Ramalan dalam Pandangan Hukum Islam: Larangan dan Konsekuensinya
Reporter
Anggara Sudiongko
Editor
Sri Kurnia Mahiruni
06 - Feb - 2025, 08:53
JATIMTIMES - Belakangan ini, topik mengenai ramalan kembali menjadi perbincangan hangat di Indonesia. Fenomena ini bahkan sempat viral di media sosial, dengan berbagai opini yang bertebaran mengenai bagaimana Islam memandang praktik meramal, serta bagaimana seharusnya seorang Muslim bersikap terhadap ramalan yang ternyata terbukti.
Menanggapi fenomena ini, Ustaz Ahmad Sarwat Lc dari Rumah Fiqih Indonesia memberikan penjelasan tegas mengenai hukum ramalan dalam Islam. Dalam penjelasannya, Ustaz Sarwat merujuk pada istilah 'arraf' dalam bahasa Arab, yang mencakup orang-orang yang mengklaim dapat mengetahui hal-hal gaib, baik mengenai masa depan maupun tentang hati seseorang.
Baca Juga : Pendapat Pakar Hukum Soal Ganti Rugi Kasus Tukang Sayur Desa Pesu
Mereka biasanya menggunakan berbagai cara, seperti berhubungan dengan jin, melihat dengan cara tertentu, atau bahkan menggunakan metode yang lebih absurd, seperti membaca alas gelas atau mengamati garis-garis di pasir. Ustad Sarwat menegaskan bahwa menjadi peramal adalah dosa dalam Islam.
Menurut Ustaz Sarwat, perbuatan meramal atau mendatangi peramal untuk bertanya tentang masa depan memiliki konsekuensi yang sangat serius dalam Islam. Salah satu hadis yang sering dikutip dalam hal ini adalah sabda Nabi Muhammad SAW: “Siapa yang mendatangi ‘arraf dan membenarkan apa yang dikatakannya, maka tidak diterima salatnya selama empat puluh hari” (HR Muslim dan Ahmad).
Hadis ini menunjukkan bahwa, meskipun peramal mungkin memiliki informasi yang menarik atau bahkan terbukti benar, kepercayaan kepada mereka tetap dilarang, dan seseorang yang mempercayai ramalan tersebut akan mendapatkan sanksi tidak diterimanya ibadah salat selama empat puluh hari.
Lebih lanjut, Ustaz Sarwat menjelaskan bahwa lebih dari sekadar melarang praktik ramalan, Islam juga melarang umatnya untuk membenarkan klaim-klaim yang datang dari peramal atau dukun. Hal ini merujuk pada sebuah hadis yang berbunyi: “Barangsiapa yang mendatangi kahin (dukun) dan membenarkan apa yang dikatakannya, maka ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW” (HR Abu Daud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, dan ad-Darimi).
Menurut ajaran Islam, hanya Allah SWT yang mengetahui hal-hal gaib, sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur'an: "Katakanlah: Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang gaib, kecuali Allah" (QS An-Naml: 65)...