Peran utama suatu negara adalah mewujudkan cita-cita bangsa yang termaktub di setiap konstitusi atau Undang-Undang Dasar Negara yang bersangkutan. Cita-cita bangsa Indonesia tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar Konstitusi Negara Republik Indonesia, baik sebelum maupun sesudah diamandemen, mempunyai semangat yang kuat akan kesejahteraan warga negara dan membentuk negara kesejahteraan.
Bagi Indonesia, salah satu tujuan negara adalah untuk memajukan kesejahteraan warga negara Indonesia dan membentuk negara kesejahteraan, sebagaimana yang sudah disebutkan di dalam pembukaan ke IV yang bunyinya; “....membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia... untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial...”
Baca Juga : Elegan nan Cantik, Cara Pakai Abaya Berkonsep ala Beberapa Negara
Namun dalam implementasinya, kasus korupsi terhadap keuangan negara dengan berbagai modus tumbuh subur dengan sangat mengejutkan. Pemerintah sebagai pengelola keuangan negara yang acapkali menyalahgunakan kewenangannya (abuse of power), dalam mengelola keuangan negara. Sehingga akibatnya kerugian negara yang ditimbulkan oleh tindakan korupsi sangatlah besar.
Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut nilai kerugian negara yang timbul akibat kasus korupsi meningkat signifikan dari tahun 2019 ke 2020. Sepanjang tahun 2020, total kerugian yang dialami oleh negara akibat tindak pidana korupsi mencapai Rp 56,7 triliun, yang mana angka ini meningkat sebanyak 4 kali lipat ketimbang tahun 2019. Dari kenyataan tersebut berbading terbalik dengan tujuan pengelolaan keuangan negara, yang bertujuan untuk menjamin eksistensi negara dalam rangka menciptakan kesejahteraan, menjamin pemenuhan hak-hak masyarakat dan membiayai pelayanan kepada masyarakat.
Pada tahun 2003 setelah reformasi, muncul gagasan baru bahwasanya tindakan korupsi merupakan suatu extraordinary crime yang mana memang harus diatasi dengan cara-cara yang tidak biasa pula, yaitu dengan mendirikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang memiliki tugas dan fungsi untuk memberantas korupsi.
Korupsi pada dasarnya merupakan suatu penyalagunaaan wewenang. Sebab, telah ditegaskan didalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), bahwasanya semua hal yang berhubungan dengan tindak pidana korupsi, hanya mungkin dilakukan oleh mereka yang memiliki wewenang, atau setidak-tidaknya mereka yang mempunyai akses pada wewenang. Berbicara tentang wewenang berarti berbicara tentang kekuasaan. Hanya mereka yang memiliki kekuasaan atau akses terhadap kekuasaan yang dapat melakukan penyalagunahan kekuasaan. Sehingga, jika didirikannya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kemudian diberi tugas dan fungsi untuk memberantas korupsi, maka pada saat yang sama dapat disimpulkan, bahwasanya KPK akan berhadapan langsung dengan kekuasaan yang koruptif.
Setiap waktu ketika KPK menjalankan fungsinya, lembaga ini akan selalu berhadapan dengan resiko adanya upaya perlawanan balik untuk menghentikan langkah pemberantasan tindak pidana korupsi (trigger mechanism).
Upaya Pemberantasan Korupsi
“KPK itu ibarat pisau bedah, sedangkan kekuasaan ialah tubuh yang memegang pisau tersebut. Yang mana tubuh tersebut mesti mengizinkan pisau yang dipegangnya untuk memotong sebagian dari dirinya akibat terdapat cancer”.
Hal tersebut tentu memberikan dilema terhadap kekuasaan. Karena pada dasarnya kekuasaan harus merelakan dirinya, dengan memberikan dukungan kepada KPK yang sebenarnya mau memberantas sebagian dari dirinya yang koruptif. Dan memang dukungan tersebut harus benar-benar ada, sebab terdapat public reasoning, terdapat moral public yang menuntut agar kekuasaan tidak hanya duduk untuk mempertahankan dirinya, tetapi berbuat lebih banyak untuk kemajuan, salah satunya memberikan dukungan terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi (trigger mechanism). Sehingga dukungan tersebut yang menjadi suatu hal yang sangat penting.
Maukah kekuasaan (pemerintah) tersebut mendukung KPK yang salah satu fungsinya akan berhadapan dengan dirinya sendiri?
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat dikatakan belum paripurna dalam artian bentukan lembaga anti korupsi yang baik. Salah satunya karena KPK tidak terdapat di konstitusi. Itulah sebabnya, dengan tidak adanya KPK di konstitusi maka KPK akan selalu dirongrong oleh upaya perubahan undang-undang secara biasa. Hal ini tentu tidak bisa dipungkiri lagi, sebab selalu ada isu untuk perubahan undang-undang KPK.
Selain itu, KPK juga lemah dan dilemahkan. Apa yang membuat KPK selama ini baik? Karena ada orang-orang baik di dalam tubuh KPK. Hal ini tentunya relevan dengan ucapan Prof. B.M. Taverne, seorang ahli hukum berkebangsaan Belanda mengatakan bahwa “kesemuanya pada akhirnya tergantung pada manusianya”. Jadi yang membuat KPK selama baik ialah bukan undang-undangnya, dukungan politisnya, pemerintahnya, tapi mereka yang memiliki integritas, profesionalisme dan serta independensi dalam tubuh KPK itu sendiri.
Baca Juga : Grup Band Festival dan Gemuruh Musik Bawah Tanah, Era Baru Arek Malang Tahun 90-an
Karena telah menjadi rahasia umum, bahwa selama adanya KPK selalu ada upaya untuk melemahkan KPK dengan berbagai cara, yaitu melalui revisi UU KPK serta penyarangan terhadap pegawai-pegawai KPK.
Pelemahan KPK dengan mengubah UU Nomor 30 Tahun 2002 menjadi UU Nomor 19 Tahun 2019, tentu bukan menjadi penghambat dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi (trigger mechanism). Sebab, penyelidik KPK masih bisa melakukan operasi tangkap tangan (OTT) bisa mengembangkan sebuah kasus-kasus besar. Hal ini pula yang melatarbelakangi lahirnya produk-produk hukum berupa Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020 yang tentunya menjadi dasar alih status pegawai KPK untuk menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
Tes Wawasan Kebangsaan
Lantaran pegawai KPK masih bisa bekerja sesuai dengan tugasnya meskipun telah adanya revisi terhadap UU KPK, maka cara yang digunakan untuk melemahkan pemberantasan tindak pidana korupsi (trigger mechanism) ialah dengan menyelenggarakan tes wawasan kebangsaan (TWK) kapada para pegawai KPK untuk secara resmi mendapatkan status sebagai ASN.
TWK dijadikan sebagai bentuk uji wawasan dan pengetahuan calon ASN yang meliputi Pancasila, UUD, serta wawasan kebangsaan lainnya. Hal itu dimaksudkan agar pemerintah mengetahui seberapa dalam pengetahuan tentang dasar negara yang dimiliki oleh para calon ASN. Akan tetapi, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam soal TWK rupanya cukup ganjal dan kontroversial. Pasalnya, terdapat banyak pertanyaan yang dinilai tidak masuk akal dan jauh dari perihal kebangsaan sehingga hal tersebut mengundang kontroversi dari masyarakat dan politisi lain.
Berdasarkan data KPK, dari 1.351 pegawai yang menjalani TWK, 1.274 pegawai dinyatakan lulus, sementara 75 pegawai sisanya dinyatakan gagal. Apa yang lebih mencengangkan adalah fakta bahwa kebanyakan dari 75 orang tersebut rupanya merupakan orang-orang yang disegani akan integritasnya dalam menjalani kewajiban mereka sebagai anggota KPK. Padahal, secara gamblang dalam Pasal 1 PP No. 41 Tahun 2020 telah dijelaskan bahwa alih status merupakan proses pengangkatan pegawai KPK menjadi ASN, bukan proses ujian, apalagi proses seleksi. Tetapi TWK masih saja dijadikan dalih untuk mengukur sedalam apa rasa nasionalisme pegawai KPK, yang sebenarnya dijadikan alat agar pemerintah dapat melanggengkan praktik-praktik penyalagunaan wewenang di Negara Indonesia.
Masa Depan Pengawasan Pengelolaan Keuangan Negara Indonesia
KPK sangat diperlukan dalam melakukan pengawasan terhadap pengelolaan keuangan negara. Oleh karena itu fungsi pengawasan terhadap KPK sebagai suatu lembaga ekstra struktural (State Auxiliary Agency) dapat melakukan represif action jika ditemukan indikasi kuat adanya penyimpangan (anomali) terhadap pengelolaan keuangan negara.
Berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, telah tercantum salah satu tugas KPK ialah berkoordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindakan pidana korupsi (trigger mechanism).
Tetapi, realita hari ini tentu sangat jauh dari kondisi ideal yang diharapkan yang tentunya membuat bangsa ini skeptis dengan masa depan perahu pengawasan pengelolaan keuangan negara ini. Hal ini tentunya disebabkan oleh serangan koruptur kepada KPK yang tidak henti-hentinya. Padahal sudah tentu, ketika negara ini didalamnya selalu dilanggengkan oleh praktik-praktik korupsi, maka bisa dipastikan masyarakat akan jauh dari kata sejahtera dalam segala lini karena negeri ini sibuk digerus oleh mereka-mereka yang memiliki kuasa.
Sungguh, segala lini di negara ini telah koruptif, penguasa sudah saling bergandengan tangan untuk pembiaran terhadap korupsi hingga ingin membubarkan KPK agar makin berjaya diatas kursi kekuasaannya. Sehingga, pengawasan pengelolaan keuangan negara hanya menjadi formalitas belaka jika saja KPK sampai dibubarkan, karena tak akan ada lagi lembaga anti korupsi yang dengan integritas, profesionalisme dan independensinya yang tinggi yang akan berkoordinasi dengan instansi lainnya, serta akan terdapat ketimpangan pada instansi tersebut dalam menjalankan fungsinya. Selain itu praktik tindak pidana korupsi makin tumbuh subuh di negeri ini hingga kekayaan negeri habis terkuras hanya untuk memperkaya sekelompok orang. Kalaupun akan dibentuk lembaga anti korupsi baru, maka bisa dipastikan itu hanya salah satu cara penguasa untuk mengecoh publik, sekedar formalitas untuk menunjukkan bahwa penguasa melakukan upaya pemberantasan korupsi