TULUNGAGUNGTIMES - Fenomena aphelion yang belakangan ini menjadi pembicaraan hangat sebenarnya telah tiap tahun terjadi. Fenomena ini di Tulungagung atau khususnya Jawa disebut dengan fenomena bediding.
"Bediding ini semacam musim, jadi udara lebih dingin dari biasanya baik siang atau malam," kata Mudi (56) salah satu warga Tulungagung, Kamis (15/07/2021).
Baca Juga : Dapat Tudingan Miring Hutang Miliaran, Bupati Tulungagung Berikan Klarifikasi dan Bantahan
Lanjutnya, Bediding ini merupakan transisi antar habisnya hujan menuju kemarau.
"Jika Bediding, orang dulu sering bersiap menanam palawija karena tanah kering dan petani yakin tanamannya tidak akan kebanjiran karena kiriman hujan," ujarnya.
Dalam kalender pertanian Jawa, yaitu Pranoto Mongso, musim bediding masuk ke “kasa atau kasiji” yaitu musim pertama dalam penanggalan pertanian Jawa.
Biasanya Kasiji ini berlangsung selama 40an hari, mulai pertengahan Juni sampai awal Agustus. Dalam Pranoto Mongso disebutkan bahwa kasa’ atau kasiji ditandai dengan para petani yang membakar jerami sisa panen padi, kayu mengering, dan dimulainya musim palawija.
Fenomena aphilion sendiri disebut akan membawa suhu dingin di Indonesia akibat posisi matahari sangat jauh dari bumi.
Dikutip dari berbagai sumber media online, Deputi Bidang Klimatologi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Herizal menjelaskan fenomena aphelion terjadi setahun sekali pada kisaran bulan Juli.
Fenomena itu terjadi ketika posisi matahari berada pada titik jarak terjauh dari bumi. Meskipun demikian, kondisi tersebut tidak berpengaruh banyak pada fenomena atmosfer permukaan.
“Sementara itu, pada waktu yang sama, secara umum wilayah Indonesia berada pada periode musim kemarau. Hal ini menyebabkan seolah aphelion memiliki dampak yang ekstrem terhadap penurunan suhu di Indonesia,” kata Herizal sebagaimana ditulis Okezone.
Baca Juga : Perangi Covid-19, Wabup Blitar dan Danlanud Abd Saleh Pimpin Serbuan Vaksinasi di Wilayah Ponggok
Menurutnya, fenomena ini merupakan hal yang biasa terjadi setiap tahun. Bahkan hal ini pula yang nanti dapat menyebabkan beberapa tempat seperti di Dieng dan dataran tinggi atau wilayah pegunungan lainnya, berpotensi terjadi embun es (embun upas) yang dikira salju oleh sebagian orang.
Lebih lanjut dia menjelaskan, fenomena suhu udara dingin sebetulnya merupakan fenomena alamiah yang umum terjadi di bulan-bulan puncak musim kemarau (Juli - September). Saat ini wilayah Pulau Jawa hingga NTT menuju periode puncak musim kemarau. Periode ini ditandai pergerakan angin dari arah timur, yang berasal dari Benua Australia.
Herizal mengatakan adanya pola tekanan udara yang relatif tinggi di Australia menyebabkan pergerakan massa udara dari Australia menuju Indonesia atau dikenal dengan istilah Monsoon Dingin Australia.
“Angin monsun Australia yang bertiup menuju wilayah Indonesia melewati perairan Samudera Indonesia yang memiliki suhu permukaan laut juga relatif lebih dingin, sehingga mengakibatkan suhu di beberapa wilayah di Indonesia terutama bagian selatan khatulistiwa (Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara) terasa juga lebih dingin,” kata Herizal.
Selain dampak angin dari Australia, berkurangnya awan dan hujan di Pulau jawa hingga Nusa Tenggara turut berpengaruh ke suhu yang dingin di malam hari. Sebab, tidak adanya uap air dan air menyebabkan energi radiasi yang dilepaskan oleh bumi pada malam hari tidak tersimpan di atmosfer.
Tak hanya itu, langit yang cenderung bersih awannya (clear sky) akan menyebabkan panas radiasi balik gelombang panjang ini langsung dilepas ke atmosfer luar. “Sehingga kemudian membuat udara dekat permukaan terasa lebih dingin terutama pada malam hingga pagi hari. Hal ini yang kemudian membuat udara terasa lebih dingin terutama pada malam hari,” pungkasnya.