JATIMTIMES - Di era muslim zaman dahulu sosok-sosok penyair bermunculan dengan karya-karya epicnya. Salah satunya, seorang penyair tersohor Arab klasik di era kejayaan Islam.
Ya, dia adalah Abu Nawas. Dikenal juga sebagai master dari semua genre puisi Arab kontemporer. Selain itu, ia merambah ke dalam cerita rakyat, terbukti dalam '1001 Malam' Abu Nawas kerap muncul.
Baca Juga : Samsung A22 Harga dan Spesifikasi Terlengkap
Bernama lengkap Abu Nawas Al-Hasan ibn Hani Al-Hakami, merupakan tokoh yang hidup di masa pemerintahan Khalifah Harun Al-Rasyid. Ia lahir antara tahun 747-762 Masehi. Banyak yang menyebut Abu Nawas lahir di Damaskus, namun ada juga yang meyakini ia berasal dari Bursa.
Ayahnya bernama Hani, seorang anggota tentara Marwan bin Muhammad atau Marwan I-Khalifah terakhir Dinasti Umayyah di Damaskus. Sedangkan ibunya bernama golban atau Jelleban. Seorang penenun yang berasal dari persia. Sayangnya, selama hidupnya Abu Nawas tidak pernah berjumpa dengan sang ayah.
Sejak remaja, Abu Nawas mampu menarik perhatian seorang penulis puisi berambut pirang bernama Walibah Ibnu al-Hudab. Penulis inilah yang mengajari Abu Nawas teologi dan tata bahasa, juga menulis puisi.
Sejak saat itu, Abu Nawas tertarik dengan dunia sastra. Kemudian ia juga banyak menimba ilmu dari seorang penyair Arab bernama Khalaf al-Ahmar di Kufah.
Kegemaran Abu Nawas bermain kata-kata dengan selera humornya yang tinggi. Hal ini justru ampuh membuat dirinya menjadi seorang legenda. Bahkan, namanya tercantum dalam dongeng 1001 Malam.
Kepandaian Abu Nawas dalam menulis puisi mampu menarik perhatian Khalifah Harun al-Rasyid. Bahkan, Abu Nawas diangkat menjadi penyair istana (sya'irul bilad). Abu Nawas pun juga diangkat sebagai pendekar para penyair yang bertugas untuk mengubah puisi puji-pujian untuk khalifah.
Baca Juga : Ketahui Spesifikasi Samsung A22 dengan Beragam Kelebihannya
Meski sudah diangkat sebagai penyair istana dan membuat dirinya dekat dengan tokoh-tokoh penting di masa itu, rupanya hal itu membuat Abu Nawas berakhir di penjara. Pada saat itu, Abu Nawas tengah membacakan puisi untuk Khalifah Bani Mudhar. Sayangnya, khalifah itu tersinggung dan murka. Alhasil, Abu Nawa harus mendekam di penjara.
Semakin lama, puisi-puisi Abu Nawas berubah menjadi religius. Syair-syairnya tentang pertobatan dapat dipahami sebagai ungkapan rasa keagamaannya yang tinggi.
Nama Abu Nawas sejatinya memang sudah tidak asing lagi. Bahkan di zaman sekarang, orang Indonesia masih begitu akrab dengan nama Abu Nawas melalui cerita-cerita humornya yang bijak dan sufi. Karakternya yang humoris dan cerdik, ia manfaatkan untuk mengkritik siapa saja.