JATIMTIMES - Beberapa akademisi menyebut, tragedi Kanjuruhan bakal menyebabkan efek domino yang berkepanjangan. Bahkan, efek trauma yang dialami pasca-tragedi yang hingga kini telah menewaskan 132 orang tersebut secara psikis merupakan kategori trauma terberat.
Hal itu disampaikan dosen Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim (UIN Maliki) Malang Dr Elok Halimatus Sa'diyah MSi. "Kalau dari berbagai pristiwa yang bisa menyebabkan trauma dan yang paling besar menjadi sumber trauma itu ketika ada kematian. Itu yang paling besar menjadi sumber trauma," ucapnya.
Baca Juga : Terkuak, Kuat Ma'ruf yang Desak Majikannya Laporkan Brigadir J ke Ferdy Sambo
Elok menyebut, efek trauma yang dialami oleh semua pihak, terutama yang terlibat secara langsung saat tragedi Kanjuruhan berlangsung, semakin pelik lantaran terjadi di luar ekspektasi.
"Apalagi di sinikan banyak sekali kematian yang terjadi di luar ekspektasi mereka. Kita sama sekali tidak mengira kalau akan terjadi seperti ini. Jadi, ketika kemudian terjadi tragedi chaos seperti ini, antara harapan dan kondisi kenyataan itu menjadi timpang sekali. Apalagi kemudian sampai ada korban nyawa yang cukup banyak," terangnya.
Elok mengaku sedikit banyak bisa membayangkan betapa memilukannya tragedi Kanjuruhan. Sebab, dari yang dimuat berbagai media, disebutkan jumlah korban mencapai 754 orang. Bahkan, 132 di antaranya dinyatakan meninggal dunia.
"Orang-orang yang mungkin di dalam (stadion), penonton yang ada di dalam, yang tidak meninggal dan jadi saksi, itu pasti mengalami trauma yang sangat dalam. Kenapa? Marena mereka dengan mata kepala sendiri melihat bagaimana manusia-manusia yang tidak memiliki kesalahan, tidak menjadi sumber problem dari sebuah kerusuhan, menjadi korban," ungkapnya.
Dari kaca mata psikologi, dijelaskan Elok, trauma kategori semacam itu sangat sulit untuk disembuhkan atau bahkan dipulihkan. "Kalau dari sisi trauma, ketika trauma itu sampai mengambil nyawa orang, itu menjadi trauma yang akan sulit bisa diselesaikan atau disembuhkan," ujarnya.
Mirisnya lagi, mereka yang mengalami trauma pasca-tragedi Kanjuruhan akan kesulitan untuk sekadar melanjutkan semangat hidup. Sebab, trauma yang ditimbulkan pasca-tragedi Kanjuruhan dinilai bisa berpengaruh pada perilaku di masa yang akan datang.
"Jadi, akan menjadi semacam trauma yang berkepanjangan dan bisa menjadi pengaruh bagaimana mereka berperilaku di masa depannya nanti," tambahnya.
Efek jangka pendek, sambung Elok, pada mereka yang mengalami tragedi Kanjuruhan, akan muncul gejala kecemasan. Hal itu dapat dibuktikan dengan adanya beberapa korban yang merasa takut atau bahkan berhalusinasi dan mimpi buruk setelah mengalami tragedi memilukan di Stadion Kanjuruhan tersebut.
"Mungkin kalau dalam waktu dekat, kalau kita bicara konteks trauma, akan muncul gejala-gejala kecemasan. Mungkin mimpi buruk atau ketakutan yang tidak rasional," bebernya.
Jika tidak segera mendapatkan pendampingan, mereka yang mengalami trauma pasca-tragedi Kanjuruhan kualitas hidupnya akan memburuk. "Tetapi kalau dalam jangka waktu yang panjang, kalau itu tidak ada pendampingan secara sikologis, trauma itu akan menjadi trauma berkepanjangan. Dan itu akan berpotensi mengganggu kualitas hidup mereka. Tidak hanya berkaitan dengan sepak bola, tapi bisa digeneralisasi pada berbagai aspek kehidupan yang lain," bebernya.
Seperti yang diketahui, saat tragedi Kanjuruhan, seluruh elemen masyarakat dan suporter Aremania terlibat. Baik itu anak-anak, remaja, dewasa, pria, hingga wanita. Hal itulah yang dikhawatirkan Elok akan semakin susah untuk dipulihkan kondisi psikologinya. Apalagi yang menimpa pada anak-anak.
Baca Juga : Lepas Peserta Program Transmigrasi, Bupati Blitar: Semoga Sukses di Tempat Tujuan
"Ketika dia berinteraksi dengan orang, berinteraksi dengan polisi, berinteraksi dengan misalnya melihat kasus atau hal-hal yang mungkin realed dengan anak-anak atau seseorang. Capturing itu muncul lagi. Itu masih dari sisi korban. Belum lagi yang di sisi keluarga yang ditinggalkan, itu kan juga perlu untuk kita dampingi sebenarnya," kata Elok.
Tidak berhenti di situ, image soal Stadion Kanjuruhan yang selama ini dianggap aman saat mengelar pertandingan sepak bola juga semakin membuat rasa trauma para korban menjadi lebih kelam.
"Mereka kan juga tidak ekspektasi sama sekali. Kan katanya Kanjuruhan ini dianggap sebagai stadion sepak bola yang sangat aman, tidak pernah ada kejadian apa pun. Jadi saya yakin orang tua mengizinkan anaknya atau keluarganya nonton karena dianggap ini benar-benar aman. Apalagi Bonek juga tidak ke Malang," sambungnya.
Sayangnya, apa yang terjadi pada kenyataannya berbeda dengan ekspektasi tersebut. Terjadi kericuhan, penembakan gas air mata, hingga banyaknya korban yang berjatuhan. Sederet pertimbangan itulah yang akan menganggu psikologi mereka yang mengalami trauma.
"Dari analisis mereka, secara umum tidak akan terjadi apa-apa, ketika kemudian terjadi kericuhan. Nah ini pihak keluarga korban, jangan dikira mereka tidak mengalami trauma, ada kemungkinan mereka juga potensial mengalami trauma," ujarnya.
Dari berbagai pertimbangan itulah, Elok menyebut para korban maupun saksi tragedi Kanjuruhan harus segera diberikan pendampingan. Meski tidak semudah membalikkan telapak tangan, setidaknya dengan adanya pendampingan bisa meminimalisasi efek domino atau berkepanjangan dari rasa trauma yang ditimbulkan.
"Kita harus optimistis bahwa itu (trauma) bisa disembuhkan, minimal diminimalisasikan. Sehingga harus ada pendampingan dari orang yang kompeten. Salah satunya orang-orang sikologi," tuturnya.
Menurut Elok, pendampingan yang dilakukan oleh orang yang expert di bidangnya tersebut penting untuk dilakukan. Sebab, rasa trauma tidak bisa disembuhkan sendiri tanpa adanya pendampingan.
"Kalau sudah namanya trauma, itu biasanya membutuhkan orang lain untuk membantu. Khususnya orang-orang yang memiliki kompetensi di bidang psikologi. Bahkan psikolog pun kalau mengalami trauma, masih membutuhkan orang lain untuk mengurai traumanya," tukasnya.