JATIMTIMES - Pemerintah saat ini dipandang masih mengikuti paradigma ketahanan pangan. Hal ini disampaikan Prof Dr Rahmat Safaat SH MSi dalam Seminar Nasional dengan isu strategis, "Mewujudkan Kedaulatan Pangan Nasional Dalam Pemenuhan Kebutuhan Pangan yang Baik dan Sehat Bagi Warga Negara", yang digelar Dewan Profesor Senat Akademik Universitas Brawijaya, Rabu (15/6/2022).
"Ketahanan pangan itu yang penting. Ketika pangannya ada, masyarakat tidak perlu dipersoalkan impor atau hasil sendiri," jelasnya.
Baca Juga : Usai Sholat Subuh, 348 Jamaah Haji Lumajang Diberangkatkan Cak Thoriq
Paradigma tersebut haruslah dirubah agar nantinya ke depan bangsa Indonesia tak mengandalkan impor dalam memenuhi kebutuhan pangan. Perubahan yang dimaksud tentunya mengarah pada kedaulatan pangan.
Namun jika ketergantungan pada impor terus berlangsung ke depannya, menurut Safaat, hal ini akan membahayakan kedaulatan pangan bangsa Indonesia. Sebab, bisa jadi hampir keseluruhan kebutuhan pangan akan dipenuhi lewat impor.
"Sebenarnya masyarakat yang ada di berbagai daerah itu mampu untuk berdaulat atas pangan. Baduy, Tengger misalnya. Itu masyarakat adat yang mampu (memiliki kedaulatan pangan)," jelasnya.
Dalam realisasi kedaulatan pangan, menurut Safaat, pemerintah mampu untuk melakukan hal tersebut. Akan tetapi, saat ini pilihan yang dipilih masih pada ketahanan pangan. Pemerintah harus melakukan langkah strategis untuk menghindari bahaya tersebut. Langkah strategis ini melalui beberapa hal yakni, luas lahan tanah pertanian, para petani dan subsidi.
"Yang subsidi saja, misal subsidi pupuk, kalau Amerika atau China, setiap orang diberi subsidi 1 tahun Rp500 juta. La sedangkan kita apa? Subsidi pupuk aja repot. Subsidi tidak ke petani malah ke petani berdasi. Hal ini juga menyebabkan banyak petani kita keluar atau oleh profesi bukan jadi petani," paparnya.
Problem yang ada juga terkait kepemilikan tanah. Para petani yang ada sebagian besar saat ini menjadi tuna tanah. Lahan banyak dimiliki oleh petani berdasi. Hal tersebut kemudian menjadi hambatan dalam upaya menuju kedaulatan pangan. Sehingga, menurut Safaat harus ada reforma agraria yang memberikan lahan kepada para petani minimal 2 hektare.
Reforma agraria bisa dilakukan pemerintah, melihat pada sektor pertanian kelapa sawit, pemerintah dapat memfasilitasi dan memberikan luasan lahan yang begitu luas.
"Kenapa untuk para petani tidak? Lahan ada, kemarin pemerintah membuat food estate itu menyiapkan lahan 600 hektare. Tetapi setelah itu malah terbengkalai, petani malah dijadikan buruh di situ. Harusnya lahan-lahan yang diperuntukkan untuk itu, disubsidi dan diberikan kepada petani," terang Safaat.
Baca Juga : Lumajang Menjadi Pilot Project Penerima Bantuan Dengan Konsep Kolaboratif IFRC Dan PT Pos Indonesia
Untuk itu terdapat catatan yang ia sampaikan menuju kedaulatan pangan. Misalnya seperti food farming dengan memanfaatkan lahan di sekitar rumah untuk menanam tanaman pangan, menjadi langkah aksi jangka pendek yang bisa dilakukan. Langkah ini menjadi solusi seperti yang dilakukan beberapa negara, seperti halnya Jepang.
Untuk jangka panjang, perubahan kebijakan dan tata kelola kelembagaan harus dilakukan penataan. Jika tidak ada perubahan-perubahan, maka akan terjebak pada krisis pangan serius yang berimbas pada berbagai sektor lainnya.
"Pemerintah harus ada komitmen," ujarnya.
Dewan Profesor Senat Akademik Universitas Brawijaya Prof Dr H Armanu SE MSc menyampaikan, ini merupakan kontribusi pemikiran para guru besar dengan muara kesejahteraan masyarakat.
"Ini kontribusi pemikiran para akademisi kepada masyarakat untuk hidup berbangsa dan bernegara labih bagus lagi. Pemikiran kita untuk bisa dikembangkan, intinya di situ," pungkasnya.
Sementara itu, Prof Dr Rahmat Safaat SH MSi, dalam seminar "Mewujudkan Kedaulatan Pangan Nasional Dalam Pemenuhan Kebutuhan Pangan yang Baik dan Sehat Bagi Warga Negara", juga menghadirkan Plt Deputi Bidang Ketersediaan Pangan dan Stabilisasi Pangan, Prof Dr Ir Rishaheri MSi.