free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Serba Serbi

Mengenal Lebih dekat Raden Ronggo Prawiro Sentiko, Bupati Wedana Madiun dan Panglima Perang Hamengku Buwono I

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Yunan Helmy

18 - Jan - 2023, 00:40

Placeholder
Pagar benteng makam Raden Ronggo Prawiro Sentiko di makam kuno Taman Kota Madiun.(Foto : Aunur Rofiq/JATIMTIMES)

JATIMTIMES - Nama Raden Ronggo Prawiro Sentiko kalah tenar dari cucunya, Raden Ronggo Prawirodirjo III yang mendapat gelar pahlawan perintis kemerdekaan dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX. 

Namun bila menelisik ke belakang, kiprah Raden Ronggo Prawiro Sentiko yang kemudian berganti nama menjadi Raden Ronggo Prawirodirdjo I layak untuk dikenang perjuangannya. Sumbangsihnya dalam perlawanan mengusir penjajah dan memajukan peradaban ternyata cukup besar.

Baca Juga : Segera Bangun Rumah Dinas Wabup Blitar, Dana Rp 4 Miliar Disiapkan

Setelah Perjanjian Giyanti tahun 1755, Raden Ronggo Prawiro Sentiko diangkat sebagai bupati XIV Madiun. Catatan sejarah menyebutkan, karena dianggap gagal meredam  pemberontakan Sawo, Bupati XIII Madiun Pangeran Mangkudipuro dipindahtugaskan menjadi bupati Caruban oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I. Untuk menggantikan jabatan bupati Madiun, Sri Sultan Hamengku Buwono l mengangkat Raden Ronggo Prawiro Sentiko. 

Perang Suksesi Jawa III yang dipimpin Pangeran Mangkubumi berlangsung pada tahun 1746 hingga 1754.

Selain bupati Madiun, Raden Ronggo Prawiro Sentiko juga merangkap sebagai bupati wedana Mancanegara Timur Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Dengan jabatan ini, nama Raden Ronggo Prawiro Sentiko kemudian berganti menjadi Raden Ronggo Prawirodirdjo I. 

Bupati Wedana Mancanegara Timur Ngayogyakarta Hadiningrat atau Brang Wetan Gunung Lawu kala itu membawahi 14 bupati. Beberapa wilayah kekuasaan bupati wedana Mancanegara Timur Ngayogyakarta meliputi Madiun, sebagian Pacitan, Magetan, Caruban, dan Tulungagung. Di luar itu, wilayah meliputi Ponorogo, Jogorogo, sebagian Pacitan, Kediri, dan Blitar masuk dalam wilayah Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

Catatan sejarah juga menyebutkan, Raden Ronggo Prawiro Sentiko adalah orang kepercayaan Pangeran Mangkubumi (kemudian bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I setelah berdirinya Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat). Raden Ronggo Prawiro Sentiko ikut membantu Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said (kelak bergelar KGPAA Mangkunegara I) berperang melawan Belanda dengan endingnya Perjanjian Giyanti yang memecah Kasultanan Mataram menjadi dua kerajaan, yakni Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta.

“Raden Ronggo Prawiro Sentiko ini adalah panglima perang Pangeran Mangkubumi ketika berperang melawan Belanda. Setelah Perjanjian Giyanti, beliau diangkat menjadi bupati wedana Mancanegara Timur,” kata Koordinator Makam Kuno Taman Madiun Pak Mamak.

Pak Mamak menambahkan, selain andal dan tangguh di medan tempur, Raden Ronggo Prawiro Sentiko juga seorang ahli tata pemerintahan dan arsitektur. Hal ini dibuktikan dengan kiprahnya membantu Sri Sultan Hamengku Buwono I merancang desain Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Taman Sari.

“Di samping beliau panglima perang, juga membantu Hamengub Buwono I mendesain Keraton Jogjakarta dan Taman Sari. Jadi, bisa disimpulkan, wujud Keraton Jogja dan Taman Sari yang kita lihat hari ini ada andil dari Raden Ronggo Prawiro Sentiko,” imbuhnya.

Dari garis silsilah, Raden Ronggo Prawiro Sentiko adalah bangsawan keturunan Surakarta Hadiningrat. Beliau hidup di era pemerintahan Sri Susuhunan Paku Buwono II dan Paku Buwono III. Jika ditarik ke atas, Raden Ronggo Prawiro Sentiko adalah putra Ki Ageng Derpoyudo, keturunan generasi kelima dari Ratu Mas Sekar (adik Sultan Agung, raja ketiga Kasultanan Mataram). Ratu Mas Sekar adalah putri Panembahan Hanyakrawati (raja kedua Kasultanan Mataram) yang juga putra dari Panembahan Senopati (raja pertama dan pendiri Kasultanan Mataram).

Selama menjabat bupati wedana Mancanegara Timur sejak 1755, Raden Ronggo Prawirodirjdo I menempati istana kabu­paten yang lama peninggalan Bupati Pengeran Mangkudipuro di Kranggan (terletak di sebelah selatan Kali Catur, sebelah barat jalan anta­ra Madiun ke Ponorogo).

Baca Juga : Cara Polisi di Gresik Cegah Kekerasan di Lingkungan Pendidikan

Di tengah-tengah masa pemerintahannya, tepatnya 8 tahun menjabat bupati wedana Mancanegara Timur, Raden Ronggo Prawirodirdjo I membangun istana baru di Desa Wonosari sebelah utara Sungai Catur. Lokasi baru ini tidak jauh dari istana lama di Kranggan. Setelah istana baru berdiri, Desa Wonosari kemudian mendapat sebutan Kota Miring.

Istana Wonosari kemudian dijadikan istana jabatan dan Istana Kranggan dijadi­kan tempat tinggal. Setelah 29 tahun mengabdikan diri dalam pemerintahan, pada usia yang lanjut sekitar tahun 1784, Raden Ronggo Prawirodirdjo I jatuh sakit dan kemudian wafat di Istana Kranggan.

Sri Sultan Hamengku Buwono I, ipar (Pangeran Mangkubumi/Hamengku Buwono I menikahi adik perempuan Pangeran Ronggo Prawiro Santiko yang bernama Ajeng Manik) sekaligus rekan seperjuangan Raden Ronggo Prawirodirjo I menerima kabar wafatnya bupati wedana Mancanegara Timur. Diperintah­kan ke seluruh negeri untuk berkabung selama tujuh hari lamanya dan di setiap masjid dilakukan pengajian.

Jenazah Raden Ronggo Prawirodirdjo I tidak dimakamkan di Imogiri maupun Kotagede Yogyakarta. Sri Sultan Hamengku Buwono I mengeluarkan perintah agar jenazah Raden Ronggo Prawirodirdjo I dimakamkan di Desa Taman yang letaknya sebelah timur Kranggan.

Sejak saat itu, Desa Taman dikukuhkan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai desa perdikan. Desa itu diberikan satu otonomi yang cukup luas. Di lokasi itu dibangun sebuah masjid yang kini dikenal sebagai Masjid Kuno Taman. Sri Sultan Hamengku Buwono I kemudian memerintahkan agar Desa Perdikan Taman dipimpin seorang kiai sebagai penguasa. Seorang kiai pemimpin Desa Perdikan Taman kemudian diberi gelar Kyai Raden Misbach.

Sultan juga menetapkan makam Taman setara dengan ma­kam keluarga raja-raja Mataram di Imogiri. Secara khusus makam Taman ini dipergu­nakan untuk pemakaman keluarga Ronggo Prawirodirdjo.

 “Masjid Kuno Taman dan Makam Besar Taman ditetapkan sebagai cagar budaya. Yang dilindungi apa? Yang dilindungi adalah bangunan dan sejarahnya. Sejarah besarnya, Raden Ronggo I sampai Ronggo III melakukan perlawanan terhadap VOC. Beliau bertiga ini dulu sering motong kompas di pesisir utara Jawa. Upeti yang mau dikirimkan ke Batavia mereka rampas, dan ini ketahuan ketika era Ronggo III,” jelas Pak Mamak.

Selain Raden Ronggo Prawirodirdjo I, di makam Taman juga dimakamkan Raden Ronggo Prawirodirjo II, kakek Raden Ronggo Prawirodiningrat dan Raden Bagoes Sentot Prawirodirdjo/Sentot Alibasya Prawirodirdjo, panglima perang Pangeran Diponegoro.

Selain itu, di makam Taman terdapat juga makam Pangeran Dipokusumo (saudara Pangeran Diponegoro, plt bupati Madiun 1810-1820), Raden Ronggo Prawirodiningrat (putra Raden Ronggo Prawirodirdjo III, bupati Madiun 1822-1861), Raden Ronggo Ariyo Notoningrat atau Kanjeng Bagus (bupati Madiun 1861-1869), Raden Mas Mas Tumenggung Adipati Sosronegoro (bupati Madiun 1869-1879), Raden Mas Tumenggung Sosrodiningrat (bupati Madiun 1879-1885), Raden Aryo Adipati Brotodiningrat (bupati Madiun 1885-1900), Raden Tumenggung Koesnodiningrat (bupati Madiun 1900-1929), Raden Mas Adipati Koesmen (bupati Madiun 1929-1937), dan Raden Ronggo Koesnindar atau Pudak Sinumpet (bupati Madiun 1937-1953).


Topik

Serba Serbi



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Yunan Helmy