JATIMTIMES - Kamis (21/4/2022) akan diperingati sebagai Hari Kartini. Hari Kartini sendiri diperingati untuk mengenang hari kelahiran pahlawan perempuan Indonesia, Raden Ajeng Kartini.
Dikisahkan bahwa Kartini menikah dengan Djojoadiningrat, yang sudah memiliki 3 istri dan 7 anak. Bahkan putri tertua suaminya hanya terpaut 8 tahun dari Kartini. Perkawinan Kartini dan Djojoadiningrat berlangsung pada 8 November 1903. Pernikahan itu pun praktis menyudahi perlawanannya terhadap praktik poligami di masyarakat Jawa.
Baca Juga : Kenalan dengan Seven Summitnya Indonesia
Setelah diboyong ke Rembang menjadi raden ayu di kabupaten, Kartini tak lagi bicara soal kedudukan perempuan atau menyerang poligami, bahkan juga cita-citanya soal pendidikan. Sangat boleh jadi, kala itu Kartini sudah berdamai dengan lingkungannya. Ini memang aneh, ujar seorang pemberontak bisa menjadi begitu lentuk.
Padahal, bagi Kartini, poligami merupakan aib dan dosa karena memperlakukan wanita sewenang-wenang. Itulah serangan-serangannya terhadap praktik poligami yang amat tajam dan cenderung emosional.
"Bagaimana saya bisa menghormati seseorang yang sudah kawin dan menjadi ayah dan kemudian, bila bosan pada anak-anaknya, ia dapat membawa perempuan lain ke rumah dan mengawininya secara sah sesuai dengan hukum Islam?" tulis Kartini kepada Stella Zeehandelaar.
Menurutnya, meskipun hal itu seribu kali tak disebut dosa dalam pandangan Islam, selama-lamanya ia tetap menganggapnya begitu.
"Dan dapatkah kamu membayangkan siksaan yang harus diderita seorang perempuan jika suaminya pulang bersama perempuan lain, pesaingnya, dan harus diakuinya sebagai istrinya yang sah?"
Ibunya bernama Ngasirah. Ia melahirkan Kartini pada 21 April 1879.
Waktu itu ayah Kartini, Sosroningrat, masih wedana. Namun saat diangkat sebagai bupati, ia menikah dengan Raden Ajeng Moerjam, keturunan bangsawan Madura.
Moerjam-lah yang kemudian menjadi raden ayu Bupati Jepara dan bukan Ngasirah yang telah melahirkan 8 anak. Ngasirah merupakan anak kiai pedagang kopra dari Desa Mayong, Jepara, tergusur. Ia hanya seorang selir dan tidak berhak tinggal di rumah utama kabupaten. Ngasirah bahkan harus memanggil anak-anaknya sendiri ndoro (majikan).
Sementara anak-anaknya memanggil dirinya yu (panggilan untuk orang kebanyakan atau kakak perempuan). Ngasirah juga sampai harus merangkak-rangkak dan membungkuk-bungkuk di depan putra-putrinya sendiri.
Baca Juga : Kini jadi Tersangka, Momen Dirjen Bisiki Mendag Lutfi soal Penetapan Tersangka Migor Kembali Disorot
Menurut Kardinah, adik Kartini, yang juga dipaksa kawin dengan seorang patih beristri dan punya anak, Kartini tidak malu mengaku ibunya dari rakyat biasa. Tapi yang disebut Kardinah itu meragukan. Sebab, meski tidak malu, Kartini sama sekali bungkam soal hal tersebut. Misalnya saat ada yang mencoba menanyakannya, Kartini juga tidak pernah menuturkan ihwal ibunya yang tragis dalam surat-suratnya.
Malahan J.H. Abendanon, yang menerbitkan Door Duisternis tot Licht atawa Habis Gelap Terbitlah Terang, tak menyebut jelas siapa ibu Kartini, selain tidak mengatakan apa-apa tentang kehidupan rumah tangga Sosroningrat.
Persoalan ibu kandung Kartini baru muncul setelah pada 1954 H. Boumen menyebutnya secara eksplisit. Namun mengapa Kartini sendiri akhirnya menikah dengan jenis laki-laki yang tidak dihormatinya itu? Apakah hanya karena ia tak kuasa melawan?
Di Rembang, ia tak bicara tentang kedudukan wanita, tapi bersuara lantang dan bagus tentang rakyat miskin akibat pajak dan politik candu pemerintah. Kartini malah bangga menceritakan usaha suaminya memberantas candu, yang mendapat tentangan dari seorang anggota Dewan Hindia yang menyebut bahwa pemerintah masih butuh uang.
Kemudian pada 10 Agustus 1904 ia menulis kepada Ny. Abendanon: "Tengoklah, jadi bukannya rakyat yang tak mau berhenti mengisap candu, tapi pemerintah. Pahit, tapi benar, kutuk terhadap orang Jawa adalah suatu kekuatan hidup bagi pemerintah."
Selain itu, Kartini juga terlihat aneh kepada sahabat-sahabat Belanda-nya. Ia mengatakan hidupnya bahagia di tengah 3 selir (yang bernasib seperti Ngasirah, ibunya sendiri) dan 7 anak mereka. Hingga akhirnya, Kartini wafat pada 17 September 1904, 4 hari setelah melahirkan anak laki-laki.