INDONESIATIMES- Asy-Syinqithi merupakan sebuah suku pedalaman padang pasir di negeri Afrika tepatnya di negara Mauritania. Suku tersebut sangat jauh dari moderenisasi dan teknologi.
Mereka hidup dengan ilmu dan ketakwaan pada Allah. Dari mulai lahir hingga meninggal dunia.
Baca Juga : Ada-Ada Saja, Hanya Wali Allah ini yang Berani Kelabui Malaikat Munkar dan Nakir
Kendati demikian, mereka adalah suku yang paling disegani dunia Islam khususnya Masyaikh (Syaikh) Saudi Arabi. Lantas apa sebenarnya yang membuat suku Asy-Syinqithi sangat istimewa?
Karena kebiasaan mereka dalam menuntut ilmu-lah yang rupanya menjadikan suku ini sangat istimewa. Secara adat, di sana jika ada anak umur 7 tahun belum hafal Alquran bagi mereka adalah sebuah aib (memalukan).
Melansir melalui pks.malaysia.org, mereka mendapatkan pendidikan Alquran bukan hanya sejak kecil. Namun sejak masih dalam keadaan bayi.
Saat ada ibu hamil, sang ibu tak akan menghabiskan waktu hanya untuk tidur di kasur. Melainkan para calon ibu akan menyibukkan diri untuk muraja'ah hafalannya hingga ibu itu terasa letih karenanya.
Lalu setelah bayi itu lahir, sekeluarga akan muroja'ah bersama. Seorang anak muroja'ah kepada bapak atau ibunya, maka diwajibkan untuk dia muroja'ah di depan adiknya yang masih bayi pula.
Saat ibunya sedang menggendong bayi itu, kakaknya muroja'ah kepada ibunya. Kalaupun suara tangisan bayi mengganggu kakaknya maka itulah tantangan bagi mereka.
Ketika mereka berusia 7 tahun ke atas, mereka akan pergi kepada masyaikh untuk belajar agama. Namun, mereka tidak belajar di dalam kelas, melainkan di dalam tenda tengah gurun pasir yang panas.
Mungkin dalam fikiran kita menyakitkan karena panasnya. Namun itu nikmat untuk mereka karena rasa ingin tahu yang tinggi pada diri mereka menjadikan sedikit ilmu adalah nikmat dan rizki yang melimpah bagi mereka, bukan harta.
Ketika Syaikh berkata, “istami’ (dengarkan), maka semuanya menatap Syaikh tersebut dan menyimak dengan seksama. Tidak ada yang berani menulis bahkan bermain pena, karena akan dimarahi.
Baca Juga : Peringati Isra Mikraj di Tengah Pandemi, Mahasiswa Unisba Blitar Gelar Webinar
Kemudian setelah Syaikh menjelaskan panjang lebar, barulah mereka menulis. Uniknya bukan di atas kertas, melainkan di batu, daun, kulit pohon dan yang sejenisnya mereka bawa dari rumah.
Anehnya disana memakai kertas merupakan perkara terlarang, mereka hanya membawa selembar saja. Setelah mereka menulis, Syaikh akan mengkoreksi dan jika ada yang salah maka akan dikembalikan untuk dibetulkan hingga sama persis seperti apa yang diucapkan Syaikh. Setelah mereka menulisnya dengan benar Syaikh kemudian memerintahkan untuk menghapusnya.
Mungkin heran kenapa hal yang sudah dikerjakan harus dihapus, maka begitulah pendidikan disana. Setelah itu Syaikh akan melanjutkan pelajaran berikutnya sampai selesai seperti metode sebelumnya.
Setelah pelajaran selesai, mereka pulang ke rumah dan barulah saat itu mereka menulis kembali apa yang sudah dihafalnya. Luar biasanya, hafalan mereka melekat seerat-eratnya dan bahkan dengan sekejap saja.
Kemudian, pada usia ke 17 tahun mereka sudah menjadi mufti dan bisa memberikan fatwa. Belajar dengan menghafal dan mencatatnya diatas kayu (lahwah).
Tak jarang diantara mereka yang berguru kepada ayah , kakek, ibu dan paman serta bibinya.