JATIMTIMES- Tahun ini tepatnya 5 Agustus 2023, Blitar dalam hal ini Blitar Raya genap berusia 699 tahun. Sepanjang perjalanannya, Blitar banyak melahirkan tokoh-tokoh besar. Salah satunya adalah Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Sosrohadinegoro, bupati ketiga Blitar yang dijuluki Kanjeng Jimat.
Kanjeng Jimat adalah julukan bagi pemimpin di daerah Jawa Timur yang memiliki linuwih. Setiap Kanjeng Jimat juga memiliki pusaka Pecut Samandiman. Di Jawa Timur ada empat orang tokoh pemimpin yang mendapat julukan Kanjeng Jimat. Selain Bupati Blitar KPH Sosrohadinegoro, Kanjeng Jimat lainnya adalah KRT Sosrokusumo I (Bupati pertama Nganjuk), Raden Mangun Negoro (Bupati pertama Trenggalek) dan Kiai Djayaniman (Bupati ketiga Pacitan).
Baca Juga : Viral, RSUD Bangil Gelar Konser di Dekat IGD dan Poli Jantung, Netizen: Nalarnya Dimana?
Kanjeng Jimat Blitar, KPH Sosrohadinegoro adalah pemimpin Blitar yang amat disegani. Ia menjabat bupati ketiga Blitar menggantikan KPW Warsokoesoemo yang wafat pada 19 September 1896. Sosrohadinegoro dikenal cakap memerintah dan memiliki kesaktian, oleh sebab itulah ia dijuluki Kanjeng Jimat. Menurut mitologi, dengan pecut Samandiman ia mampu mengusir lahar Gunung Kelud hanya dengan sekali lecutan. Saat dilecutkan, suara pecut ini konon menggelegar sampai ke angkasa. Daya magis pecut ini membuat aliran lahar Gunung Kelud pun tersibak dan kemudian terbelah menjadi dua.
“Kalau menurut cerita dari putro wayah Eyang Warsokoesoemo, yang punya pecut Samandiman ini Kanjeng Jimat Bupati KPH Sosrohadinegoro. Sempat ada yang bilang pecut itu punya Patih Djoyodigdo, tapi saya percaya dengan apa yang diceritakan keluarga, pecut ini punya Kanjeng Jimat,” jelas Juru Kunci Pasarean Pangeranan Blitar, Harmono.
Kabupaten Blitar pada zaman itu memang berada tepat di tengah dua jalur aliran lahar Gunung Kelud. Di sebelah timur ada Kali Putih dan jalur barat mulai Sumberasri, Kecamatan Nglegok sampai ke Bacem. Setelah peristiwa lecutan Pecut Samandiman itulah dipercaya aliran lahar itu menjadi dua jalur lagi ke arah Udanawu dan Ponggok.
Namun sayang, hingga kini jejak dari pecut Samandiman ini tidak dapat diketahui. Fisik dari pecut itu tidak pernah lagi dijumpai hingga saat ini. Banyak kalangan yang bilang, pecut Samandiman moksa setelah pemiliknya meninggal dunia.
Entah cuma cerita fantasi atau benar-benar pernah ada, kesaksian hilangnya pecut Samandiman diutarakan Mantan Bupati Blitar Herry Nugroho. Selama berada di pendapa saat menjabat sebagai Blitar mulai tahun 2005 sampai dengan 2016 , Herry mengaku tidak pernah melihat bentuk fisik pecut Samandiman. Dirinya pun memastikan pecut ini tidak ada di ruang pusaka Pendapa Agung Ronggo Hadi Negoro.
“Putro wayah dari Bupati Warsokoesomo pernah menanyakan ke saya terkait dengan keberadaan pecut ini, mau diminta katanya dan mau dirawat oleh keluarga. Nah, saya bilang, pecut Samandiman ini tidak ada di pendopo, sejak saya awal menjabat hingga pensiun tidak pernah saya melihat bentuk pecut ini, di ruang pusaka pendopo saya pastikan tidak ada,” kata Herry.
Dalam cerita lisan lainnya, KPH Sosrohadinegoro adalah bupati yang memiliki kharisma dan keagungan setara dengan Raja Jawa. Ia juga tokoh penting yang menghapuskan tradisi Rampogan Macan di Kabupaten Blitar. Rampogan Macan adalah tradisi pembantaian harimau di Alun-alun Blitar. Saat itu dengan pertimbangan mulai punahnya harimau Jawa, Sosrohadinegoro dengan berani mengambil kebijakan menghapus tradisi ini. Bersamaan dengan saat itu, pihak perkebunan juga mulai menganggap harimau sudah tidak lagi menjadi ancaman yang membahayakan.
KPH Sosrohadinegoro pantas disebut sebagai pemimpin Blitar di masa transisi. Di masa kepemimpinannya, Hindia Belanda membentuk Gementee Blitar pada 1 April 1906. Kebijakan ini dalam perkembangannya kita kenal dengan dua wilayah administrative di Blitar yakni Kabupaten Blitar dan Kota Blitar. Bupati Blitar pada masa itu tetap dijabat oleh keturunan keraton namun masuk dalam kategori pegawai Hindia Belanda. Sedangkan Burgemeester (di kemudian hari disebut jabatan walikota) dipegang oleh Asisten Residen.
Dilansir dari buku Wong Blitar karya Herry Setyabudi, Sosrohadingero dalam dokumen Syarikat Islam disebut-sebut merupakan tokoh yang mendokung HOS Tjokroaminoto. Bukti dukungan itu bisa disaksikan dalam dokumen foto-foto saat penyelenggaraan Kongres CSI (Central Syarikat Islam) tahun 1914 di Blitar. Kongres tersebut mengusung jargon Zelfbestuur atau ide pemerintahan sendiri yang memang digaungkan oleh Tjokroaminoto.
Baca Juga : Paskibraka Terpilih Situbondo Latihan Perdana di Mapolres Situbondo
“Namun begitu, dukungan Sosrohadinegoro nampaknya tidak buta. Dalam arti, pada kasus fatal yang mengakibatkan ambruknya Syarekat Islam karena kasus Afdeling B, Blitar tidak terlibat. Untuk Syarekat Islam merah pun, Sosrohadinegoro selaku pemimpin Blitar tidak sedikitpun terlibat dalam peristiwa November 1926,” jelas Herry Setyabudi.
Setelah memimpin Kabupaten Blitar dengan masa yang cukup panjang, KPH Sosrohadinegoro wafat pada 4 September 1917. Jenazahnya dimakamkan di Pasarean Pangeranan Blitar, tempat dimana ayahnya KPH Warsokoesoemo (Bupati kedua Blitar) dimakamkan. Setelahnya tongkat kepemimpinan Kabupaten Blitar diteruskan oleh KPH Warsohadingrat, adik KPH Sosrohadinegoro dari lain ibu.
“Eyang Warsoekoesomo memiliki dua istri. Dari isteri pertama lahir KPH Sosrohadinegoro, Bupati Blitar ke III. Lalu dari isteri kedua yang dari Mangkunegaran, lahir KPH Warsohadingrat, Bupati Blitar ke IV,” terang Juru Kunci Pasarean Pangeranan, Harmono.
Dari keseluruhan makam di Pasarean Pangeranan, makam KPH Sosrohadinegoro konon adalah makam paling keramat. Konon menurut cerita, KPS Sosrohadinegoro adalah Bupati Blitar yang memiliki kesaktian luar biasa. Salah satu pusaka yang dimiliki adalah pecut samandiman. Kesaktian ini didapatkan dengan laku tirakat yang cukup berat. Bahkan konon salah satu laku tirakat yang dilakukan KPH Sosrohadinegoro adalah tidak boleh bersetubuh dengan perempuan. Konon laku tirakat ini membuatnya tidak menikah seumur hidup.
“Eyang Sosrohadinegoro ini tidak memiliki keturunan karena beliau tidak menikah seumur hidup,” pungkas Harmono.