JATIMTIMES - Pada pergantian abad ke-13, tanah Jawa diguncang oleh gejolak perebutan kekuasaan, pengkhianatan, dan idealisme yang dibayar mahal. Sejarah mencatat satu titik balik yang menentukan arah kekuasaan Majapahit dan munculnya entitas baru bernama Lamajang Tigang Juru.
Dalam pergulatan itu, seorang bangsawan Madura, Arya Adikara Ranggalawe, menjadi simbol ambisi, kekecewaan, dan perlawanan. Kisah ini bukan semata peristiwa politik, melainkan sebuah tragedi sejarah tentang janji seorang raja yang diuji oleh realitas kekuasaan.
Baca Juga : 3 Khutbah Idul Adha 2025: Tema Nabi Ibrahim, Kepedulian Sosial, hingga Investasi Abadi
Arya Wiraraja, tokoh utama dari Madura, adalah bangsawan cerdik yang lama mengabdi pada Sri Kertanegara dari Singhasari. Namun kepercayaan itu tercabik ketika Pu Sina, seorang patih asal Madura, diangkat menjadi pranaraja atau perdana menteri oleh Kertanegara. Arya Wiraraja merasa disingkirkan. Dendam tumbuh diam-diam.
Ketika pasukan utama Singhasari dikerahkan ke Pamalayu, Arya Wiraraja melihat kesempatan. Ia memprovokasi Jayakatwang dari Kadiri untuk menyerbu Singhasari, yang berakhir dengan tewasnya Sri Kertanegara (1292 M). Situasi genting ini membuka jalan bagi kemunculan Nararya Sanggramawijaya, atau Raden Wijaya, menantu Kertanegara yang berhasil selamat dan melarikan diri ke Madura.
Nararya Sanggramawijaya disambut hangat oleh Arya Wiraraja. Kidung Panji Wijayakrama mencatat, sebuah perjanjian terucap: jika berhasil menaklukkan Jawa, kerajaan akan dibagi dua. Untuk itu, Arya Wiraraja mengutus putranya, Wirondaya, menyampaikan surat kepada Jayakatwang bahwa Sanggramawijaya bersedia tunduk.
Sebagai balasan, Jayakatwang menghadiahi Sanggramawijaya hutan Tarik. Di sana, dibangunlah Majapahit, dibantu keluarga Madura dan rakyat yang setia, termasuk Arya Lembu Sora, Arya Adikara Ranggalawe, dan Arya Menak Koncar. Majapahit tumbuh dari darah dan tekad, bukan dari warisan.
Tahun 1293, pasukan Tartar Mongol mendarat di Jawa untuk menghukum Sri Kertanegara. Aliansi Nararya Sanggramawijaya dan para bangsawan Madura memanfaatkan kekuatan asing ini untuk menggulingkan Jayakatwang. Setelah Jayakatwang tewas, dan Tartar disingkirkan, kekosongan kekuasaan dimanfaatkan.
Nararya Sanggramawijaya naik tahta sebagai Sri Kertarajasa Jayawarddhana. Sebuah kerajaan baru lahir: Majapahit. Penghargaan pun dibagikan. Dalam Prasasti Penanggungan (1296 M), Arya Wiraraja diangkat sebagai menteri, Arya Lembu Sora sebagai Patih Daha, Wirondaya sebagai penguasa Lumajang, dan Pu Sina tetap pranaraja. Putra Pu Sina, Nambi, diangkat sebagai Patih Amangkubumi.
Ranggalawe, anak sulung Arya Wiraraja, hanya mendapat jabatan Menteri Mancanegara di Tuban. Ia kecewa. Bagi Ranggalawe, jasanya lebih besar daripada Nambi: dialah yang memimpin pembukaan hutan Tarik, memimpin serangan ke Tartar, dan bahkan penghubung dengan Jayakatwang.
Tuntutan untuk menjadi Patih Amangkubumi ditolak. Perselisihan meletus. Ranggalawe berbalik menentang kerajaan yang turut ia dirikan. Dalam pertempuran sengit di Tambakberas, ia tewas di tangan panglima kerajaan, Kebo Anabrang. Karena beragama Islam, jenazahnya dimakamkan di Tuban. Hingga kini, makamnya menjadi tempat ziarah dan simbol penghormatan di kalangan elite Tuban.
Pembentukan Lamajang Tigang Juru – Pemenuhan Janji atau Pengasingan?
Kematian Ranggalawe mengguncang Arya Wiraraja. Ia menagih janji lama kepada Kertarajasa: separuh kerajaan. Sebagai bentuk konsolidasi politik sekaligus ‘pembayaran utang’, wilayah timur diberikan kepada Arya Wiraraja.
Lahirnya Lamajang Tigang Juru (wilayah Lumajang, Bayu, dan Wirabhumi) dengan ibukota di Lumajang menjadi fakta sejarah atas janji yang ditebus dengan darah. Arya Wiraraja menjadi penguasa otonom hingga wafat.Posisinya digantikan oleh Arya Menak Koncar yang bergelar Sri Nararya Wangbang Menak Koncar, dan dimakamkan bersebelahan dengan ayahandanya di Situs Biting, Desa Kutorenon, Kecamatan Sukodono, Kabupaten Lumajang, Provinsi Jawa Timur.
Arya Menak Koncar digantikan oleh Arya Wangbang Pinatih, seorang muslim yang menurunkan tokoh-tokoh penting dalam sejarah Islam Jawa dan Bali. Salah satu keturunannya, Arya Pinatih dan Arya Damar, ikut dalam ekspedisi penaklukan ke Bali bersama Mahapatih Gajah Mada. Dari sinilah kelak keturunan Arya Wiraraja bermukim di Bali.
Historiografi lokal Gresik bahkan menyebut Nyai Ageng Pinatih, ibu angkat Sunan Giri, sebagai keturunan dari Arya Wangbang Pinatih. Artinya, tragedi Ranggalawe dan pembentukan Lamajang Tigang Juru tidak hanya berdampak pada tatanan kekuasaan, tetapi juga pada jaringan penyebaran Islam di Nusantara.
Kisah Arya Adikara Ranggalawe bukan sekadar perseteruan elit atau dendam pribadi. Ia simbol dari konflik antara harapan dan realitas politik, antara janji dan kekuasaan. Di balik tragedi Tambakberas, tersimpan pelajaran tentang pentingnya kepercayaan dan integritas dalam tata negara.
Sementara Lamajang Tigang Juru berdiri sebagai pengingat bahwa janji yang ditebus dengan darah tidak boleh dilupakan. Dan dalam lorong sejarah itulah, warisan Arya Wiraraja dan Ranggalawe terus mengalir, membentuk jejak sejarah Islam di Jawa Timur hingga ke pelosok Bali dan Gresik.
Majapahit lahir dari perjanjian, bertahan karena strategi, dan terus dikenang karena pengkhianatan yang dibayar lunas oleh darah seorang anak Madura: Ranggalawe.
Lamajang Tigang Njuru: Jejak Kerajaan Islam Pertama di Jawa
Di jantung Tapal Kuda, di Desa Kutorenon, Kecamatan Sukodono, Lumajang, berdiri Situs Biting—sebuah kawasan purbakala yang bukan hanya menyimpan keheningan masa lalu, tetapi juga menggema sebagai saksi spiritual dan politik atas kemunculan kerajaan bercorak Islam pertama di tanah Jawa: Kerajaan Lamajang Tigang Njuru. Di tempat inilah batu-batu nisan, doa-doa, dan dupa bertemu, menandakan persinggungan yang harmonis antara Islam dan Hindu, antara warisan lokal dan peradaban yang lebih luas.
Dalam literatur Jawa kuno seperti Kidung Harsawijaya dan Panji Wijayakrama, serta catatan sejarah dari Nagarakretagama, nama Arya Wiraraja mencuat sebagai tokoh sentral pasca-keruntuhan Singasari (1292). Mantan Demung Singasari yang kemudian diasingkan ke Madura ini menjadi poros penting berdirinya dua kerajaan besar: Lamajang dan Majapahit.
Baca Juga : Bersiap Jadi Juara, MTsN 1 Malang Gembleng Perwakilan OSN 2025 Lewat Simulasi Ketat
Setelah penaklukan Jayakatwang atas Singasari, Raden Wijaya, menantu Sri Kertanegara, melarikan diri dan mencari perlindungan ke Madura. Arya Wiraraja, sebagai pemimpin Sumenep, memberikan dukungan logistik dan militer kepada Raden Wijaya. Imbal baliknya, terjadi Perjanjian Sumenep pada 10 November 1293, di mana Raden Wijaya berjanji akan membagi wilayah kekuasaan jika berhasil menggulingkan Jayakatwang. Maka, lahirlah dua poros kerajaan: Majapahit di barat dan Lamajang Tigang Njuru di timur.
Lamajang Tigang Njuru, menurut berbagai sumber, memerintah atas wilayah Lamajang (Lumajang), Blambangan, Panarukan (Patukangan), dan Madura. Wilayah ini berkembang dengan identitas kultural yang berbeda dari budaya Mataraman di barat, yakni "budaya Pendalungan"—sebuah perpaduan antara Jawa dan Madura yang hidup hingga kini.
Banyak pengkaji menyebut Arya Wiraraja sebagai pemimpin bercorak Islam pertama di Jawa. Perbedaan ideologisnya dengan Sri Kertanegara—yang menganut Tantrayana dan melakukan ekspedisi ke Sumatra (Pamalayu)—mendorongnya mengambil jalur spiritual berbeda. Saat mendirikan Lamajang, ia membangun struktur pemerintahan yang disisipi nilai-nilai Islam. Situs Biting menunjukkan jejak pusara-pusara Muslim kuno, yang memperkuat asumsi adanya komunitas Muslim awal di wilayah ini.
Putranya, Arya Menak Koncar, dan cucunya, Arya Wangbang Pinatih, melanjutkan dinasti ini, dengan keterlibatan signifikan dalam politik Majapahit dan ekspedisi militer ke Bali. Bahkan, beberapa sejarawan lokal mengaitkan Wangbang Pinatih dengan Nyai Ageng Pinatih di Gresik, ibu angkat Sunan Giri, memperlihatkan kesinambungan genealogis dan spiritual dari Lamajang ke pusat-pusat penyebaran Islam selanjutnya.
Situs Biting adalah kompleks arkeologis yang diperkirakan seluas 135 hektar dengan benteng selebar 6 meter dan tinggi 10 meter, mengelilingi enam blok kawasan, yaitu Keraton, Jeding, Biting, Randu, Salak, dan Duren. Berdasarkan penelitian Balai Arkeologi Yogyakarta (1982–1991), situs ini adalah pusat administratif dan spiritual dari Lamajang Tigang Njuru.
Nama "Biting" berasal dari bahasa Madura, berarti "benteng". Dalam Negarakretagama situs ini disebut Arnon, dan dikenal sebagai "Renong" pada masa Mataram. Sayangnya, mulai 1995, situs ini terancam oleh proyek Perumnas, menyebabkan rusaknya 15 hektar kawasan bersejarah.
Dalam struktur sosial masyarakat Tapal Kuda, Situs Biting bukan hanya monumen arkeologis, tetapi juga tempat keramat. Ziarah Islam dan ritual Hindu dari Bali kerap dilakukan bersisian, menciptakan ruang sakral multikultural yang mengagumkan. Arya Wiraraja dan Menak Koncar dimakamkan di sini, sementara makam Wangbang Pinatih dan keturunannya kini tak dikenali, seolah tenggelam oleh arus zaman.
Arya Wangbang Pinatih merupakan tokoh penting dalam transisi Islamisasi Jawa Timur. Putranya, Arya Damar dan Arya Arya Pinatih, menjadi tokoh penting dalam ekspedisi ke Bali bersama Gajah Mada. Kisah ini tercermin dalam narasi lokal dan teks-teks Jawa-Bali. Selain itu, keterkaitan Wangbang Pinatih dengan Nyai Ageng Pinatih menunjukkan adanya jaringan ulama dan bangsawan Muslim dari Lumajang ke Gresik dan Ampel Denta.
Ketika Majapahit memasuki era Sri Wikramawarddhana, wilayah Lamajang resmi dimasukkan ke dalam wilayah Majapahit (Wilwatikta), dan status rajanya diturunkan menjadi adipati. Meski demikian, kebudayaan dan corak Islam di Lamajang tetap bertahan. Prasasti Patapan yang dikeluarkan oleh Wikramawarddhana menunjukkan pengakuan resmi terhadap tokoh-tokoh janggan (ulama) sebagai pemuka masyarakat, baik Kapitayan maupun Islam.
Situs Biting hari ini bukan hanya milik masa lalu, tetapi juga medan kontestasi spiritual dan warisan budaya. Di tengah percampuran Islam dan Hindu, situs ini dirawat oleh komunitas lokal yang menganggapnya sebagai tempat suci. Di sisi lain, pengabaian negara dan pembangunan modern menjadi ancaman nyata bagi kelestariannya.
Perubahan identitas makam, seperti penamaan makam Menak Koncar menjadi Sayyid Abdurrahman Basyaiban, mencerminkan cara masyarakat mengadaptasi narasi lama ke dalam struktur spiritual yang lebih dikenali saat ini. Namun, di balik semua itu, narasi Arya Wiraraja sebagai pelopor kerajaan Islam pertama di Jawa masih menyala terang, menanti untuk terus disuarakan.
Kerajaan Lamajang Tigang Njuru adalah bab yang sering terlupakan dalam sejarah Jawa, namun peranannya krusial dalam pembentukan tatanan politik, sosial, dan keagamaan Nusantara. Arya Wiraraja bukan hanya tokoh politik, tetapi juga pelopor spiritual. Dalam cahaya redup pusara di Situs Biting, sejarah menunggu untuk terus dibaca, ditafsirkan, dan diwariskan.
Semoga dengan menghidupkan kembali narasi ini, kita dapat menyambung kembali benang-benang sejarah yang tercerai, serta meneguhkan kembali bahwa toleransi, multikulturalisme, dan spiritualitas bukanlah hal baru di bumi Nusantara—melainkan fondasi yang telah lama mengakar.
 
 
         
                             
                             
                            