Santri Kampung dan Semangat Dakwah: Melestarikan Wayang dan Dzikir KH Hasyim Asy’arie
Reporter
Aunur Rofiq
Editor
Dede Nana
11 - Jan - 2025, 08:16
JATIMTIMES - Dalam sejarah panjang Nusantara, dakwah dan budaya selalu berjalan beriringan. Seperti dua sisi koin, keduanya menjadi medium untuk menanamkan nilai-nilai spiritual dan melestarikan warisan leluhur.
Di tengah dinamika modernitas, seorang santri asal Blitar, Nanang Wisanggeni (45), menjadi sosok inspiratif yang menggabungkan dakwah dengan seni tradisional wayang kulit, sekaligus membangun komunitas Majelis Dzikir dan Taklim Taubatan Nasuha yang ia dirikan.
Baca Juga : 7 Cara Efektif Pengobatan untuk Infeksi Jamur pada Kulit yang Terbukti Ampuh
Berdomisili di Desa Sumber, Kecamatan Sanankulon, Kabupaten Blitar, Nanang adalah alumnus Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang, yang sejak muda sudah tertarik pada sejarah dan budaya Jawa. Ia percaya bahwa seni dan dakwah adalah dua kekuatan yang dapat menyatu untuk menyentuh hati masyarakat.
Mengenalkan Dakwah Melalui Media Wayang
Sejak tahun 2007, Nanang telah aktif berdakwah menggunakan media wayang kulit. "Dakwah dengan wayang ini selain mengangkat budaya, juga menunjukkan bahwa meskipun kita beragama Islam, kita tetap tidak melupakan leluhur kita. Doa-doa pendahulu adalah bagian dari perjalanan kita saat ini,” ungkap Nanang kepada media ini, Jumat (10/1/2025).
Media wayang, menurut Nanang, memiliki keunikan karena mampu menyampaikan pesan moral dan agama dengan cara yang menarik. Dalam setiap pementasan, cerita-cerita yang diangkat selalu dikaitkan dengan ayat-ayat Al-Qur'an, hadits, serta kisah-kisah para nabi. "Dengan alat peraga seperti wayang, masyarakat lebih mudah mengingat pesan yang disampaikan. Harapannya, mereka tidak hanya mengingat, tetapi juga mengamalkannya," ujarnya.
Kegiatan dakwahnya membentang ke berbagai wilayah, seperti Ngliyep dan Donomulyo di Malang Selatan, Beji di Tulungagung, serta kota dan kabupaten Blitar. Baginya, wayang bukan sekadar seni tradisional, tetapi juga metode pembelajaran yang efektif. "Kalau kita sekolah dulu, ada yang namanya media pembelajaran. Wayang ini adalah media itu," tambahnya.
Nanang mengaku, inspirasinya menggunakan wayang berasal dari kegemarannya pada sejarah budaya Jawa, khususnya tentang masuknya Islam ke Nusantara. Ia juga terinspirasi dari ulama Jawa Tengah yang menggunakan media serupa. Untuk memperdalam ilmunya, ia sering melakukan penelitian langsung, baik di Yogyakarta maupun dari guru-guru lokal di Blitar. "Tanpa guru, saya merasa kurang puas. Karena itu, saya selalu belajar meskipun dengan keterbatasan," ungkapnya.
Selain wayang, ia juga mengombinasikan dakwahnya dengan hadrah, musik organ tunggal, atau bahkan pengobatan alternatif seperti terapi bekam. Hal ini ia lakukan untuk menciptakan suasana yang hidup dan menarik, sekaligus memberikan manfaat langsung bagi masyarakat.
Majelis Dzikir Taubatan Nasuha
Pada 2023, Nanang mendirikan Majelis Dzikir dan Taklim Taubatan Nasuha. Ia menyebut majelis ini sebagai wujud semangatnya memperbaiki diri dan mengajak orang lain untuk mendekatkan diri kepada Allah. "Saya merasa setelah umur 40 ke atas, keinginan untuk hidup lebih baik itu sangat tinggi. Walaupun kita bukan orang baik, kita terus belajar untuk berbuat lebih baik," katanya.
Majelis yang diadakan setiap malam Rabu ini memiliki ciri khas tersendiri. Dzikir yang dipimpin oleh Nanang menggunakan metode Dzikir Hasimiyah, yang diwariskan oleh Hadratus Syekh KH Hasyim Asy'ari, pendiri Nahdlatul Ulama. Dzikir ini menjadi sarana untuk menguri-uri (melestarikan) peninggalan para ulama Nusantara yang telah berkontribusi besar dalam perjuangan keilmuan dan kemerdekaan Indonesia.
Jamaah majelis ini beragam, mulai dari petani, mahasiswa, hingga guru. Meski belum besar, kegiatan rutin mereka mampu menarik antara 50 hingga 150 orang, terutama pada momen-momen tertentu seperti peringatan hari besar Islam atau nasional.
Nanang menjelaskan bahwa kegiatan di majelisnya tidak hanya terbatas pada dzikir. Setelah melantunkan dzikir, jamaah diajak untuk mendalami kitab-kitab kecil karya ulama, seperti karangan Imam Nawawi. “Durasi pengajian hanya sekitar 15 menit, agar tidak terlalu berat bagi jamaah,” jelasnya.
Baca Juga : 7 Cara Mengatasi Sakit Gigi dengan Bahan Alami yang Terbukti Ampuh
Selain itu, majelis ini sering diakhiri dengan doa bersama dan sesi diskusi santai, yang kadang diselingi dengan layanan pengobatan alternatif. Nanang percaya bahwa dakwah tidak harus meninggalkan identitas budaya lokal. Ia mencontohkan perjuangan para kiai terdahulu yang mampu menyatukan nilai-nilai Islam dengan tradisi Jawa, sehingga pesan dakwah dapat diterima oleh masyarakat secara luas.
“Cikal bakal leluhur kita tidak bisa dilepaskan dari doa-doa mereka. Bahkan, perjuangan para kiai untuk kemerdekaan Indonesia adalah bagian dari keberkahan yang kita nikmati hari ini,” tuturnya.
Dalam setiap dakwahnya, ia selalu mengingatkan jamaah untuk tidak melupakan sejarah. Bagi Nanang, melestarikan seni tradisional seperti wayang adalah bentuk penghormatan terhadap warisan leluhur.
"Wayang ini adalah penghubung antara budaya dan agama. Dengan mengenalnya, kita memahami identitas kita sebagai bangsa," katanya.
Nanang Wisanggeni adalah potret seorang dai yang mampu menjembatani tradisi dan modernitas. Melalui media wayang dan dzikir, ia tidak hanya menyampaikan pesan agama, tetapi juga melestarikan kebudayaan lokal. Di tengah arus globalisasi yang sering kali mengikis identitas budaya, sosok seperti Nanang menjadi inspirasi bahwa tradisi dapat berjalan harmonis dengan nilai-nilai universal.
"Semoga dakwah kecil ini ada manfaatnya, meskipun keilmuan saya masih sangat terbatas. Bismillah, saya yakin bahwa langkah kecil ini adalah bagian dari upaya untuk melanjutkan perjuangan para ulama," tutupnya dengan penuh harap.
Dengan komitmen seperti ini, Nanang tidak hanya menjadi pelestari budaya, tetapi juga penjaga warisan spiritual yang diwariskan oleh para ulama Nusantara. Dakwahnya adalah bukti bahwa seni dan agama dapat bersinergi untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik, berbudaya, dan beriman.