JATIMTIMES- Solo Raya sebagai bekas pusat pemerintahan Kasultanan Mataram menyimpan banyak makam-makam keramat. Salah satunya adalah Astana Magadeg dan Astana Girilayu di Kecamatan Matesih Kabupaten Karanganyar.
Dua pesarean ini merupakan makam para pemimpin tertinggi Puro Mangkunegaran, kadipaten pecahan dari Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Baca Juga : PLN Siap Jadi Tuan Rumah PLN Mobile Proliga di Malang
Tokoh paling terkenal yang beristirahat di Matesih adalah Pangeran Sambernyawa atau KGPAA Mangkunegara I. Pangeran Sambernyawa yang lahir dengan nama Raden Mas Said adalah pendiri Puro Mangkunegaran. Setelah wafat Pangeran Sambernyawa dimakamkan di Astana Mangadeg yang terletak di Desa Karang Bangun, Kecamatan Matesih, Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah.
Astana Mangadeg yang berada tepat di lereng Gunung Lawu. Berada di ketinggian sekitar 750 meter, tempat ini memiliki udara yang sejuk. Tempat ini dikelilingi pepohonan rimbun yang asri dan alami.
Selain Mangkunegara I, di Astana Mengadeg juga bersemayam jasad Mangkunegara II dan Mangkunegara III. Terdapat juga makam kerabat-kerabat Puro Mangkunegaran yang membantu perjuangan Pangeran Sambernyawa melawan VOC dan kemudian mendirikan Kadipaten Mangkunegaran.
Dari banyak tokoh yang dimakamkan di Astana Mangadeg, Mangkunegara II merupakan tokoh lain yang cukup banyak dikunjungi peziarah selain Mangkunegara I.
Sebagai penerus tahta, Adipati kedua Kadipaten Mangkunegaran ini memiliki banyak sumbangan penting untuk kebesaran Mangkunegaran sebagai bagian dari dinasti Kasultanan Mataram.
Di tulisan kali ini, JATIMTIMES akan mengajak pembaca untuk sedikit mengulas lebih tajam tentang kiprah dari Mangkunegara II.
Cucu dari Mangkunegara I itu terlahir dengan nama Raden Mas Sulama. Lahir pada 5 Januari 1768, ayahnya bernama Pangeran Arya Prabumijaya I, putera dari Mangkunegara I. Sedangkan ibunya adalah Kanjeng Ratu Alit, putri dari Sri Susuhunan Pakubuwono III. Raden Mas Sulama naik tahta sebagai penguasa kedua Kadipaten Mangkunegaran dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara II.
Sebelum menjadi penguasa dan bergelar Mangkunegara II, Raden Mas Sulama setelah dewasa bergelar bergelar Pangeran Surya Mataram dan Pangeran Surya Mangkubumi. Nama Pangeran Surya Mataram sempat membuat panik Belanda disebabkan nama itu memuat unsur keagungan yang dapat memancing kekeruhan stabilitas tiga kerajaan; Kasultanan-Kasunanan-Mangkunegaran.
Belanda perlu khawatir karena nama Pangeran Surya Mataram belum pernah ada waktu itu dan terasa betul unsur unsur keagungan nya yang bakal mengundang rasa curiga bagi pihak Keraton/Kerajaan yang lain.
Rasa curiga bagi pihak lain mengundang ancaman perselisihan dan perang terbuka yang akan menyeret kembali Belanda kedalam peperangan. Belanda tidak ingin mengulang kembali keterlibatannya dalam perselisihan dan perang yang berlarut larut.
Begitupun setelahnya, pergantian nama dan gelar Pangeran Surya Mataram menjadi Pangeran Surya Mangkubumi membuat peralihan dari kepanikan Belanda menjadi mengundang kemarahan Sri Sultan Hamengku Buwono I dari Yogyakarta. Sri Sultan Hamengku Buwono I mengajukan protes lewat patihnya karena nama Pangeran Mangkubumi adalah nama untuk dirinya sebagai anggota tertua yang masih hidup dalam dinasti Mataram.
Pemerintahan Mangkunegara II berlangsung selama kurang-lebih 40 tahun (1796-1835) dan terlibat dalam persaingan politik penting. Pasukan Mangkunegaran di bawah perintahnya terlibat dalam Perang Srondol membantu pasukan gabungan Prancis-Belanda melawan Inggris untuk menguasai Nusantara, penyerangan Inggris ke Yogyakarta tahun 1812, serta Perang Jawa membantu Kesultanan Yogyakarta melawan pasukan Diponegoro (1825 - 1830).
Mangkunegara II memerintah dengan banyak menghadapi tantangan. Diantaranya VOC bubar digantikan Pemerintahan Hindia Belanda, kemudian digantikan dengan pemerintahan Perancis selanjutnya digantikan oleh pemerintahan Inggris di bawah Raffles. Konflik politik kemudian berlanjut dengan berkobarnya perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro dari Kasultanan Yogyakarta.
Di tengah kondisi yang tidak menentu, Mangkunegara II melakukan serangkaian kebijakan yang cerdas dan berani. Di antaranya untuk memperkuat kedudukan Mangkunegaran, Mangkunegara II membentuk Legiun Mangkunegaran, pasukan tempur dengan kekuatan 1250 orang prajurit.
Mangkunegara II adalah komandan Legiun Mangkunegaran berpangkat kolonel, pangkat tertinggi di keprajuritan Mangkunegaran. Legiun Mangkunegaran, adalah militer tempur terkuat di Asia Tenggara pada masanya, meskipun Kadipaten Mangkunegaran hanya sebuah kerajaan kecil di Jawa.
Ya, jauh sebelum NKRI dan TNI terbentuk, Nusantara di zaman kolonial Belanda pernah memiliki legiun tempur terkuat di wilayah Asia Tenggara. Nama pasukan tempur itu adalah Legiun Mangkunegaran, pasukan militer milik dari Praja Mangkunegaran, kadipaten otonom yang merupakan pecahan dari Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Dalam buku ‘Legiun Mangkunegaran, 1808-1942: Tentara Jawa-Perancis Warisan Napoleon Bonaparte’ dituliskan, Legiun Mangkunegaran adalah organisasi militer ala Eropa, tepatnya militer Prancis yang merupakan institusi modern di Asia pada zamannya yakni awal abad ke-19.
Sejarah Praja Mangkunegaran seiring kemunculan pendirinya yakni Mangkunegara I yang dikenal sebagai Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa. Sejarah Legiun Mangkunegaran berjalan paralel dengan Praja Mangkunegaran.
Pangeran Sambernyawa adalah tokoh legendaris dari Dinasti Mataram Islam, dia berperang melawan Belanda selama 16 tahun, terlibat dalam 250 kali pertempuran dan hebatnya lagi tidak pernah sekalipun mengalami kekalahan dalam perang.
Pasukan gerilya yang berjuang selama belasan tahun bersama Pangeran Sambernyawa inilah yang menjadi embrio Legiun Mangkunegaran. Setelah Pangeran Sambernyawa menjadi pemimpin Mangkunegaran pada tahun 1757, pasukan tersebut menjadi satuan militer Praja Mangkunegaran.
Sebanyak 12 kesatuan yang berpengalaman bergerilya tetap dipertahankan dan ditambah dengan 22 unit infanteri, kavaleri dan artileri yang terdiri dari masing-masing 44 orang.
Setelah Mangkunegara I wafat, satuan militer itu terus dikembangkan oleh penerusnya Mangkunegara II. Mangkunegara II adalah pemimpin Mangkunegaran yang visioner. Pada tahun 1808, Mangkunegara II membentuk Legiun Mangkunegaran.
Pembentukan ini, Mangkunegara II terinspirasi dari pasukan modern Grande Armee, angkatan darat terkuat di dunia saat itu yang dipimpin oleh Napoleon Bonaparte. Nama legiun juga mengadopsi dari organisasi militer Perancis yakni Legionnaire atau Legiun yang berarti pasukan bala tentara. Tidak hanya nama, Legiun Mangkunegaran juga mengadopsi militer Perancis baik secara fisik, persenjataan, taktik dan organisasi.
Baca Juga : Ratusan Mahasiswa FT UB yang Keracunan Membaik, KKM ke 43 Selesai Lebih Awal
Menariknya lagi, selain mengadopsi gaya dan pola militer Perancis, Legiun Mangkunegaran juga memadukan budaya barat dengan budaya Jawa. Itu nampak dari cara berbusana para serdadu dan perwira Legiun Mangkunegaran yang menggunakan seragam gabungan militer Perancis dengan Jawa.
Penggunaan senjata juga memadukan antara senjata setempat dengan senjata modern. Hebatnya lagi, strategi perang pun memadukan antara strategi militer Barat dengan strategi perang Pangeran Sambernyawa.
Legiun Mangkunegaran mendapatkan beragam pelatihan kemiliteran di sekolah militer Soldat Sekul, agar mahir menggunakan berbagai senjata tajam berupa keris, pedang, tombak, sumpit, dan panah. Perpaduan dua kebudayaan pun tampak pada cara berbusana para serdadu dan perwiranya, yang mengenakan seragam gabungan militer Perancis dan Jawa.
Selain itu, Legiun Mangkunegaran juga dilatih agar piawai menggunakan berbagai senjata modern, seperti senjata api maupun artileri. Legiun Mangkunegaran juga dilatih untuk memiliki mobilitas tinggi dengan menggabungkan unsur infanteri, kavaleri, dan artileri, sehingga mampu menghadapi perang jangka panjang maupun perang gerilya.
Anggota Legiun Mangkunegaran tidak hanya terbatas bagi kaum laki-laki, tetapi juga kaum perempuan. Bahkan pasukan perempuan bersenjatanya juga mahir memainkan alat musik.
Di ranah struktural, Legiun Mangkunegaran memiliki dua perwira senior berpangkat mayor, empat letnan ajudan, sembilan kapitan, delapan letnan tua dan muda, bintara sebanyak 32 sersan, tamtama sebanyak 62 kopral, flankier 900 orang, dragonder (dragoon) 200 orang, dan steffel 50 orang.
Mereka menggunakan seragam topi syako dan jas hitam pendek bagi bintara dan prajurit. Perwira memakai topi syako, jas hitam, dan celana putih.
Legiun Mangkunegaran adalah satuan militer yang ditempa dengan budaya Barat dan Jawa. Di masa jayanya, kekuatan Legiun Mangkunegaran berjumlah 1.150 prajurit. Seribuan prajurit tersebut terbagi dalam 800 prajurit infanteri, 100 prajurit penyerbu, 200 prajurit kavaleri (berkuda), dan 50 prajurit artileri (meriam).
Pasukan ini pun turut mengawal Mangkunegara dan menyambut tamu kehormatan. Sama seperti kakeknya Pangeran Sambernyawa, Mangkunegara II sangat benci dengan Belanda.
Tetapi demi pembangunan militer yang kuat, untuk sementara waktu Mangkunegara II memilih mendahulukan kepentingan Praja Mangkunegaran yang dia pimpin dengan jalan mengundang perwira-perwira militer Belanda, Prancis dan Inggris yang profesional untuk melatih Legiun Mangkunegaran. Alasan kuat Mangkunegara II membentuk Legiun Mangkunegaran adalah sebagai alat legitimasi bertahta dan mengamankan diplomasi Praja Mangkunegaran.
Di Soldat Sekul Legiun Mangkunegaran juga dilatih beragam pelatihan kemiliteran. Pasukan elite ini dilatih untuk mahir menggunakan berbagai senjata tajam berupa keris dan pedang. Legiun Mangkunegaran juga dilatih untuk piawai menggunakan tombak, sumpit dan panah serta senjata api maupun artileri (meriam).
Pasukan ini dilatih untuk memiliki mobilitas tinggi dengan menggunakan kuda sehingga unsur infanteri, kavaleri dan artileri tergabung di dalamnya. Legiun Mangkunegaran juga dilatih untuk mampu menghadapi perang jangka panjang maupun perang gerilya.
Beragam pelatihan itu membuat Legiun Mangkunegaran tampil sebagai militer yang tangguh. Sejak didirikan tahun 1808, Legiun Mangkunegara terlibat dalam berbagai pertempuran, seperti Perang Napoleon di Asia sebagai bagian dari pasukan Perancis-Belanda melawan pasukan Inggris-Sepoy (India) tahun 1811, perang menumpas bajak laut di Bangka (1819-1820), Perang Jawa (1825-1830), Perang Aceh (1873-1904), hingga menghadapi Jepang dalam perang Pasifik tahun 1942. Legiun Mangkunegaran mampu bertahan sampai masa kekuasaan Mangkunegara VII.
Legiun Mangkunegaran terlibat dalam Perang Dunia II ketika Jepang menyerbu Jawa. Kemudian pada tahun 1942 adalah tahun pembubaran Legiun Mangkunegaran yang dilakukan oleh pemerintahan pendudukan Jepang.
Pemerintahan pendudukan Jepang melarang masyarakat untuk berorganisasi secara politik dalam bentuk apa saja. Jepang berusaha melucuti kekuatan militer Legiun Mangkunegaran sehingga pasukan militer yang terlatih dengan kurikulum Eropa ini beralih fungsi sebagai abdi dalem penjaga istana Mangkunegaran belaka. Nama Legiun Mangkunegaran pun kemudian diubah menjadi Worontono.
Setelah kemerdekaan Bangsa Indonesia dan negara ini berbentuk republik, Worontono itu kemudian berubah menjadi Laskar Puro dengan nama Rumeksopuro dengan tugas khusus menjaga segala keamanan di wilayah Pura Mangkunegaran yang berpusat di Kota Surakarta.
Selain Legiun Mangkunegaran, masa pemerintahan Mangkunegara II juga menjadi awal bagi Mangkunegaran menjadi kerajaan besar. Pesatnya perkembangan itu ditandai dengan bertambahnya wilayah kekuasaan Mangkunegaran.
Penambahan pertama terjadi pada tahun 1813 semasa Raffles , yaitu sebanyak 240 jung atau 1.000 karya, sehingga luas wilayah Mangkunegaran menjadi menjadi 5.000 karya atau 3.500 hektare. Wilayah tambahan tersebut meliputi Keduwang (72 jung), Sembuyan (12 jung), Sukawati bagian timur (95,5 jung), Sukawati bagian barat (18,5 jung), serta lereng bagian timur Gunung Merapi (29,5 jung).
Penambahan kedua terjadi pada tahun 1830 semasa Van den Bosch sebanyak 120 jung atau 500 karya di Sukawati bagian utara sehingga luas keseluruhan daerah Mangkunegaran menjadi 5.500 karya atau 3.850 hektare. Penambahan wilayah ini sebagai balasan atas dukungan Mangkunegara II saat Inggris memerangi Sri Sultan Hamengkubuwono II dari Yogyakarta dan Sri Susuhunan Pakubuwono IV dari Surakarta.
Adipati kedua Mangkunegaran KGPAA Mangkunegara II wafat pada tahun 1835. Jasad dari Mangunegara II dimakamkan di Astana Mangadeg. Makamnya berada satu komplek dengan kakeknya Mangkunegara I.