JATIMTIMES - Tantangan krisis iklim telah mendorong negara-negara di dunia untuk melaksanakan komitmen upaya menurunkan emisi gas rumah kaca. Termasuk Indonesia, yang masih butuh upaya untuk mengoptimalkan kekayaan alam, kearifan lokal dan karbonnya dalam menyejahterakan rakyatnya.
Sebagai upaya mendukung hal itu, Yayasan Upaya Indonesia Damai (UID) menginisiasi diskusi tentang integrasi konsep sumber daya alam (natural capital), masyarakat (communities), dan karbon (carbon) atau NCCC, Rabu (22/2).
Baca Juga : Menkeu Tanggapi soal Anak Pejabat Pajak yang Jadi Pelaku Penganiayaan Putra Pengurus Ansor
Gelaran diskusi ini juga sebagai pengingat bagi seluruh pihak. Khususnya, agar memanfaatkan ketiga unsur khas Indonesia tersebut sebagai upaya mitigasi perubahan iklim.
Diskusi ini diadakan seiring dengan peluncuran sebuah White Paper yang mengupas tentang konsep NCCC di UID Bali Campus, Kura Kura Bali, Serangan, Bali.
Para peserta diskusi terdiri dari perwakilan pemerintah, akademisi, lembaga swadaya masyarakat, lembaga donor, dan pihak-pihak terkait yang mendukung komitmen Indonesia untuk mengatasi perubahan iklim.
Adapun komitmen Indonesia untuk mengatasi perubahan iklim secara resmi dimulai sejak Konferensi Para Pihak (COP) ke-15 pada 2009 lalu. Hal ini dituangkan ke dalam janji Nationally Determined Contribution (NDC) untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29% dengan upaya domestik dan 41% dengan dukungan internasional pada tahun 2030.
Pada 2021, atas masukan dari berbagai pihak, Indonesia telah memodifikasi dokumen NDC-nya. Terdapat beberapa penyesuaian merujuk dengan RPJMN 2020-2024 dan Visi Indonesia Emas 2045.
Sejumlah inisiatif sudah dijalankan untuk mendukung komitmen Indonesia tersebut. Namun terdapat kebutuhan sebagai penunjuk arah, pengingat, dan dasar pemikiran. Utamanya yang mengintegrasikan praktik pelestarian dan sudah mengakar di masyarakat lokal di berbagai wilayah Indonesia.
Dalam sambutannya, Tantowi Yahya, Ketua Umum Yayasan UID menuturkan, diskusi tentang NCCC hari ini bertujuan untuk menjelaskan secara otoritatif konsep NCCC sebagai kompas filosofis dan panduan kebijakan yang dapat disepakati antara publik, swasta, dan pemerintah.
Acara ini juga melibatkan masyarakat sipil untuk membahas NCCC sebagai White Paper yang dapat diarusutamakan sejalan dengan SDGs.
Lebih dalam lagi, White Paper NCCC ini mengompilasi data berbasis hasil survei lapangan. Termasuk diskusi lintas sektor tingkat makro. Kemudian konsolidasi nilai-nilai dari literatur negara sebagai metode untuk menelusuri dan memperkaya konteks serta perspektif rekomendasi-rekomendasi praktik lapangan yang berkelanjutan.
White Paper ini juga menampilkan beberapa praktik di lapangan yang sudah menerapkan konsep NCCC. Diantaranya di Dufa-dufa, Ternate, Maluku Utara; Tawangargo, Malang, Jawa Timur; Pasir dan Sekubang, Mempawah, Kalimantan Barat; dan Nipah Panjang dan Medan Mas, Kubu Raya, Kalimantan Barat.
“Tujuan dari White Paper ini adalah sebagai panduan untuk semua pelaku kepentingan terkait dari publik, swasta, dan pemerintah dalam memperkuat hubungan antara unsur alam dan manusia. Kedua aspek tersebut perlu berjalan dengan dengan seimbang demi mencapai target pembangunan berkelanjutan. Selain itu, objektif lain dari White Paper ini adalah untuk menyediakan sebuah kerangka kerja dalam memandu proses pengelolaan sumber daya alam, serta upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim,” ujar Cininta Pertiwi, Strategy, Learning, and Knowledge Curator of Dala Institute sekaligus penyusun NCCC White Paper.
Sementara itu, Irfan Darliazi Jananto, Perwakilan Direktorat Lingkungan Hidup Bappenas sepakat dengan pentingnya unsur community dalam melindungi alam.
“Pengembangan social capital adalah penentu dalam melindungi dan membuat ekosistem kita berkelanjutan. White Paper ini mengingatkan kita semua bahwa segala bentuk aktivitas ekonomi yang berhubungan dengan sumber daya alam, komunitas, dan karbon tidak boleh menyeleweng dari hukum dan tradisi lokal yang kerap dianut selama beratus-ratus tahun demi melindungi alam di sekitar para penduduk,” ungkapnya.
Selain itu itu, Andhyta Firselly Utami, Ekonom Lingkungan Hidup dan Co-Founder Think Policy, juga turut hadir sebagai panelis pada diskusi tersebut. Dia mengatakan bahwa untuk mendorong NCCC diperlukan perubahan paradigma pembangunan. Dimana perlu adanya perubahan paradigma sosial yang saat ini masih sangat mengedepankan pertumbuhan ekonomi.
“Banyak orang terpaku dengan angka Produksi Domestik Bruto (PDB), pertumbuhan ekonomi jangan sampai menjadi indikator tunggal yang melupakan dampak negatif dari industrialisasi yang tidak terkontrol,” jelasnya.
Lebih lanjut Andhyta menjelaskan kombinasi yang dibutuhkan adalah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dengan emisi serendah mungkin.
Baca Juga : Banyak Memakan Korban, Wabup Subandi Minta Jalan Berlubang Dihotmix
“Sudah sepantasnya kecepatan pertumbuhan ekonomi tidak melampaui ketersediaan sumber daya alam bumi kita. Memang, biasanya diperlukan momentum khusus buat sebuah perubahan paradigma atau konsep baru untuk bisa diadopsi masyarakat luas. Seperti yang terjadi saat peristiwa Great Depression di Amerika Serikat pada 1929 yang berakhir dengan perkenalan konsep GDP oleh ekonom Simon Kuznets,” tambahnya.
Deputi Direktur SDGs Center Universitas Padjadjaran, Ahmad Komarulzaman, menyampaikan bahwa peran pemimpin sangat penting untuk mendorong sebuah konsep pembangunan. Momentum paska pandemi dapat dijadikan sebagai saat yang tepat untuk melakukan sosialisasi NCCC.
“Saat ini momentum post COVID sedang menahan pembangunan dalam waktu yang cukup lama dan semua orang punya kesempatan untuk berpikir ulang untuk konsep pembangunan, hal lainnya SDGs ini mau selesai dan sekarang sudah ada diskusi post 2030. Ketika pembicaraan SDGs ini selesai, NCCC bisa punya panggung sendiri,” tuturnya.
Menutup diskusi, Prof. Jatna Supriatna, Chairman of Research Center for Climate Change, Universitas Indonesia menekankan kembali bahwa arahan strategi Indonesia dalam mendorong keberlanjutan dan melindungi keanekaragaman hayati harus berbeda dengan negara-negara lain.
“Semua jargon-jargon seperti carbon credit, carbon trading, social capital, dan sebagainya harus lebih dibumikan dan dijabarkan secara lebih sederhana. Seperti yang dipaparkan di White Paper ini, agar bisa menjangkau masyarakat seperti petani atau nelayan, dan bukan hanya di tingkat pembuat kebijakan saja," ujarnya.
"Yang paling bisa memulai perubahan positif adalah masyarakat lokal yang selalu berada di lapangan. Selain itu, oleh karena budaya di suatu daerah di Indonesia bisa sangat berbeda dengan daerah lainnya. Seperti Bali dan Papua, kekentalan tradisi adat dan hubungannya dengan alam bisa sangat berbeda. Dan itu perlu diperhatikan ketika ingin mengadvokasikan prinsip seperti NCCC ke suatu daerah yang masih menganut erat adat tersebut," pungkas Prof. Jatna.
Tentang Yayasan UID
Yayasan Upaya Indonesia Damai (UID) memfasilitasi kepemimpinan di tiga sektor yang menciptakan dan mengimplementasikan solusi berkelanjutan untuk menjawab tantangan-tantangan dihadapi di tingkat regional.
UID didirikan pada 2003 sebagai organisasi nirlaba bersama para pemimpin Indonesia dari sektor bisnis, pemerintah, dan masyarakat sipil.
Yayasan ini bercita-cita untuk menginspirasi para pimpinan di tiga sektor. Yakni untuk berkolaborasi, berkreasi, dan melaksanakan sebuah rencana aksi yang mendorong identitas nasional baru dan positif untuk Indonesia, dengan mengandalkan keberagamannya yang kuat.
Visi UID adalah terwujudnya Indonesia yang damai dan bersatu melalui sinergi masyarakat Indonesia dan internasional.
Sedangkan misi UID adalah sebagai penyedia platform dan bertindak sebagai katalis. Tujuannya, selain untuk membangun kepercayaan, juga sebagai bentuk bekerja sama antara sektor bisnis, sektor publik, dan masyarakat melalui proses pembelajaran guna masa depan bersama yang berkelanjutan.
Tujuan UID adalah membangun rasa percaya, membangun kapasitas pemimpin, dan mempromosikan pembangunan.