free web hit counter
Jatim Times Network
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Peristiwa

Jejak Pemberontakan Pangeran Alit: Dari Pengasingan Menuju Alun-Alun Kematian

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : A Yahya

15 - Jul - 2025, 08:25

Placeholder
Lukisan cat minyak bergaya realis ini menampilkan Sunan Amangkurat I di masa mudanya, saat ia naik takhta sebagai penguasa Mataram pada 1646. (Foto: created by JatimTIMES)

JATIMTIMES - Dalam bentangan sejarah Jawa abad ke-17, nama Pangeran Alit jarang berdiri di panggung utama. Namun, dalam ruang-ruang gelap istana Mataram, ia menjelma sebagai simbol pembelotan berdarah yang memotret rapuhnya tali kekeluargaan di bawah pusaran paranoia dan dendam politik. Uraian ini memaparkan bagaimana intrik, pengkhianatan, dan benturan kesetiaan mewarnai kisah Pangeran Alit. Laporan Van Goens, utusan VOC, dan serpihan tutur Jawa, membuka tabir bagaimana seorang adik raja dipaksa menempuh jalan kematian di alun-alun keraton yang justru dibangun ayahnya sebagai panggung legitimasi kekuasaan.

Awal Pemerintahan Amangkurat I: Luka yang Tak Pernah Pulih

Baca Juga : Viral Pengendara Beat Boncengan Tiga Tabrak Pemotor, Lima Luka-Luka

Mataram pada masa peralihan dari Sultan Agung ke putranya, Raden Mas Sayyidin alias Amangkurat I (Sunan Tegalwangi), adalah kerajaan raksasa yang retak dari dalam. Sultan Agung menanamkan kekuasaan mutlak dengan menaklukkan pesisir, membabat Blambangan, mengendalikan pesisir utara, dan melawan VOC di Batavia. Namun, warisan ini juga menyimpan dendam yang mendidih di kalangan bangsawan, bupati, dan elit birokrasi istana.

Dalam Reysbeschrijving (Laporan Perjalanan), Van Goens menuturkan bagaimana permusuhan Sunan Amangkurat I terhadap Tumenggung Wiraguna telah bersemi jauh sebelum penobatan. Setelah naik takhta, Amangkurat I menaikkan kedudukan Wiraguna seolah sebagai anugerah—padahal di balik kehormatan itu tersembunyi pisau penggerogot yang menyingkirkan penasihat-penasihat lama. Para pembantu setia Wiraguna diganti dengan abdi muda yang loyal kepada raja, menanamkan benih perpecahan yang segera berbuah maut.

Pada 1647, ketika prajurit Jawa terbunuh dalam serbuan orang Bali ke Blambangan, Amangkurat I melihat kesempatan untuk membereskan musuh lamanya. Ia pura-pura menyatakan akan memimpin ekspedisi sendiri, lalu atas “desakan” orang dalam, mendelegasikan tugas itu kepada Wiraguna. Apa yang ditulis Van Goens cukup jelas: Tumenggung Wiraguna tidak pernah kembali. Ia dikhianati di medan Blambangan, dieksekusi dengan dalih menjalankan perintah raja secara “tidak literal.” Dalam laporannya, Van Goens menuliskan nama Kiai Ngabei Wirapatra, orang kesayangan Sunan, sebagai tangan pembunuh yang menuntaskan perintah.

Gelombang Pembersihan: Dendam dan Purifikasi Kekuasaan

Pembunuhan Wiraguna hanyalah permulaan. Sunan Amangkurat I kemudian menoleh ke masa lalu, membuka ulang luka yang berakar pada laporan-laporan lama kepada Sultan Agung. Bagi Sunan, kelompok yang pernah “mengadu” tentang perilakunya pada masa putra mahkota, masih harus dilenyapkan. Instruksi keras pun turun: siapa saja yang dahulu bersama Wiraguna dan dianggap “pengkhianat,” beserta istri dan anak-anak mereka, harus dimusnahkan. Tak ada ruang pengampunan bagi darah yang dianggap cemar.

Van Goens mengisahkan betapa operasi pembantaian ini membunuh ribuan orang. Dalam kabar orang Belanda, mayat menumpuk di sudut-sudut Mataram; wanita dan anak-anak pun tak luput. Sebagian di antara mereka adalah keluarga birokrat lama yang pernah menopang Sultan Agung. Dari balik narasi ini, sejarawan menafsirkan keinginan Sunan Amangkurat I untuk memusatkan kekuasaan secara absolut. Namun, paranoia kekuasaan tak pernah steril. Gelombang pembersihan justru melahirkan ketakutan, membunuh kepercayaan, dan menanam benih pemberontakan baru.

Pangeran Alit: Adik yang Berjalan di Tepian Pisau

Dalam pusaran kecurigaan itu, sosok Pangeran Alit muncul sebagai ironi. Ia adik kandung Sunan Amangkurat I, darah daging yang semestinya menjadi tiang dukungan. Tetapi jaringan pengintai di dalam keraton membisikkan desas-desus: Pangeran Alit ditengarai berhubungan dengan para santri dan pemuka Islam, kelompok yang kala itu mulai dipinggirkan dari jantung kekuasaan Mataram. Hubungan ini bukan tanpa sebab. Hampir semua kawan lamanya di istana telah musnah. Satu-satunya celah untuk membangun perlawanan hanyalah merangkul kalangan yang paling sedikit dicurigai: para ulama, guru spiritual, dan santri.

Dalam versi tutur Jawa, Pangeran Alit dikenal sebagai sosok yang tidak mudah diperdaya. Ia tahu gerak-geriknya diawasi. Ia pun tak sudi menyerahkan nama orang-orang kepercayaannya. Desas-desus pun membesar: konon Pangeran Alit merencanakan pembunuhan kakaknya pada saat pertandingan gada berkuda. Jika rencana itu benar, maka medan eksekusinya adalah panggung keramat alun-alun—tempat raja menampakkan diri di hadapan rakyat, lambang kekuasaan mutlak, tetapi juga panggung darah bagi siapa pun yang menantangnya.

Dramaturgi Pengkhianatan: Dari Janji Ikrar ke Titah Pembuangan

Sunan Amangkurat I, yang dikenal cerdas membaca celah, tak terburu-buru menumpahkan darah saudaranya. Ia memanggil Pangeran Purbaya—pamannya, orang tua yang menjadi penengah di antara ketegangan kakak-beradik itu. Pangeran Purbaya memohon kepada Sunan agar tidak menodai tangannya dengan darah adik sendiri. Sebagai gantinya, Sunan berikrar. Dalam catatan Van Goens, ikrar itu diucapkan dengan kata-kata khidmat di antara mereka, seolah mengukuhkan janji suci bahwa darah Alit tak akan tertumpah.

Namun, di balik ikrar itu, intrik berjalan. Pangeran Alit diminta Purbaya menghadap kakaknya dengan satu pesan: ungkapkan semua nama kaki tangannya. Jika setia, nyawa akan selamat. Tetapi Pangeran Alit, setia pada lingkarannya, menolak. Ia tidak mau menyeret nama rekan-rekannya ke lubang pembantaian. Penolakan ini dibayar mahal. Sunan menanggalkan seluruh gelar kebangsawanan sang adik. Ia diperintahkan pergi ke rumah seorang Tumenggung — yang dalam catatan Van Goens tidak disebutkan namanya secara jelas — namun dikenal sebagai guru spiritual mereka berdua di istana Mataram. Bersama tidak lebih dari 300 pengikut, Pangeran Alit harus tinggal di sana tanpa hak melangkahkan kaki keluar, menanti perintah berikutnya. Bagi Pangeran Alit, pengasingan ini bukan sekadar hukuman, melainkan lorong sunyi menuju kebinasaan.

Pengasingan dan Penindasan: Bara yang Membakar

Di rumah Tumenggung guru spiritual itulah ketegangan merangkak ke puncak. Penyelidikan tak berhenti. Para abdi Pangeran Alit dicokok, disiksa, dipaksa menyebut nama para pemuka agama yang terlibat. Beberapa di antara mereka—demi menyelamatkan anak-istri—melakukan tuduhan palsu. Namun itu pun sia-sia. Van Goens mencatat: “Semuanya mereka, kecuali bayi-bayi, dibunuh. Para wanita dibagi-bagi di antara kawan-kawan raja.” Bagi Pangeran Alit, ini adalah penghinaan yang membakar harga diri. Tidak lagi tersisa ruang kompromi. Darah mesti dibayar dengan darah.

Dari 300 pengikut, hanya 50 hingga 60 orang yang masih setia. Maka diputuskanlah hari pembalasan: Senin atau Kamis, hari audiensi raja. Waktu yang tepat—rakyat berkumpul di alun-alun, para abdi sibuk, dan Sunan Amangkurat I tampil di muka umum. Pangeran Alit menyiapkan keris panjang, kuda pertempuran, dan satu ikrar: tidak akan hidup pulang.

Pertarungan di Alun-Alun: Panggung Darah Kekuasaan

Saat hari itu tiba, Pangeran Alit berkuda menembus alun-alun. Para pengiringnya menyerbu, tetapi pasukan raja lebih sigap. Puluhan pengikut Pangeran Alit disergap dan dibantai. Anehnya, sang pangeran sendiri dibiarkan hidup. Kudanya pun tak disentuh. Van Goens menduga: pengawalnya gamang. Mungkin karena hormat pada darah raja. Mungkin karena takut menjadi algojo seorang pangeran. Namun Pangeran Alit tak butuh pengampunan. Dengan keris panjang, ia membunuh dua puluh prajurit yang menghadangnya. Amangkurat I, yang menyaksikan dari balik barisan pengawal, hanya memerintah: “Tangan saya bersih dari darah adik saya.”

Saat bujukan tak berhasil, kuda Pangeran Alit ditembak jatuh. Ia melompat turun, berjalan kaki, menembus kepungan. Dalam kekacauan, ia berhasil membunuh seorang raden tua, orang yang sangat dicintai rakyat—bahkan juga raja. Batas kesabaran pun runtuh. Sunan memberi titah agar mantri-mantrinya bertindak. “Jangan biarkan diri kalian dibunuh adikku,” begitu kira-kira pesan yang tercatat. Pangeran Purbaya, yang sedari awal menjadi penengah, harus memutuskan akhir tragedi ini. Sunan pun mundur ke keraton. Sisanya adalah panggung maut.

Kematian Seorang Pangeran: Martir di Panggung Istana

Baca Juga : Ketua Fraksi Gerindra DPRD Banyuwangi Minta Usut Tuntas Tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya

Terkepung di tengah alun-alun, Pangeran Alit menolak menyerah. Ia melukai seorang pejabat penting. Desas-desus menyebut para pengawal yang semula menahan diri, kini bergerak. Tikaman keris menembus dada Pangeran Alit. Van Goens menulis dengan nada dingin: “Demikianlah meninggalnya adik Sunan.” Tidak lebih. Sejarah Jawa lisan menambahkan nuansa tragis—bahwa kematian Alit menjadi pertanda keretakan tak terobati antara darah saudara dalam singgasana.

Dalam bingkai historiografi, kisah ini dibaca sebagai episode di mana ketakutan memakan rasionalitas. Amangkurat I, demi mengamankan takhta, menumpahkan darah keluarga, sahabat, dan rakyatnya sendiri. Ironi Mataram menjadi jelas: istana yang dibangun Sultan Agung dengan darah musuh, justru meremukkan tubuhnya sendiri lewat purifikasi berdarah.

Jejak yang Tak Pernah Pudar

Jejak pemberontakan Pangeran Alit adalah catatan tentang perlawanan sunyi yang meledak dalam kegagahan bunuh diri politik. Ia tidak berakhir sebagai pangeran yang selamat, melainkan sebagai martir—korban paranoia seorang raja muda yang memegang kendali mutlak atas nyawa siapa saja. Dalam rekam sejarah Jawa, nama Pangeran Alit jarang menempati puncak daftar keturunan raja yang dipuja. Namun bagi mereka yang membaca kisah di balik dinding keraton, Alit adalah pengingat abadi: bahwa di balik gerbang megah istana, dendam, spiritualitas, dan ideologi sering saling menjagal tanpa mengenal garis darah.

Sementara Van Goens, sang penulis catatan, mungkin hanya melihat ini sebagai drama penyingkiran internal. Namun bagi penutur Jawa, perlawanan Pangeran Alit adalah bukti bahwa bahkan pengkhianatan sekalipun tak mampu membungkam kehormatan seorang bangsawan yang lebih memilih mati di panggung rakyat ketimbang menyerahkan nama sahabatnya ke penguasa. Dan di antara mitos Jawa, kisahnya tetap berdesir: seberapa pun sunyi jejak seorang pemberontak, suara dendamnya akan terus hidup, menembus generasi baru yang mau menengok ke balik tembok keraton.

Pangeran Alit: Jejak Darah Sultan Agung di Persimpangan Tahta

Dalam riwayat panjang Mataram Islam, nama Pangeran Alit berpendar samar di antara gemuruh nama besar Sultan Agung Hanyakrakusuma. Ia bukan sekadar putra mahkota yang tergeser; ia adalah simpul nasab yang mengikat dua pusat kebesaran Islam Jawa: Pajang dan Cirebon, dengan segumpal drama pengasingan yang mencerminkan rapuhnya tembok istana di tengah intrik politik.

Sultan Agung lahir sebagai Raden Mas Rangsang di Kotagede, 14 Oktober 1593. Garis darahnya tak main-main: ia putra Panembahan Hanyakrawati, raja kedua Mataram, dan Ratu Mas Adi Dyah Banawati, putri Pangeran Benawa, Raja Pajang. Kakeknya, Panembahan Senopati, mewariskan strategi keras penaklukan, yang diteruskan Sultan Agung hingga menjadikan Mataram pada abad ke-17 kerajaan terbesar di Jawa. Catatan babad dan sumber Belanda menggambarkan Sultan Agung sebagai penguasa prabu pandhita—raja sekaligus ulama—yang tidak hanya memukul Belanda di Batavia, tetapi juga merumuskan Kalender Jawa Islam, menulis Sastra Gendhing, hingga membangun Pajimatan Imogiri sebagai simbol abadi spiritualitas trah Mataram.

Di tengah hegemoni itu, Sultan Agung membangun lingkaran keluarga yang tak luput dari cabang-cabang intrik. Ia memiliki dua permaisuri utama. Dari Ratu Wetan, lahirlah Raden Mas Sayidin, kelak menjadi Susuhunan Amangkurat I. Namun, yang menarik, posisi putra sulung justru dipegang putra Ratu Kulon—Raden Mas Syahwawrat atau Pangeran Alit. Ratu Kulon sendiri, dikenal pula sebagai Ratu Mas Tinumpak atau Ratu Ayu Sakluh, adalah putri Adipati Cirebon I, cucu dari Pangeran Pasarean bin Sunan Gunung Jati. Dengan demikian, melalui Ratu Kulon, darah Mataram bersilangan dengan karisma spiritual Kesultanan Cirebon.

Secara nasab, Pangeran Alit memikul pusaka spiritual dan politik. Garisnya melintasi trah Pajang dari jalur Panembahan Senopati—kakek Sultan Agung—dan terhubung ke Sunan Gunung Jati melalui ibundanya. Namun sejarah Mataram menunjukkan bahwa darah biru tidak selalu menjadi jaminan kejayaan. Dikebonke-nya Ratu Kulon, yang berarti ia dipinggirkan ke luar keraton, adalah penanda awal gesernya pengaruh Syahwawrat di istana. Posisi putra mahkota dialihkan kepada RM Sayidin, adik seayah lain ibu, yang secara politik lebih diterima elite keraton.

Tak banyak yang menuliskan detail masa muda Pangeran Alit. Namun penanda jejaknya terekam di situs Makam Pangeranan, Grojogan, Tamanan, Banguntapan, yang hingga kini dijaga dengan sunyi. Di tempat inilah, bersama Makam Pangeran Ageng—seorang bangsawan Majapahit yang menepi di lereng Yogya—diri Pangeran Alit seolah menegaskan simpul pusaka: trah Majapahit, Pajang, Cirebon, dan Mataram bertemu dalam satu garis spiritual yang putus di antara dinding politik.

Dalam kerangka historiografi kritis, posisi Pangeran Alit menggambarkan rapuhnya harmoni di jantung keraton. Sultan Agung membangun Mataram dengan pedang dan pena, menaklukkan pesisir, menulis Sastra Gendhing, sekaligus merumuskan bahasa bagongan sebagai penengah status di istana. Namun, pusaka ideologi pambudi luhur itu terkoyak seiring berjalannya intrik dinasti. Ratu Kulon terbuang, Syahwawrat disingkirkan dari hak waris—sebuah pengingat getir bahwa dalam politik kerajaan Jawa, takhta dan darah tidak selalu sejalan.

Setelah Sultan Agung wafat pada 1645 dan Gunung Merapi meletus, Amangkurat I naik takhta dengan bayang-bayang paranoia. Bagi Pangeran Alit, masa hidupnya menjadi jalan sunyi. Dalam penelusuran nisan tua di Grojogan, penulis melihatnya sebagai roh penyangga, titisan Sultan Agung yang tak sempat menjejak kursi singgasana, tetapi mengokohkan simbol perlawanan senyap di tengah pecahnya solidaritas kerabat.

Nasab Pangeran Alit, yang menjembatani Mataram, Pengging, Pajang, dan Cirebon, menjadi pusaka yang diwariskan bukan lewat tahta, melainkan lewat bisik sunyi di makam-makam tua. Hari ini, di antara pohon beringin Makam Pangeranan, riwayat Syahwawrat bergetar: sebuah cermin bahwa kebesaran Mataram dibangun bukan hanya oleh tombak di medan tempur, tetapi juga luka di hati para pangeran yang terbuang di lorong sunyi sejarah.

 


Topik

Peristiwa jawa pangeran alit sultan agung merapi



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

A Yahya

--- Iklan Sponsor ---