free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Hiburan, Seni dan Budaya

Raden Pabelan: Tewas Dibantai Joko Tingkir, Jasadnya Diselamatkan Kiai Sala

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Nurlayla Ratri

21 - Aug - 2023, 20:03

Placeholder
Putera Sunan Pakubuwono XII dan Budayawan Keraton Surakarta, KGPH Puger. (Foto : Aunur Rofiq/JatimTIMES)

JATIMTIMES- Wisatawan dari berbagai daerah terpantau mengunjungi Keraton Kasunanan Surakarta di akhir pekan pertengahan bulan Agustus 2023. Banyak di antara mereka yang berfoto dan berkunjung ke museum keraton. Ada pula yang berziarah ke makam Kiai Sala yang lokasinya berada di pojok wetan (timur) Benteng Baluwarti. Ziarah biasanya dilakukan oleh orang yang menyukai dunia spiritual dan telusur sejarah.

Kiai Sala adalah tokoh yang hidup di zaman Kesultanan Pajang. Makamnya berada di dalam pojok benteng Baluwarti itu merupakan pindahan. Dulu saat masih bernama Desa Sala, makam Kiai Sala berada di tempat yang saat ini berdiri bangunan Sitinggil. 

Baca Juga : Antisipasi Kemarau Panjang, Wawali Armuji Ajak Warga Surabaya Optimalisasi Urban Farming

Kiai Sala hidup saat Negara Pajang dipimpin oleh Sultan  Hadiwijaya alias Joko Tingkir. Artinya Kiai Sala hidup satu zaman dengan Ki Ageng Henis (ayah Ki Ageng Pamanahan, kakek Panembahan  Senopati), ulama penyebar agama Islam yang mendirikan pesantren di Laweyan.

“Tokoh yang dimakamkan di pojok benteng Baluwarti itu adalah Kiai Sala. Beliau itu ulama zaman Pajang. Sangat mungkin beliau hidup sezaman dengan Ki Ageng Henis. Cuma yang datang ke Solo lebih dulu itu siapa belum tahu, bisa Ki Ageng Henis dulu atau Kiai Sala dulu,” ungkap putera Sunan Pakubuwono XII dan Budayawan Keraton Surakarta, KGPH Puger.

Tidak banyak catatan mengenai kiprah Kiai Sala di zaman Kerajaan Pajang. Satu-satunya jejak Kiai Sala yang melegenda dan diceritakan secara lisan adalah ketika aksinya menyelamatkan jasad Raden Pabelan. 

Raden Pabelan adalah seorang playboy di zaman Sultan Hadiwijaya (Joko Tingkir). Pabelan adalah putra Tumenggung Mayang, salah seorang bupati di Kerajaan Pajang. Peristiwa ini mungkin terjadi di sekitaran pertengahan abad ke-15.

Raden Pabelan, putra Tumenggung Mayang itu, berwajah tampan rupawan tapi bandel. Pabelan juga suka mengganggu anak istri orang. Ketampanan pemuda ini jadi buah bibir. Banyak gadis Pajang terpesona karena Pabelan memang menjadi idaman.

Diam-diam ulah Pabelan membuat ayahnya pusing. Penyebabnya sang anak lelaki ini tidak mau menikah dan sukanya hanya main-main mengganggu perempuan. Kesal dengan perilaku anaknya, Tumenggung Mayang kemudian menantang Pabelan untuk mendekati Sekar Kedathon, putri Sultan Pajang yang berparas jelita.

Pabelan awalnya gentar, namun pada akhirnya ia semakin tertantang untuk bisa mendekati putri sang raja. Patut diakui Pabelan memang benar-benar mahir dalam merayu perempuan. Lewat dayang yang pergi ke pasar, Pabelan menitipkan bunga dan surat rayuan lewat perantara dayang itu. 

Gayung cinta pun bersambut, Sekar Kedathon akhirnya tergoda. Setelah mendengar berita ketampanan Pabelan, sang putri pun mencari cara untuk mengundangnya masuk keputren.

Dengan kecerdikannya, Pabelan putera Tumenggung Mayang itu akhirnya  berhasil masuk ke kawasan Keputren dan menemui Sekar Kedhaton.Pada malam hari, Raden Pabelan datang lewat jalan rahasia yang ditunjukkan si emban. 

Raden Pabelan akhirnya bertemu Sekar Kedathon di kamar. Sekar Kedathon benar-benar dimabuk cinta dan hampir tujuh hari putri tidak keluar kamar dan hanya meminta emban mengantar makanan.

Sikap aneh Sekar Kedathon itu akhirnya menimbulkan kecurigaan diantara para emban lainnya. Para emban lainnya mengintip kamar Sekar Kedathon dan terlihat ada seorang pemuda tampan sedang bermesraan dengan putri raja. Kejadian tersebut akhirnya dilaporkan kepada Sultan Hadiwijaya.

Perbuatan Raden Pabelan membuat Sultan Pajang marah besar. Ia memerintahkan ahli perang Pajang bersama beberapa prajurit mengepung Raden Pabelan di kamar Sekar Kedathon. Sadar dikepung dan nyawanya terancam, Pabelan dan Sekar Kedathon justru malah tidak mau keluar. Keduanya malah mesra berpelukan dan bertekad untuk mati bersama.

Ahli perang Pajang kemudian memainkan siasat cerdik. Ia membujuk Pabelan dan mengatakan bahwa peristiwa ini sudah diketahui Sultan dan akan dinikahkan. Mendengar perkataan ahli perang ini, Raden Pabelan mau melepas pelukan dan akhirnya keluar dari kamar Sekar Kedathon.

Sampai di luar kamar keputren, Raden Pabelan langsung diringkus. Bukannya diamankan namun pria paling tampan di Negara Pajang itu justru dibantai oleh prajurit kerajaan. Setelah tewas, mayat Pabelan lalu dibuang di sungai Laweyan.

Peristiwa memalukan itu turut menyeret nasib Tumenggung Mayang, ayah Raden Pabelan. Tumenggung Mayang dihakimi dan dipersalahkan terkait kejadian ini. Sultan Hadiwijaya kemudian membuang Tumenggung Mayang ke Semarang.

Berhari-hari jasad Raden Pabelan terombang-ambing di Bengawan Solo yang saat itu bernama Sungai Laweyan. Jasad sang pemuda tampan itu kemudian ditemukan oleh Kiai Sala. Jasad Pabelan ditemukan tersangkut di bantaran sungai yang kini menjadi wilayah Pasar Kliwon, Kota Surakarta. Konon saat jasad itu akan dihanyutkan kembali ternyata tidak bisa. Saat ditemukan kondisi jenazah Pabelan sudah mulai membusuk.

Kiai Sala kemudian menyempurnakan jasad Pabelan dengan memakamkannya secara layak di tempat yang saat ini berada di pojok benteng Alun-Alun Keraton Surakarta.

Konon dimakamkannya Pabelan di tempat tersebut merupakan permintaan yang diterima Kiai Sala melalui komunikasi gaib. Dalam komunikasi gaib itu, Kiai Sala yang baik hati mendengar bahwa Pabelan telah mengakui perbuatannya yang tidak benar. Kepada Kiai Sala, Pabelan kemudian meminta agar jasadnya dimakamkan di sebelah barat Bengawan Solo.

Baca Juga : Cari Ikan Bareng Teman, Satu Anak di Tulungagung ini Hilang Terseret Arus Sungai Brantas

“Pabelan berkata kepada Kiai Sala, tulong kuburku kekno neng sebelah barat Bengawan Solo. Suatu hari nanti, akan ada negara besar di wilayah tersebut,” ungkap Gusti Puger.

Apa yang dikatakan Pabelan itu kemudian benar-benar menjadi kenyataan. Selang sekitar seratus lima puluh tahun kemudian sejak kematiannya, tempat Pabelan dimakamkan yang berupa rawa-rawa itu berubah menjadi sebuah negara besar. Negara besar itu adalah Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang didirikan Sunan Pakubuwono II. 

Hingga kini, makam Raden Pabelan tetap di tempat yang sama. Jasadnya tidak dipindah meskipun di sekeliling tempat ia tidur abadi telah menjadi pusat pertokoan. Lokasi makam Pabelan saat ini menjadi bagian dari Kompleks Beteng Trade Center atau BTC, Pasar Kliwon, Kota Surakarta.

Sementara terkait dengan Kiai Sala, belum ditemukan catatan atau cerita lisan mengani kiprahnya setelah peristiwa tewasnya Raden Pabelan. Sebuah catatan dari Keraton Surakarta hanya menjelaskan setelah meninggal dunia jasad Kiai Sala dimakamkan di tempat yang saat ini berdiri bangunan sitinggil yang lokasinya tidak jauh dari BTC Pasar Kliwon tempat  Pabelan dimakamkan. Saat perpindahan keraton dari Kartasura ke Surakarta, jasad Kiai Sala dipindahkan ke pojok wetan Baluwarti karena makam yang lama itu akan dibangun bangunan sitinggil.

Hingga kini makam Kiai Sala yang berada di pojok wetan Baluwarti ramai dikunjungi peziarah. Sayangnya, hanya sedikit orang yang mengetahui tokoh yang dimakamkan di pasarean tersebut adalah Kiai Sala. Mayoritas orang menganggap tokoh yang dimakamkan di tempat itu adalah Ki Gede Sala, pendiri Desa Sala yang hidup pada zaman Kartasura.

KGPH Puger, putra Sunan Pakubuwono XII, meluruskan sejarah ini. Ia mempertegas meski sama-sama bernama Sala, Ki Gede Sala dan Kiai Sala bukanlah orang yang sama. Kiai Sala adalah tokoh yang hidup di zaman Keraton Pajang yang dipimpin Sultan Hadiwijaya (Joko Tingkir). Sedangkan Ki Gede Sala adalah tokoh yang hidup pada zaman Keraton Kartasura era pemerintahan Sunan Pakubuwono II. Dua tokoh ini berbeda era dan tidak pernah bertemu pada satu zaman.

“Kiai Sala itu hidup masa Pajang dan Ki Gede Sala itu hidup masa Kartasura. Kan adoh (jauh) banget. Lha wong Pajang itu kerajaan sebelum Mentaok. Mentaok lalu jadi Mataram, Mataram lalu ke Plered dan Kartasura. Kan adoh banget. Pajang itu abad 16 akhir dan Kartasura itu abadnya 17 akhir. Jadi, jaraknya dua tokoh itu 100 tahun. Setelah Kiai Sala, baru 100 tahun kemudian ada Ki Gede Sala,” jelas Gusti Puger.

Sebelumnya,  Geger Pacinan yang terjadi pada tahun 1741 menyebabkan kehancuran bangunan Keraton Kartasura. Sunan Pakubuwono II memutuskan untuk memindahkan keraton ke daerah timur Kartasura, yaitu Desa Sala. Kebijakan pemindahan itu diambil karena renovasi keraton dan pembangunan keraton baru setelah dihitung biayanya sama besarnya. Raja  akhirnya memilih kebijakan opsi kedua, yaitu memindahkan keraton ke tempat yang baru.

Awalnya terdapat tiga tempat alternatif keraton baru, yaitu daerah Kadipolo, Sonosewu, dan Desa Sala. Desa Sala akhirnya dipilih karena letaknya yang strategis dan dekat dengan Bengawan Solo sebagai akses mobilitas. Sunan Pakubuwono II kemudian membeli tanah Desa Sala tersebut dari orang yang bernama Ki Gede Sala.

“Karena akan dibangun oleh keraton, maka jasad Kiai Sala dipindah ke dalam Baluwarti. Yang di sitinggil bagian atas itu ada bekas atau petilasan makam beliau dan orang tetap ziarah ke sana.  Makam beliau dipindahkan supaya tidak mengganggu upacara kerajaan. Pemindahan makam ini ada dalam catatan keraton. Dan makam di pojok  Baluwarti itu terdapat tulisan Nawa yang diukir di batu. Tulisannya itu Kiai Sala,” terang putera Sunan Pakubuwono XII, KGPH Puger.

Gusti Puger menambahkan, setelah kampungnya yang bernama Desa Sala dibeli oleh Pakubuwono II, Ki Gede Sala diberi uang yang sangat besar dan diangkat sebagai birokrat kerajaan. Sebagai pejabat kerajaan, Ki Gede Sala ditugaskan di wilayah Kerajaan Surakarta dan ditransmigrasikan

Transmigrasi yang dijelaskan Gusti Puger menarik untuk dianalisis. Pada zaman itu, Keraton Surakarta adalah negara berdaulat yang memiliki wilayah kekuasaan hampir di seluruh tanah Jawa. Sebagai pejabat kerajaan, bisa jadi Ki Gede Sala pada waktu itu ditugaskan di wilayah luar atau wilayah mancanegara Keraton Surakarta.

Penugasan di wilayah luar itu cukup kuat untuk menjabarkan mengapa makam Ki Gede Sala tidak berada di dalam area Baluwarti. Keraton Surakarta juga tidak memiliki catatan di mana Ki Gede Sala dimakamkan.

 “Ki Gede Sala ditransmigrasikan setelah menerima uang 1.000 ringgit dan tanahnya dipakai oleh negara. Ki Gede Sala setelah itu jadi petinggi kerajaan, tapi kuburane neng endi yo ora enek sing ngerti. Kuburane yo manut karo keluargane. Makam Ki Gede Sala itu tidak ada dalam catatan keraton. Yang ada catatan itu pemindahan makam Kiai Sala,” lanjutnya.

Gusti Puger berharap dengan pemaparan ini, maka sejarah akan menjadi jelas. Yakni tokoh yang dimakamkan di pojok Baluwarti keraton itu adalah Kiai Sala, bukan Ki Gede Sala. Selama ini banyak orang memahami makam di pojok Baluwarti itu adalah Makam Ki Gede Sala.

“Tulisan latin Ki Gede Sala di kawasan makam itu sebenarnya salah. Harusnya segera dibenarkan. Di makam itu kan ada tulisan Jawa yang terukir di batu. Tulisan itu Jawa itu bunyi ejaannya  Kiai Sala,” pungkasnya.


Topik

Hiburan, Seni dan Budaya Kiai Sala sejarah keraton Pakubuwono 2



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Nurlayla Ratri