JATIMTIMES - Pamor Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai daerah tujuan wisata telah mendunia. Pamor wisata Kota Gudeg terangkat berkat warisan sejarah yang hingga kini tetap terawat dengan baik. Ya, warisan sejarah masa lampau masih bisa ditemukan dengan utuh di Yogyakarta.
Selain Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, berwisata menikmati warisan sejarah di Jogja, traveller bisa datang ke Kotagede. Di bulan suci Ramadan seperti ini, salah satu destinasi yang direkomendasikan untuk dikunjungi adalah Masjid Agung Kotagede atau juga biasa disebut Masjid Gedhe Mataram. Lokasi masjid ini berada tepat di samping makam-makam raja Mataram Islam di Kotagede.
Baca Juga : Bisa Berkemah hingga Memancing, Berikut Rute Menuju Pantai Kesirat
Sebagai informasi, Kasultanan Mataram Islam memiliki dua pemakaman raja-raja. Pertama di Kotagede dan kedua di Imogiri.
Di Kotagede, dimakamkan banyak tokoh. Di antaranya Panembahan Senopati (raja pertama Kasultanan Mataram), Ki Ageng Pamanahan (ayah Panembahan Senopati), Joko Tingkir/Sultan Hadiwijaya (raja Kasultanan Pajang), Retno Dumilah (bupati kedua Madiun, Permaisuri Panembahan Senopati), Ki Juru Martani (patih pertama Kasultanan Mataram), Panembahan Hanyakrawati (raja kedua Kasultanan Mataram) dan Sri Sultan Hamengkubuwono II (raja kedua Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat).
Bangunan masjid ini pasti akan dilewati oleh traveller dan peziarah yang hendak menuju kompleks pemakaman raja-raja Mataram di Kotagede. Bangunan masjid ini berbentuk limasan. Cirinya terdapat pada atap yang berbentuk limas. Ruangannya terbagi dua yakni inti dan serambi.
Masjid Gedhe Mataram didirikan sejak Ki Ageng Pamanahan membuka Alas Mentaok. Alas Mentaok diberikan Sultan Hadiwijaya sebagai hadiah setelah Ki Ageng Pamanahan dan putranya, Danang Sutawijaya, berhasil membunuh Arya Penangsang. Dalam perkembangannya, masjid ini selesai dibangun pada 1589 atau pada akhir abad ke-16 dan menjadi masjid tertua di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Perdikan Mentaok berkembang pesat dan di kemudian hari menjadi kerajaan besar, yaitu Kasultanan Mataram dengan Panembahan Senopati (Danang Sutawijaya) menjadi raja yang pertama.
Masjid Agung Kotagede selain menjadi pusat dakwah Islam, juga menjadi simbol budaya. Selain fungsinya sebagai tempat ibadah kaum Muslim, Masjid Agung Kotagede merupakan bagian dari konsep catur gatra tunggal atau empat kesatuan, yakni keraton, masjid, alun-alun, dan pasar.
Masjid Agung Kotagede juga menjadi simbolisasi akulturasi budaya di era Mataram Islam. Beberapa jejak budaya Islam, Jawa, Hindu, dan China bisa ditemukan pada tata bangunan masjid yang telah berusia berusia ratusan tahun tersebut.
Tahun berganti abad. Demikian pula setelah ibu kota Kerajaan Mataram Islam berpindah tempat dari Kotagede ke tempat lain, Masjid Agung Kotagede tetap ada. Bahkan masjid ini kokoh berdiri hingga kini sebagai tempat ibadah umat Islam. Masjid ini juga menjadi daya tarik wisatawan yang berkunjung ke Daerah Istimewa Yogyakarta hingga saat ini.
“Masjid Agung Kotagede ini berdiri sejak Mataram Islam berdiri. Dibangun sejak Ki Ageng Pamanahan yanv hijrah dari Pajang dan membuka Alas Mentaok,” ungkap Endrimasto, abdi dalem Karaton Kasunanan Surakarta. Endri adalah abdi dalem yang bertugas di komplek pemakaman raja-raja Mataram di Kotagede.
Dijelaskan Endri, saat perjalanan hijrah menuju Hutan Mentaok, Ki Ageng Pamanahan kala tiba di Prambanan bertemu dengan etnis Hindu. Setelah berinteraksi dan bercengkrama, banyak etnis Hindu yang ikut Ki Ageng ke Hutan Mentaok. Kebersamaan dan toleransi cukup tinggi hingga akhirnya etnis Hindu membantu Ki Ageng Pamanahan membangun Masjid Agung Kotagede.
Baca Juga : Bisa Kendaraan Pribadi Maupun Angkutan Umum, Berikut Rute Menuju Kalisuci Cave Tubing
“Pembangunan masjid kemudian banyak dibantu Umat Hindu. Salah satu yang sangat terlihat adalah pintu masuk Masjid Gedhe Mataram Kotagede yang berwujud pura. Dalam pembangunannya, umat Islam membangun masjidnya, sementara umat Hindu membangun pagar masjid. Konsep itu dulu yang mengajarkan Sunan Kalijaga. Dan bentuk bangunan ini dipertahankan hingga saat ini,” terangnya.
Di awal pembangunannya, struktur bangunan masjid awalnya masih berupa langgar. Pembangunan kemudian dilanjutkan oleh anak Ki Ageng Pamanahan yakni Panembahan Senopati yang merupakan raja pertama Kerajaan Mataram Islam. Di masa Panembahan Senopati inilah langgar yang sederhana itu kemudian dibangun menjadi Masjid Agung Kotagede.
Saat masih hidup, Panembahan Senopati berpesan agar bentuk bangunan Masjid Agung Kotagede tidak diubah sepanjang zaman. Senopati mengingatkan dengan tegas mulai dari masjid hingga gapura masjid yang berbentuk pura harus tetap dipertahankan oleh penerusnya.
“Tidak boleh ada yang diubah. Ini pesan dari raja Mataram Islam pertama yakni Kanjeng Panembahan Senopati. Dan bangunan yang ada hingga saat ini benar-benar dipertahankan bentuknya. Terutama pintu gerbang bagian utara yang belum pernah melalui tahap renovasi. Bangunan tidak boleh diubah. Malaupun boleh, itu diperbaiki,” lanjut Endri.
Setelah masa Panembahan Senopati wafat, Masjid Agung Kotagede tercatat mengalami dua kali era pembangunan. Pertama di masa kepemimpinan Sultan Agung (raja ketiga Kasultanan Mataram). Selanjutnya Masjid Gedhe Mataram pernah direnovasi oleh Raja Keraton Kasunanan Surakarta Sri Susuhunan Pakubuwono X.
Bentuk bangunan yang masih asli membuat Masjid Agung Kotagede benar-benar terlihat klasik. Di halaman masjid tampak sebuah prasasti setinggi 3 meter. Prasasti tersebut merupakan pertanda bahwa Raja Surakarta Sri Susuhunan Pakubuwono X pernah merenovasi masjid ini. Prasasti itu berbentuk bujur sangkar. Dan di bagian puncaknya terdapat lambang Keraton Kasunanan Surakarta. Sebuah jam diletakkan di sisi selatan prasasti sebagai acuan waktu salat.
“Ada perbedaan bagian masjid yang dibangun oleh Sultan Agung dan Paku Buwono X. Perbedaan itu terdapat pada bagian tiangnya. Tiang yang dibangun oleh Sultan Agung berbahan kayu. Sementara tiang yang dibangun Paku Buwono X berbahan besi,” pungkas Endri.