JATIMTIMES- Raden Ronggo Prawirodirdjo I menunjukkan kecakapan luar biasa sebagai bupati wedana yang memimpin Madiun selama beberapa dekade. Pasca Perang Giyanti, Madiun benar-benar menemukan kehidupan yang penuh kedamaian. Meski bukan asli Madiun, Ronggo yang seorang panglima perang itu dengan kharisma luar biasa berhasil merebut hati rakyat.
Ya, selama beberapa ratus tahun Madiun dipimpin oleh keturunan Pangeran Timur yang sangat dihormati rakyat Madiun. Sebelumnya agak sulit memang bagi rakyat setempat untuk menerima orang luar dari garis trah ini menjadi pemimpin tertinggi di Madiun, bahkan keturunan Bathoro Katong (Adipati pertama dan penyebar Islam di Ponorogo) pun tidak diterima jadi pemimpin di Madiun.
Baca Juga : Isak Tangis Selimuti Keberangkatan 204 CJH Kota Batu, Pj Wali Kota: Jaga Pola Makan dan Tidak Stres
Pangeran Timur, adalah bangsawan terhormat dari keluarga Kesultanan Demak yang menjadi bupati pertama Madiun di era Kesultanan Pajang.
Dari Retno Dumilah, putrinya yang dinikahi Panembahan Senopati, Pangeran Timur menurunkan tokoh-tokoh yang kemudian menjadi bupati di Madiun. Jalur suksesi Pangeran Timur ini runtuh setelah Raden Ronggo Prawirodirdjo I menggantikan Pangeran Mangkudipuro, bupati wedana Madiun terakhir keturunannya. Dan menariknya, sejak pertama kali dilantik Sultan pertama Yogyakarta menjadi bupati wedana Madiun, Raden Ronggo Prawirodirdjo I yang asli Sukowati (Sragen) itu menunjukkan cintanya yang luar biasa untuk Madiun. Dalam tulisan ini kita akan membahasnya, bagaimana Raden Ronggo dengan rakyat Madiun punya ikatan hubungan yang romantis.
Raden Ronggo adalah putra Kiai Ageng Derpoyudo, panglima perang Keraton Kartasura yang menghabiskan sisa hidupnya di Desa Majan Janti Kabupaten Karanganyar. Kecintaan Raden Ronggo yang luar biasa untuk Madiun itu mungkin terbentuk saat Perang Giyanti atau Perang Suksesi Jawa III.
Peperangan Suksesi Jawa III dimulai pada 11 Desember 1749 hingga 13 Februari 1755. Dalam perang tersebut, rakyat Mataram memberikan dukungan penuh kepada Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa) yang berjuang melawan kolonialisme Belanda dan sekutunya Keraton Kasunanan Surakarta.
Dalam perang ini, salah satu tokoh penting namun kurang terekspos yang menjadi andalan Mangkubumi adalah Kiai Wirosentiko (Pasca 1755 bernama Raden Ronggo Prawirosentiko, setelah 1758 bernama Raden Ronggo Prawirodirdjo I dan menjabat Bupati Wedana Madiun). Peran Kiai Wirosentiko di perang suksesi ini adalah sebagai panglima perang.
Peran ini diberikan Mangkubumi karena Wirosentiko adalah ahli perang yang diakui kehebatannya, dia dijuluki Sang Jagoan dari Sukowati. Orang kepercayaan Mangkubumi ini juga dikenal sebagai teman baik Pangeran Sambernyawa.
Sebuah catatan mengabarkan, saat koalisi Mangkubumi dan Sambernyawa pecah kongsi jelang 1755, Sambernyawa mengirimkan surat untuk sahabat seperjuangannya yakni Kiai Wirosentiko.
Beberapa kalangan yang mendalami sejarah Jawa menyebut tiga tokoh ini yakni Mangkubumi, Sambernyawa, dan Kiai Wirosentiko sebagai Three Musketeers dalam peperangan Suksesi Jawa III.
Sesuatu yang mungkin sedikit sekali diketahui orang, karena tokoh Kiai Wirosentiko mulai banyak disebut dalam catatan sejarah setelah berdirinya Kesultanan Yogyakarta. Three Musketeers ini adalah yang pertama, dimana pada Perang Jawa 1825-1830 kita mengenal Three Musketeers berikutnya yakni Pangeran Diponegoro, Sentot Ali Basyah Abdul Mustopo Prawirodirdjo dan Kiai Mojo.
Menariknya, dari nama-nama tokoh besar ini, Pangeran Diponegoro adalah cucu buyut Sultan Mangkubumi, sedangkan Sentot adalah cucu buyut Kiai Wirosentiko. Reinkarnasi darah perjuangan!
Jadi jelas kiranya tentang sekilas profil bupati Madiun ke-14 Raden Ronggo Prawirodirdjo I. Patut dipahami, peran besar Raden Ronggo Prawirodirdjo I dalam perang suksesi Jawa III ini hampir-hampir tidak diketahui orang. Padahal, peran besarnya diakui sendiri oleh dua pemimpin perang ini yang kelak menjadi raja-raja Jawa berikutnya dari Dinasti Mataram Islam, yakni Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwono I, pendiri Kesultanan Yogyakarta) dan Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa, kelak bergelar KGPPA Mangkunegara I dan mendirikan Kadipaten Mangkunegaran).
Sebagai panglima perang Giyanti, Raden Ronggo terlibat dalam serangkaian pertempuran besar selama delapan tahun. Salah satu serangan yang cukup besar itu adalah ketika pasukan Mangkubumi dan Sambernyawa menaklukkan Madiun dan Ponorogo.
Khusus Madiun, keberhasilan menaklukkan daerah ini mungkin saja menggoreskan kesan khusus bagi Ronggo, daerah yang dimasa depan menjadi wilayah kekuasaannya sebagai bupati wedana dan tempat peristirahatan terakhirnya.
Dilansir dari buku Samber Nyawa karya M.C Ricklefs, sejak tahun 1753 seluruh wilayah Mancanegara Timur telah menyerah kepada para pemberontak yang dipimpin Pangeran Mangkubumi. Sebuah serangan besar dalam penaklukkan ini adalah serangan ke Brang Wetan Gunung Lawu yakni Magetan, Ponorogo dan Madiun pada 30 September 1752. Sambernyawa kala itu menyerang Magetan dan Ponorogo dengan hasil yang sangat menggembirakan, berhasil menguasai dan menjarah kota serta membunuh R.Ad Suradiningrat Regen Ponorogo yang setia pada kompeni.
Mangkubumi dengan orang kepercayaannya Kiai Wirosentiko, memimpin pasukannya dan menduduki Madiun yang kala itu dalam keadaan sudah ditinggalkan. Serangan ofensif ini sangat mengagetkan pihak Belanda. Gubernur pertama VOC di pesisir timur laut Jawa Van Hohendorff mengamati bahwa dengan demikian para pemberontak “dengan satu pukulan berhasil menguasai dua distrik terpenting dan terpadat di pulau Jawa, Ponorogo dan Madiun”.
Penaklukkan barisan pemberontak atas lembah Sungai Madiun yang secara umum subur dan berpenduduk padat adalah sesuatu yang penting bagi Mangkubumi dan Wirosentiko. Di kemudian hari, Perjanjian Giyanti 1755 sepakat memasukkan Madiun menjadi bagian dari Kesultanan Yogyakarta yang dipimpin Mangkubumi (Hamengkubuwono I). Setelahnya, Mangkubumi pada 1758 menunjuk Raden Ronggo Prawirodirdjo I menjadi bupati wedana Madiun menggantikan Pangeran Mangkudipuro yang ketahuan lebih memihak Kasunanan Surakarta.
Baca Juga : Manchester City Juara, Pemainnya Diajak Ucapkan Alhamdulillah
Penaklukan kelompok pemberontak atas Madiun itu sangat mungkin menjadi peristiwa yang memberikan kedekatan hati Wirosentiko dengan rakyat Madiun. Setelah penaklukkan ini, banyak rakyat Madiun yang kemudian ikut serta dalam Perang Giyanti bersama Mangkubumi dimana Wirosentiko menjadi panglima perang dan kepercayaan sang pangeran.
Sehari setelah menaklukkan Madiun, Mangkubumi bersama panglima perangnya Kiai Wirosentiko bergerak menuju selatan ke arah Ponorogo. Babad Giyanti mengatakan bahwa pada tahap ini pasukan Mangkubumi terdiri atas 2.800 kavaleri dan 4.000 infanteri. Di Kota Ponorogo, Mangkubumi disambut dengan megah oleh Sambernyawa dan pasukannya.
Tembakan penghormatan dengan meriam dan senapan, permainan orkestra gamelan, dan tari bedhaya menyambut sang raja pemberontak. Mangkubumi dengan segera mendirikan istananya di kubu pertahanan di Ponorogo, dan turnamen-turnamen Sabtu diadakan.
Keberhasilan menaklukkan Brang Wetan Gunung Lawu ini pada perkembangannya disambut baik oleh rakyat Madiun. Laporan menyebutkan, banyak rakyat Madiun yang kemudian ikut serta dalam perjuangan Mangkubumi, Sambernyawa dan Kiai Wirosentiko dalam Perang Suksesi Jawa III. Rakyat Madiun lebih senang Madiun diperintah Mataram dibawah Pangeran Mangkubumi yang senior, cakap dan berkharisma dibanding Raja Surakarta Pakubuwono III yang lemah dan jadi wayang VOC.
Puncak dari perang yang melelahkan ini adalah Perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Perjanjian ini sepakat memecah Mataram menjadi dua kerajaan, Kasunanan Surakarta yang dipimpin Pakubuwono III dan kerajaan baru Kesultanan Yogyakarta yang dipimpin Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengkubuwono I. Kiai Wirosentiko ikut mendampingi Mangkubumi dalam perundingan ini di Desa Giyanti. Desa Giyanti saat ini bernama Desa Jantiharjo dan masuk dalam wilayah Kecamatan Matesih, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.
Negara baru Kesultanan Yogyakarta dengan warisan spirit perjuangan Sultan Hamengkubuwono I dan Raden Ronggo Prawirodirdjo I yang anti bangsa penjajah, kelak kemudian hari melahirkan tokoh-tokoh revolusioner yang kemudian menjadi pembaharu peradaban menuju kemerdekaan bangsa Indonesia. Anak cucu Kesultanan Yogyakarta dari garis keturunan Mangkubumi dan Prawirodirdjan (ada politik pernikahan antara dua tokoh ini) itu tampil sebagai ksataria bangsa dengan meneruskan perjuangan leluhurnya melalui perang. Para revolusioner sejati itu antara lain Raden Ronggo Prawirodirdjo III (bupati wedana Madiun), Pangeran Diponegoro (pemimpin Perang Jawa 1825-1830), Sentot Ali Basyah Abdul Mustopo Prawirodirdjo (panglima perang Diponegoro) dan Sultan Hamengkubuwono IX.
Khusus bagi Madiun, wilayah ini menjadi penting karena di kemudian hari rakyat Madiun atas perintah Raden Ronggo Prawirodirdjo I ikut serta membangun Keraton Yogyakarta dan Taman Sri. Bupati Wedana Madiun Raden Ronggo mempersiapkan kelengkapan pembangunan Taman Sari sejak 1758 sampai dengan 1765/9. Pembangunan Taman Sari berlangsung satu dasawarsa lebih dengan kontribusi tangan dan tenaga rakyat Madiun.
Sebagai bentuk komitmen berdirinya Negara baru di tanah Jawa Kiai Wirosentiko yang bergelar Raden Ronggo Prawirodirdjo I juga menyumbangkan pendopo rumahnya untuk diboyong ke Keraton Yogyakarta. Pendopo sumbangan Raden Ronggo itu dikenal sebagai Bangsal Kamandungan yang merupakan bangsal tertua di Keraton Yogyakarta. Keagungan bangsal ini hingga kini masih bisa disaksikan dan tidak banyak mengalami perubahan.
Menurut riwayatnya, pendopo bersejarah dari Bangsal Kamandungan itu diboyong dari rumah Raden Ronggo Prawirodirdjo I di Desa Karangnongko, Kabupaten Sragen atau yang dahulu bernama Sukowati. Saat meletus Perang Suksesi Jawa III, konon rumah Raden Ronggo ini pernah menjadi tempat tinggal Pangeran Mangkubumi (kemudian bergelar Sultan Hamengkubuwono I).
Selain ahli perang, Raden Ronggo Prawirodirdjo I ternyata juga adalah seorang arsitek. Selain pembangunan Taman Sari, Hemengkubuwono I juga meminta Raden Ronggo Prawirosentiko memimpin pembangunan Benteng Baluwarti yang awalnya hanya pagar dari kayu.
Setelah 29 tahun mengabdikan diri dalam pemerintahan kesultanan, pada usia yang lanjut sekitar tahun 1784, Raden Ronggo Prawirodirdjo I jatuh sakit dan kemudian wafat di Istana Kranggan.
Jenazah Raden Ronggo Prawirodirdjo I tidak dimakamkan di Imogiri maupun Kotagede Yogyakarta. Sultan Hamengku Buwono I mengeluarkan perintah agar jenazah Raden Ronggo Prawirodirdjo I dimakamkan di Desa Taman yang letaknya sebelah timur Kranggan. Desa itu kini dikenal dengan nama Kelurahan Taman yang masuk wilayah Kecamatan Taman, Kota Madiun.
Sejak saat itu, Desa Taman di Madiun dikukuhkan Sultan pertama Yogyakarta sebagai desa perdikan. Desa itu diberikan satu otonomi yang cukup luas. Di lokasi itu dibangun sebuah masjid yang kini dikenal sebagai Masjid Kuno Taman. Sultan kemudian memerintahkan agar Desa Perdikan Taman dipimpin seorang kiai sebagai penguasa. Seorang kiai pemimpin Desa Perdikan Taman kemudian diberi gelar Kyai Raden Misbach.