JATIMTIMES- Kadipaten Mangkunegaran yang didirikan Pangeran Sambernyawa perlahan-lahan menjadi daerah paling maju di tanah Jawa. Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara IV adalah tokoh yang membawa Mangkunegaran di puncak kejayaan.
Di masa pemerintahannya, pamor Mangkunegaran bahkan meroket melebihi Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Baca Juga : Viral Kampung Miliarder Garut, Masyarakatnya Para Pengusaha Tas
Mangkunegara IV memiliki nama kecil Raden Mas Sudira. Ia lahir pada 3 Maret 1811. Ayahnya bernama KPH Adiwijaya I, putera Raden Mas Tumenggung Kusumadiningrat sedangkan ibunya adalah RA Sekeli, putri KGPAA Mangkunagara II. Mangkunegara IV naik tahta sebagai pemimpin Mangkunegaran pada 27 Januari 1853 menggantikan Mangkunegara III yang wafat.
Kadipaten Mangkunegaran sejak era kekuasaan Mangkuengara I (Pangeran Sambernyawa) mengambil kebijakan yang cukup berani. Mangkunegaran menjalin kerjasama dengan para pengusaha dari Eropa untuk menanam berbagai tanaman yang bisa menghasilkan keuntungan.
Kebijakan ini pada akhirnya membuat Jawa pada waktu itu menjadi surga bagi Hindia Belanda. Berbagai jenis tanaman diproduksi di Jawa yang membuat bangsa penjajah menjadi kaya raya. Mangkunegara IV adalah tokoh pembaharu kebijakan ini. Ia membuat sistem baru manajemen perkebunan dengan pola yang lebih modern dan menguntungkan penguasa pribumi.
Dengan kepintarannya, Mangkunegara IV membawa Mangkunegaran tampil sebagai kekuatan baru di bidang ekonomi. Ia mendirikan Pabrik Gula Colomadu dan Tasikmadu. Pabrik Gula Colomadu didirikan pada tahun 1861 di Malang Jiwan yang terletak di sebelah barat Mangkunegaran. Sedangkan Pabrik Gula Tasikmadu didirikan pada tahun 1871 di sebelah timur Mangkunegaran yakni di Kabupaten Karanganyar. Dalam menjalankan pabrik ini, Mangkunegara IV menerapkan pola manajemen ala Eropa. Pola yang sama juga diterapkan Mangkunegara IV untuk perkebunan kopi dan tanah-tanah yang dikuasainya.
Pabrik dan perkebunan milik Mangkunegaran benar-benar maju pesat dan berkembang menjadi perusahaan paling modern di Jawa pada waktu itu. Menariknya lagi, Mangkunegara IV selain memperkerjakan warga lokal juga memperkerjakan manajer non Jawa. Perusahaan-perusahaan milik Mangkunegaran benar-benar jadi perusahaan profesional setelah Mangkunegara IV perlahan-lahan menggantikan sistem apanese yang tradisional dengan sistem gaji. Dampak dari sistem manajemen ini benar-benar luar biasa, para pekerja hidup makmur dan produksi gula serta kopi dari Mangkunegaran berhasil menembus pasar Eropa dan internasional. Mangkunegaran pun berjaya dan kaya raya.
Di bawah kepemimpinan Mangkunegara IV, Kadipaten Mangkunegaran menjadi Negara kecil yang komplit dan paling modern di Jawa. Dikatakan komplit karena selain berdaya di bidang ekonomi, Mangkunegaran juga memiliki pasukan elit Legiun Mangkunegaran. Di masa itu, Legiun Mangkunegaran adalah pasukan tempur paling kuat di Asia Tenggara.
Semasa berkuasa, Mangkunegara IV juga dikenal sebagai pemimpin yang sangat memperhatikan pembangunan infrastruktur. Ini dibuktikan dengan ia ikut memprakarsai berdirinya Stasiun Solo Balapan sebagai bagian pembangunan jalur rel kereta api Solo –Semarang. Stasiun Balapan dihubungkan dengan stasiun-stasiun di titik-titik strategis, yakni Stasiun Purwosari, Sriwedari, dan Jebres. Stasiun-stasiun itu terhubungkan oleh rel-rel yang melewati tengah kota.
Mangkunegara IV adalah pemimpin yang luar biasa cerdas dan ikut memainkan peranan penting di bidang budaya dan agama. Selain mahir di urusan politik dan pemerintahan, Mangkunegara IV merupakan seorang penulis syair berbahasa Jawa yang produktif menghasilkan karya. Wedhatama (Kebijaksanaan Utama), menjadi karya puisinya yang paling terkenal. Karya puisi ini kemungkinan ditulis Mangkunegara IV pada akhir 1870-an.
Mangkunegara IV juga memerintahkan menulis kurang lebih 42 buku dan mencipatakan beberapa karya komposisi gamelan. Salah satu karya komposisinya yang terkenal adalah Ketawang Puspawarna.
Baca Juga : Mary Susilo Ungkap Sosok Prabowo di Mata Pensiunan TNI Lereng Kelud
Mangkunegara IV wafat pada tahun 1881 setelah 28 tahun berkuasa sebagai Adipati Mangkunegaran. Ia dimakamkan di Astana Girilayu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Lokasi makamnya tak jauh dari Astana Mangadeg, tempat Pangeran Sambernyawa dan kakeknya Mangkunegara II dimakamkan. Dalam perkembangannya, Astana Girilayu menjadi pemakaman bagi para adipati yang memimpin Mangkunegaran selanjutnya. Selain Mangkunegara IV, di Astana Girilayu juga dimakamkan Mangkunegara V, Mangkunegara VII, Mangkunegara VIII dan Mangkunegara IV. Sedangkan Mangkunegara VI dimakamkan di Astana Oetara, Kota Surakarta.
Dari keseluruhan makam di Astana Girilayu, makam Mangkunegara IV adalah makam yang paling mewah. Makam Mangkunegara IV, permaisuri dan putra berada di gedongan yang terlihat seperti sebuah rumah bangsawan dengan arsitektur bergaya eropa. Pusara makam pun terlihat paling besar dan megah dengan balutan lapisan marmer dari Romawi.
Sebagai informasi, Kadipaten Mangkunegaran adalah wilayah kadipatan bagian dari Dinasti Mataram Islam yang berdiri setelah penandatanganan Perjanjian Salatiga antara Sunan Pakubuwana III dengan Raden Mas Said di Salatiga pada tanggal 17 Maret 1757 silam. Penandatanganan perjanjian tersebut disaksikan oleh perwakilan Sultan Hamengkubuwana I dan VOC.
Dengan penandatanganan perjanjian ini, Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa diangkat sebagai adipati miji atau mandiri dengan wilayah kekuasaan Kedaung, Matesih, Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Pajang sebelah utara dan Kedu. Pangeran Sambernyawa adalah bangsawan terbuang dari Keraton Surakarta yang memberontak kepada keraton dan Belanda. Ia berjuang selama 16 tahun dan terlibat dalam 250 kali pertempuran.
Pangeran Sambernyawa menjadi adipati pertama Mangkunegaran dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I. Ia mendirikan istana yang berada di tengah-tengah Kota Surakarta. Istana penguasa Mangkunegaran disebut Pura Mangkunegara, lokasinya berada di sebelah utara Keraton Surakarta.
Pada awalnya Mangkunegaran merupakan kadipaten yang statusnya berada di bawah Keraton Surakarta. Pada 1757-1946, Kadipaten Mangkunegaran resmi bediri sendiri sebagai kerajaan otonom dengan wilayah cukup luas dan berhak memiliki tentara sendiri yang independen dari Kasunanan. Kota Solo pada akhirnya memiliki dua kerajaan yang sama-sama penerus Dinasti Mataram Islam.
Kadipaten Mangkunegaran saat ini sudah tak lagi memiliki wilayah kekuasaan, namun belum bubar. Setelah Indonesia merdeka, Mangkunegaran memiliki peran baru bagi bangsa ini yakni menjaga dan merawat kebudayaan. Peran baru ini sama dengan peran yang dijalankan Keraton Surakarta saat ini.