Kuliner Asli Jawa: Menelusuri Tradisi, Identitas, dan Warisan Sejarah
Reporter
Aunur Rofiq
Editor
Nurlayla Ratri
02 - Jan - 2025, 03:06
JATIMTIMES- Dalam kajian budaya dan sejarah, kuliner sering kali menjadi pintu masuk untuk memahami identitas sebuah masyarakat. Demikian pula dengan kuliner asli Jawa, yang menyimpan narasi panjang tentang adaptasi, invensi, dan pergeseran nilai budaya.
Namun, pertanyaan yang tak jarang muncul adalah: apa sebenarnya kuliner asli Jawa? Artikel ini mencoba mengurai fakta-fakta sejarah dengan bahasa yang cerdas dan kritis, menantang stereotip sekaligus mengungkap sisi-sisi tersembunyi tradisi kuliner masyarakat Jawa.
Kuliner Populer yang Berakar dari Tradisi Asing
Baca Juga : Puncak Harlah Pondok Pesantren Al Falah Ploso Kediri: Refleksi 1 Abad Khidmah untuk Bangsa
Bakso, bakmi, dan soto adalah ikon kuliner Nusantara yang sering dikaitkan dengan budaya Jawa. Namun, jejak sejarah menunjukkan bahwa makanan ini berasal dari akulturasi budaya Tionghoa.
Melansir berbagai sumber, pedagang Tionghoa yang datang sejak abad ke-9 membawa tidak hanya barang dagangan, tetapi juga tradisi kuliner mereka. Misalnya, teknik membuat mie dan sup berkuah kental menjadi inspirasi lahirnya bakso dan soto. Bahkan, cara berjualan keliling dengan gerobak pun diadopsi dari tradisi mereka.
Selain itu, makanan lain seperti lumpia Semarang, wedang ronde, nasi goreng, hingga bakpia khas Jogja juga merupakan hasil inovasi masyarakat Tionghoa. Kuliner-kuliner ini, meski kini dianggap bagian dari identitas lokal, sejatinya adalah bukti nyata dari persinggungan budaya yang berlangsung selama berabad-abad.
Tumpeng dan Jejak Hindu-Buddha
Tumpeng, yang sering dianggap simbol budaya Jawa, ternyata memiliki akar kuat dalam tradisi Hindu-Buddha India. Nasi berbentuk kerucut yang melambangkan Gunung Mahameru mencerminkan kosmologi Hindu, di mana gunung dianggap sebagai tempat suci para dewa. Tradisi ini diadaptasi oleh masyarakat Jawa sejak era Majapahit dan terus berkembang menjadi bagian dari ritual keagamaan atau adat.
Namun, pertanyaan utama tetap: apa yang benar-benar khas dan asli dari kuliner Jawa? Jawabannya, meski mencengangkan, mengarahkan kita pada tradisi yang ekstrem dan terkadang tabu.
Tradisi Kuliner Ekstrem Orang Jawa
Raden Ayu Koes Dwayati Soegondo Coleman, cucu Bupati Pasuruan Harjo Soegondo, mengungkapkan bahwa masyarakat Jawa kuno memiliki kebiasaan makan belatung ayam. Ayam yang disembelih dibiarkan hingga jeroannya mengeluarkan belatung, yang kemudian dikonsumsi. Praktik ini terdokumentasi dalam seminar yang ia hadiri dan dapat dilacak melalui arsip berita.
Selain belatung ayam, kutu rambut juga menjadi bagian dari kuliner tradisional. Dalam tradisi pedesaan Jawa, orang tua sering memakan kutu yang ditemukan di rambut anak-anak mereka, dengan keyakinan bahwa hal ini memiliki khasiat pengobatan. Arsip Perpustakaan Nasional mencatat kebiasaan ini sebagai salah satu praktik unik masyarakat Jawa.
Dalam kronik Tionghoa, pelaut-pelaut mencatat bahwa masyarakat Jawa juga memakan ulat pohon yang dipanggang di atas batu panas. Hingga kini, praktik ini masih ditemukan di wilayah-wilayah tertentu, seperti Gunungkidul dan Jawa Timur.
Makan Daging dan Darah Manusia: Jejak Bhairawa Tantra
Salah satu tradisi paling ekstrem dalam sejarah kuliner Jawa adalah konsumsi daging dan darah manusia. Praktik ini dikaitkan dengan penganut Bhairawa Tantra, sebuah aliran kepercayaan yang berkembang pada era Majapahit. Ritual ini biasanya dilakukan setelah upacara keagamaan yang melibatkan pesta ritual.
Legenda Ratu Boko di Yogyakarta juga menyinggung kebiasaan ini. Dalam cerita rakyat, Ratu Boko digambarkan sebagai raja yang gemar menyantap daging dan darah manusia. Meski tradisi ini telah lama ditinggalkan, sisa-sisa praktiknya dapat ditemukan dalam konsumsi darah hewan yang dibekukan, atau yang dikenal sebagai saren. Hingga kini, hidangan saren masih menjadi favorit di beberapa wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Kuliner Kuno Berdasarkan Catatan Asing dan Prasasti
Baca Juga : Pangeran Adipati Ario Suryokusumo: Pencipta Seni Bela Diri Langkah Empat Keraton Sumenep
Selain tradisi ekstrem, catatan asing dan prasasti Jawa mencatat beragam jenis makanan kuno yang menarik perhatian. Pecel pada masa itu terdiri dari rebusan daun hutan atau buah tertentu yang diberi bumbu rempah khas. Asu tugel adalah hidangan yang dibuat dari anjing yang telah dikebiri, sementara karung pulih merupakan masakan berbahan dasar babi yang juga dikebiri.
Iwak taluwah dikenal sebagai hidangan ikan, sedangkan badawang merujuk pada masakan berbahan penyu. Deng asin merupakan daging yang diasinkan untuk keawetan dan cita rasa. Skul dandananihiniru adalah nasi yang dimasak secara tradisional dengan cara dikukus dalam sebuah dandang. Makanan-makanan ini menjadi bagian dari perjalanan sejarah kuliner Jawa yang kaya dan penuh keunikan.
Jenis-jenis makanan ini menunjukkan bahwa masyarakat Jawa memiliki keterampilan adaptasi terhadap lingkungan, memanfaatkan bahan-bahan lokal untuk kebutuhan konsumsi mereka.
Islamisasi dan Perubahan Arah Kuliner Jawa
Islamisasi yang terjadi pada abad ke-15 membawa perubahan besar dalam budaya Jawa, termasuk dalam tradisi kuliner. Walisongo, yang memainkan peran penting dalam penyebaran Islam, fokus pada transformasi nilai-nilai masyarakat. Kuliner ekstrem seperti konsumsi darah dan daging manusia digantikan dengan makanan yang lebih sesuai dengan ajaran Islam.
Transformasi ini tidak hanya mengubah pola makan, tetapi juga memperkuat identitas baru masyarakat Jawa. Pecel, misalnya, menjadi simbol sederhana dari kesederhanaan dan harmoni, sesuai dengan nilai-nilai Islam yang diajarkan Walisongo.
Mencari Identitas dalam Kompleksitas
Kuliner asli Jawa, dengan segala kompleksitasnya, adalah cerminan dari perjalanan sejarah yang panjang dan penuh tantangan. Dari pengaruh Tionghoa, Hindu-Buddha, hingga Islam, setiap lapisan budaya meninggalkan jejak yang mendalam.
Namun, di balik itu semua, kuliner asli Jawa adalah bukti adaptasi dan daya tahan masyarakatnya. Meski beberapa tradisi ekstrem telah ditinggalkan, mereka tetap menjadi bagian dari narasi besar yang membentuk identitas Jawa hari ini. Dalam dunia yang semakin homogen, melacak akar kuliner asli ini tidak hanya penting untuk memahami sejarah, tetapi juga untuk merayakan keragaman budaya yang kaya.