Sekarang saatnya menumbuhkembangkan soliditas dan kebersamaan sesama pengusaha media massa seiring dengan meningkatnya perkembangan media massa dengan tantangan dan dinamika yang harus dihadapi. Pesaing atau kompetitor sesungguhnya bagi media massa dalam era digital saat ini adalah media sosial, bukan lagi antar-lembaga media massa satu dengan yang lain.
Ungkapan itu disampaikan Ainur Rohim, ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dalam seminar Kampanye Sehat di Media Massa yang digelar PWI Kabupaten Banyuwangi di Pendapa Shaba Swagatha Blambangan, Banyuwangi .
Baca Juga : Musim Hujan, Kapolres Bersama Bupati Madiun Lakukan Kerja Bakti Masal
Menurut Ainur Rohim, salah satu indikator persaingan antara media massa dengan media sosial, berdasarkan riset pada tahun 2015, jumlah total iklan yang tercatat sekitar Rp 163 triliun. Dari jumlah itu, sekitar 62 persen merupakan iklan yang diarih televisi (TV). Kemudian sisa 7,2 persen atau sekitar Rp 12 triliun, yang 70 persen diraih oleh media sosial seperti Facebook,Google, Twitter, Yuotube dan lain-lain. Sementara media online mendapatkan bagian iklan sebesar 30 persen dari Rp 12 triliun.
“Itu fakta yang tentunya sangat memprihatinkan, tapi jangan sampai kemudian hal itu mematahkan semangat semua jurnalis,” tegas Ainur Rohim.
Lebih lanjut pria berpenampilan kalem itu menambahkan, negara-negara AS dan Eropa merasa kecolongan dan kewalahan dalam menghadapi media sosial tersebut serta kesulitan dalam menarik pajak. Apalagi Indonesia. Pemerintah tidak mampu menarik pajak dari mereka (Youtube, FB, Twwiter dan lain sebagainya).
Menurut Ainur, seyogyanya Dewan Pers bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) RI berupaya mencari solusi atas persoalan yang terjadi. "Sudah saatnya mewujudkan soliditas sesama organisasi profesi dan membangun sinergitas positif dalam menghadapi pesaing terberat yang sesungguhnya dalam mendapatkan hak iklan yang ada,”imbuh dia.
Dalam upaya menjaga eksistensi media massa sebagai pilar demokrasi keempat, pemerintah maupun stakeholder atau pemangku kepentingan yang lain diharapkan bisa memberikan atensi lebih untuk media massa. Pasalnha, platform media massa itu pada hakikatnya punya tugas dan kewajiban untuk memberikan pendidikan dan literasi kepada masyarakat luas. Terlebih, pendidikan masyarakat di media massa itu jauh lebih terarah dan terukur serta memiliki pedoman yang jelas.
“Di media massa, ada proses klarifikasi, verifikasi, dan konfirmasi, sebelum suatu informasi itu disampaikan kepada masyarakat. Sementara di media sosial tiga proses tersebut tidak ada,” jelasnya.
Baca Juga : Kendati Unras Dikecam Warga Malang dan Aremania, Kelompok Cipayung Tetap Lakukan Aksi
Salah satu dampak informasi yang disebarkan melalui media sosial bisa mengakibatkan masyarakat menjadi kelompok yang apatis. Bahkan di sisi yang lain, dengan mudahnya mendapatkan informasinya itu tidak tersaring dengan baik sehingga sebagian masyarakat akan tumbuh menjadi kelompok yang liar. Para pihak memiliki tugas dan kewajiban untuk menjaga dan melindungi masyarakat agar tidak mendapatkan informasi yang sebaik di media massa bermartabat proporsional dan dapat dipertanggungjawabkan.
“Dalam masa kampanye pilkada serentak, jurnalis memiliki peran dan fungsi dalam melakukan pendidikan politik dan membangun kesadaran masyarakat agar mampu menerima perbedaan pendapat maupun beda pilihan. Sebuah realitas yang lumrah dan wajar dalam alam demokrasi agar timbul konflik sosial atau polemik di masyarakat,” imbuhnya.
Sedangkan narasumber lain dalam acara seminar adalah Kapolresta Banyuwangi Kombespol Arman Asmara Syarifudin dan Ahmad Jauhar dari Dewan Pers RI.