JATIMTIMES - 10 fakta ditemukan tim pencari fakta (TPF) gabungan Aremania dalam tragedi Stadion Kanjuruhan. Temuan tersebut berdasarkan pengumpulan barang bukti, keterangan saksi hingga korban.
Bahkan, TPF gabungan Aremania juga menggali informasi dari panpel, petugas keamanan pertandingan, manajemen Arema FC hingga keterangan ahli kesehatan dan forensik.
Baca Juga : Tak Menyadari Bahayanya, 13 Juta Pengguna Smartphone Telah Instal Adware Berbahaya Bernama Scylla
Sebagai informasi, TPF gabungan Aremania ini didirikan untuk mencari fakta sebenarnya terkait tragedi Stadion Kanjuruhan. Sejumlah personel di dalamnya tergabung dari berbagai latar belakang.
Berikut 10 fakta temuan itu diantaranya:
1. Sebelum pertandingan, sudah ada koordinasi 4 kali antara pihak kepolisian, Panpel, Manajemen Arema FC, Komunitas Aremania dan pihak pihak terkait yang memunculkan kesepakatan bahwa pertandingan tak dihadiri Bonek, tak ada swiping plat L, aparat tak akan melakukan tindak represif dan penggunaan gas air mata.
2. Tim Gabungan Aremania menemukan fakta informasi bahwa penyelenggara pertandingan menyerahkan pembiayaan pengamanan ke pihak kepolisian sebesar Rp 174 juta.
3. Jumlah penonton dalam pertandingan tersebut secara umum masih sesuai dengan kapasitas Stadion Kanjuruhan.
4. Kontrol petugas pengamanan dari personel Polri pada pertandingan ini bukan menjadi tanggungjawab Panpel, akan tetapi ada dibawah rantai komando kepolisian.
5. Berdasarkan dokumen kepolisian Sprint/1606/IX/PAM.3.3/2022 tanggal 28 September 2022, jumlah personil pengamanan yang dihadirkan sejumlah 2.034 personil, termasuk diantaranya 300 personel dari Brimob Polri.
6. Sejak awal, personel Brimob dan sejumlah personel Sabhara Polres Malang yang ditempatkan di lokasi pertandingan telah dipersenjatai dengan gas air mata. Personil Brimob, diduga menggunakan multi-smoke projectile yang satu selongsong bisa meletuskan sampai lima proyektil. Sementara personil Sabhara diduga menggunakan gas air mata single amunisi.
7. Setelah pertandingan selesai, sejumlah penonton turun ke lapangan. Ini adalah tradisi yang sudah biasa dilakukan. Namun hal ini direspon dengan berlebihan dengan beragam tindak kekerasan aparat Kepolisian dan TNI yang kemudian dilanjutkan dengan penembakan gas air mata oleh pasukan Brimob dan Sabhara.
8. Personil Brimob pertama kali menembakkan gas air mata pada pukul 22.08 WIB yang diarahkan ke tribun selatan. Selanjutnya secara bertubi tubi, tembakan gas air mata dilakukan setidaknya 11 kali oleh tujuh orang yang berbeda. Penembakan gas air mata berakhir pada pukul 22.15 WIB.
9. Saksi dan video rekaman menunjukkan bahwa personil Brimob dan Sabhara melakukan tindak kekerasan di bawah atas sepengetahuan perwira Polisi yang memimpin di lapangan.
Baca Juga : 7 Rekomendasi TGIPF untuk PSSI, Mahfud MD: Harusnya Ketum dan Komite Eksekutif Mengundurkan Diri
10. Terdapat 32 CCTV di Stadion Kanjuruhan yang merekam kejadian mematikan di sejumlah gate di tribun selatan. Fakta fakta yang terjadi telah terekam dalam CCTV.
Dari 10 temuan tersebut, TPF gabungan Aremania menyimpulkan bahwa tragedi Kanjuruhan bukanlah kerusuhan, melainkan kekerasan berlebihan yang secara sengaja dilakukan oleh aparat secara terstruktur, sistematis dan terkomando.
Mereka juga menyebut bahwa tindakan kekerasan yang paling mematikan adalah penembakan gas air mata. Bahkan diduga, penembakan gas air mata itu dilakukan dibawah perintah perwira di lapangan yang juga diduga di bawah kontrol perwira tertinggi di wilayah Polda Jatim.
Selain itu, pihaknya juga menarik kesimpulan bahwa penyebab utama kematian massal itu diduga kuat akibat gas air mata. Hal itu yang kemudian memicu ribuan suporter panik dan berdesak desakan di pintu maut.
Menurutnya, tindakan aparat telah memenuhi unsur tindak pidana penyiksaan dan pembunuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 351 KUHP dan Pasal 338 KUHP.
“Tindakan aparat keamanan dalam peristiwa ini menunjukkan tindakan serangan sistematik kepada penduduk sipil. Ini juga adalah pidana kejahatan kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 UU No.26/2000 tentang Pengadilan HAM,” ucap Andy Irfan Sekjen KontraS.
Karena itu, pihaknya mendorong Komnas HAM agar melakukan penyelidikan Pro Justisia atas dugaan kejahatan kemanusiaan dalam tragedi Stadion Kanjuruhan 1 Oktober 2022 lalu. Di sisi polisi, pihaknya menuntut Divpropam agar memeriksa seluruh personel dan perwira polisi yang terlibat dan bertanggung jawab saat bertugas pada pertandingan Arema FC vs Persebaya. Bahkan, nama Kapolda Jatim juga muncul karena dianggap memiliki wewenang dalam kelangsungan penyelenggaraan sepakbola yang berakhir menjadi tragedi memilukan.
“Kami juga menuntut dilakukan autopsi atas semua korban meninggal dalam tragedi ini. Negara juga wajib memulihkan kesehatan dan kerugian materiil dan immatreriil pada seluruh korban,” tandas Andy Irfan.