INDONESIATIMES - Kisah tragis dialami oleh 3 anggota kelompok Bamboe Roentjing yang harus divonis hukuman mati. Ketiganya masing-masing bernama Soetjipta, Satibi, dan Oemang.
Mereka divonis mati oleh Pengadilan Sipil Hindia Belanda tepat di Hari Ulang Tahun ke-3 Republik Indonesia (HUT RI) yakni tepatnya pada 17 Agutus 1948. Vonis tersebut dijatuhkan berdasarkan tudingan aksi kriminal yang dilakukan oleh ketiganya di wilayah Cianjur pada tahun 1947-1948.
Baca Juga : Sinopsis Ikatan Cinta RCTI 16 Agustus 2021, Al dan Andin Bermesraan di Taman
"Mereka bertiga telah melakukan pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap sebagai kaki tangan NICA (pemerintah Sipil Hindia Belanda), secara langsung maupun tidak langsung," tulis media Haarlems Daagblaad pada 18 Agustus 1948.
Berbeda dengan pihak Belanda, warga Cianjur justru menganggap sosok Soetjipta adalah seorang pejuang. Hal tersebut dibuktikan dengan penyematan namanya untuk 1 ruas nama jalan di pusat kota Cianjur.
Jalan tersebut yakni bernama A.Soetjipto yang diresmikan pada tahun 1950-an. Kini nama itu pun berganti menjadi Jalan Adi Sucipto.
Soetjipta sendiri memiliki nama lengkap yakni Asmin Soetjipta alias Aswin. Ia tinggal di Desa Cisarandi dan menjadi guru di Landbouwshool yang merupakan sekolah pertanian setingkat SMP. Di tengah kesibukannya sebagai guru, Asmin bersahabat dengan Muhammad To'ib Zamzami, Lurah Desa Cisarandi kala itu.
Bahkan, saking dekatnya, To'ib menikahkan putrinya dengan Asmin yakni Sitti Aisyah. Selain itu, Soetjipta juga dikenal ahli pencak silat dan memiliki ilmu kanuragan yang cukup tinggi.
Dengan keahlian dan kedudukannya sebagai mantu lurah, tak heran Soetjipto lantas dituakan dan dijadikan "jawara" penjaga keamanan desa.
Hingga akhirnya, tahun 1945-1946, jalan raya di mulur Desa Cisarandi kerap dilewati oleh konvoi "pasukan ubel-ubel". Pasukan ubel-ubel merupakan nama julukan pasukan setempat untuk para serdadu Inggris dari kesatuan Jats, Rajputana dan Patiala yang berkebangsaan India.
Pasukan itu pun lantas sering bertindak semena-mena hingga mengganggu gadis-gadis desa dan merampok harga benda penduduk setempat. Mengetahui peristiwa itu, Luhat To'ib mengajak Soetjipto mengadakan perlawanan.
"Cipta Abah tugaskan kamu cari senjata api ke kota ya," ujar To'ib kala itu.
"Buat apa Bah? tanya Soetjipto.
"Buat nembakin itu tentara ubel-ubel, Abah sudah tidak tahan dengan perilaku mereka kepada rakyat kita,"
"Oh,, mangga Bah! Tiasa," begitu percakapan mereka.
Keesokan harinya Soetpjipto berangkat ke Cianjur dengan berjalan kaki. Namun di perjalanan ia berpapasan dengan beberapa serdadu Inggris.
Tak banyak bicara, dengan gerakan kilat ia berhasil membekuk salah seorang prajurit yang berjalan paling belakang, melumpuhkannya lalu merampas senapan Lee Enfield milik prajurit tersebut.
Setelah mendapat senjata, Soetjibto lantas menuju ke arah jalur rel kereta api yang ada di sebelah timur Kampung tangsi. Di sana, siraman timah panas sempat diarahkan kepadanya.
Namun dengan gesitnya, ia lagi-lagi berhasil lolos. Atas keberhasilan itu, luhat To'ib pun merasa bangga kepada menantunya.
Namun, persoalan baru muncul saat tak ada satu pun pemuda Cisarandi yang mahir mempergunakan senjata api. Kendati demikian, Soetjipta tak ambil pusing.
Ia lantas membawa senjata itu ke para pejuang dari Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) dan meminta mereka untuk mengajarkannya. Hanya dalam waktu beberapa minggu dilatih, ia berhasil menguasai senjata buatan Inggris itu dengan baik.
Baca Juga : Tak hanya Penanganan Covid-19, Pemulihan Ekonomi di Kota Malang Terus Digenjot
Soetjipto lalu menjadi seorang penembak runduk yang mumpuni. Berdasarkan cerita To'ib, dalam suatu penghadangan di jalan raya Sukabumi-Cianjur, Si dukun yang merupakan panggilan sayang Soetjipta untuk Lee Enfield pengangannya pernah memakan nyawa 11 serdadu Inggris dari jarak 500 meter.
Hingga akhirnya, Soetjipto mendirikan unit laskar sendiri yang bernama Laspo (laskar Pesindo) atau Bamboe Roentjing. Ia lantas didapuk sebagai komandan dengan diberi pangkat kapten.
Kala para pejuang aktif memerangi tentara Belanda yang berusaha kembali menguasai Indonesia pada 1945-1949, pasukan Bamboe Roentjing juga termasuk di dalamnya.
Hingga suatu penghadangan di wilayah Bojongkoneng, unit itu sukses menghabisi 1 peleton KNIL (tentara Kerajaan Hindia Belanda) dan merampas sejumlah senjata dari mereka. Bahkan, unit tersebut kerap melakukan operasi kecil-kecilan ke wilayah kota Cianjur.
Bersama sahabatnya, Poerawinata, Soetjipto pernah melakukan nekad di wilayah jalan depan pasang Bojongmeron. Kala itu ia berpura-pura sebagai orang gila.
Begitu bersisian dengan seorang serdadu Belanda ia langsung memukul kepala sang sardadu itu dengan botol kecap dan merampas senjatanya. Senjata itu lalu dilarikan oleh Poerrawinata yang siaga di sekitar tempat tersebut.
Aksi-aksi Bamboe Roentjing itupun tentu membuat gerah para militer Belanda. Militer Belanda lantas mengirim pasukan bertruk-truk ke Cisarandi.
Namun, mereka tidak menemukan Soetjipto. Demi menumpahkan kekesalan, mereka lalu membakar markas Bamboe Roentjing yang merupakan rumah Lurah To'ib.
Kemudian pada 1948, Divisi Siliwangi harus pindah ke Jawa Tengah dan Yogyakarta. Namun, itu tidak berlaku untuk sebagian kecil pejuang termasuk Bamboe Roentjing.
Mereka justru memilih tetap melawan militer Belanda dibanding harus pindah. Hingga akhirnya suatu hari, Soetjipto menerima sepucuk surat yang ditandatangani atasannya yakni S. Waluyo.
Surat tersebut berisi tentang perintah agar seluruh unit Bamboe Rpentjing pergi ke Sukabumi untuk berunding dengan pihak militer Belanda. Soetjipto dan rekan-rekannya pun berangkat ke Sukabumi dengan menggunakan truk milik KNIL.
Ternyata mereka terkena tipu muslihat pihak intelijen Belanda. Alih-alih dibawa ke meja perundingan, mereka malah dijebloskan ke penjara dan memerintahkan semua anggota bubar.
Ada 2 anak buah Soetjipto bernama Oemang dan Satibi yang menolak pulang. Padahal Sotjibto sendiri sudah membujuk mereka untuk bisa kembali ke Cianjur.
Namun mereka tetap kekeh ikut bersama komandannya itu pergi. Di akhir 1948, beberapa sebelum ekskusi mati Soetjipto dan 2 anak buahnya mereka berada di Penjara Paledang.
Hingga akhirnya tibalah komandan gerilya itu divonis mati bersama Oemang dan Satibi di Kampung Dereded. Di hadapan regu tembak, menurut para saksi, mereka berdiri dengan tabah dan gagah sebelum peluru-peluru itu merenggut nyawa ketiganya.