepeda dan Berkuda

Selang beberapa hari kemudian melalui surat tertanggal 28 Desember 1675, Residen Belanda di Jepara mengabarkan bahwa kota pelabuhan Surabaya telah hancur. Sebanyak 7.000 hingga 8.000 orang Jawa di Surabaya mengungsi ke hutan.

Pasukan Makassar yang dendam dan ingin mengancurkan VOC membakar Gresik dan Surabaya. Wilayah kekuasaan Trunojoyo pun semakin luas. Selain Sampang, Trunojoyo dengan kemenangan ini juga menguasai Sumenep, Arosbaya, Sedekari, Gembong, Gedongbatu, Pasuruan dan daerah sekitarnya.

Lepasnya Gresik dan Surabaya ke tangan Karaeng Galesong membuat Amangkurat I marah.Menurut sumber-sumber Jawa, penyebab kekalahan dari serangan ini adalah ketidakhadiran penguasa lokal ketika terjadi pertempuran. Pada waktu itu, penguasa daerah setempat sedang berada di ibukota Mataram di Plered (Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta).

Selanjutnya di tahun-tahun berikutnya setelah peristiwa ini, Karaeng Galesong bersama Trunojoyo kemudian menyerang Mataram dan VOC dengan mengerahkan pasukan gabungan dari Madura, Makassar, dan Surabaya yang berkekuatan 9.000 prajurit. Perlawanan ini cukup fenomenal, pada Oktober 1676, pasukan Mataram dan Belanda berhasil dikalahkan dalam Pertempuran Gegodog yang diikuti dengan serangkaian kemenangan di pihak Trunojoyo dan Karaeng Galesong.

Serangan Galesong bersama pasukan dari Makassar ini merupakan sejarah baru bagi Kerajaan Mataram dan Kerajaan Gowa. Sebelumnya di zaman Sultan Agung, Kerajaan  Mataram dan Kerajaan Gowa sangat kompak dalam menjalankan pemerintahan untuk melindungi rakyat dan memerangi kezaliman. Dua kerajaan ini juga sama-sama membenci Belanda. Dua kerajaan ini juga sama-sama pemeluk islam yang taat. Hingga masa akhir pemerintahan Sultan Agung, persekutuan yang dijalin dua kerajaan ini benar-benar tepelihara dengan baik.

Kerajaan Mataram dan Kerajaan Gowa terus berhubungan, komunikasi itu diantaranya dilakukan dengan saling berkirim surat. Pada 1644 utusan Mataram untuk Kerajaan Gowa dibalas dengan surat-surat dan banyak hadiah.

Sayang, hubungan baik yang dijalin dua kerajaan besar ini pada akhirnya meredup di zaman Sunan  Amangkurat I, Raja Mataram berikutnya yang menggantikan Sultan Agung. Pada 1646, tidak ada lagi utusan Kerajaan Gowa yang datang ke Mataram. Retaknya hubungan kedua kerajaan ini bisa jadi adalah kompeni.

Sultan Agung dikenal sebagai raja yang sangat anti Belanda, tapi tidak dengan Amangkurat I. Sang raja penerus yang naih tahta di usia muda itu dikenal menjalin perdamaian dan bersahabat dengan kompeni. Sikap Amangkurat I ini membuat orang-orang Gowa jadi tidak menyukai Mataram. Berbanding terbalik dengan Mataram, Kerajaan Gowa dibawah Sultan Hasanuddin tetap konsisten, Belanda tetap dianggap sebagai  musuh yang harus dibinasakan.

Melihat mulai retaknya hubungan kedua kerajaan itu, Van Goens duta Belanda untuk Mataram memprovokasi Amangkurat I untuk mengibarkan genderang perang dengan Kerajaan Gowa. Van Goens meyakinkan Amangkurat I, bahwa Mataram pasti bisa menaklukkan Gowa dan menjadikan kerajaan di pulau rempah-rempah itu sebagai bawahan Mataram. Namun hasutan itu tak dihiraukan Amangkurat I.

Van Goens tidak menyerah meski hasutannya tidak ditanggapi oleh sang raja. Ia terus meyakinkan Amangkurat I untuk mengibarkan perang untuk menaklukkan Kerajaan Gowa. Bahkan dengen pede Van Goens  mengatakan Mataram akan jadi kerajaan terbesar di dunia jika berhasil mengalahkan Gowa. Sayang, Amangkurat I tetap tidak tertarik dengan mimpi-mimpi yang diucapkan Van Goens.

Mataram semakin mesra dengan VOC, sedangkan Kerajaan Gowa perlahan-lahan berhasil dikalahkan oleh penjajah dari eropa. Kalahnya Kerajaan Gowa di pulau rempah-rempah ternyata bukan akhir dari perang antara Gowa dengan Belanda. Yang terjadi berikutnya justru adalah serangan putra Kerajaan Gowa yang membuat Mataram berada di titik kehancuran. Sang penakluk Mataram dari Kerajaan Gowa itu adalah Karaeng Galesong.

Karaeng Galesong, salah satu putera terbaik Kerajaan Gowa itu wafat setelah tiga tahun menaklukkan Mataram. Ia tutup usia di usia 24 tahun pada 21 November 1679 di daerah Ngantang Kabupaten Malang. Ada catatan kuno yang menyatakan Galesong wafat di Kediri. Memang pada masa itu Ngantang adalah wilayah Kabupaten Kediri dan saat ini masuk dalam wilayah administrative Kabupaten Malang. Galesong wafat sekitar dua bulan sebelum Trunojoyo menyerah dan tewas di tangan pasukan gabungan VOC dan Mataram.

Kematian Karaeng Galesong sendiri ada banyak versi. Ada yang mengatakan ia meninggal karena sakit dan ada pula yang menyatakan ia tewas dibunuh oleh pasukan gabungan Belanda dan Mataram.

Makam Karaeng Galesong di Kelurahan Kebonsari, Kecamatan Ngantang, Kabupaten Malang, Jawa Timur itu hingga kini ramai dikunjungi banyak orang. Banyak pejabat keturunan Makassar yang berziarah ke tempat ini, satu diantaranya adalah mantan Wapres RI  Jusuf Kalla. 


Topik

Peristiwa Karaeng galesong kerajaan gowa



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

A Yahya