free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Serba Serbi

Raden Trunojoyo dan Tahun-Tahun Api: Awal Kekuasaan di Madura (1670–1672)

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Yunan Helmy

23 - May - 2025, 14:29

Placeholder
Pertemuan dua tokoh bangsawan karismatik abad ke-17: Raden Trunojoyo (kiri) dan Raden Kajoran (kanan), dalam sebuah lukisan realis bergaya cat minyak di atas kanvas. Mereka digambarkan dalam suasana penuh wibawa dan kebangsawanan, menggambarkan momen penting dalam sejarah perlawanan terhadap Mataram. (Foto: Ilustrasi dibuat oleh JatimTIMES)

JATIMTIMES - Periode 1670 hingga 1672 menandai salah satu fase paling menentukan dalam biografi politik Raden Trunojoyo. Ia tidak sekadar kembali ke tanah kelahiran di Madura, melainkan membangun fondasi kekuasaan yang nantinya akan mengobarkan pemberontakan besar terhadap dinasti Mataram.

Dua tahun itu layak disebut sebagai "tahun-tahun api" karena bukan hanya ditandai oleh kekerasan dan aksi-aksi pembangkangan, tetapi juga oleh terjadinya pergeseran kekuasaan lokal yang signifikan. Dalam pusaran peristiwa ini, kekuatan Raden Trunojoyo mulai menanjak dari pinggiran Madura menuju peran sentral dalam gejolak politik Nusantara.

Kerajaan Arosbaya: Akar Politik dan Ideologi Raden Trunojoyo

Baca Juga : Belajar dari Kasus Jokowi, Begini Cara Cek Ijazah Asli atau Palsu Ada Tanda ini Jika Resmi Terdaftar

Dalam perjalanan panjang sejarah Madura, Kerajaan Arosbaya menempati posisi sentral sebagai cikal-bakal peradaban Islam dan embrio kekuasaan bangsawan lokal yang kelak mengguncang hegemoni Mataram. Berdiri pada abad ke-15, kerajaan ini bukan hanya tonggak awal Islamisasi Madura, tetapi juga menjadi simpul penting dalam transmisi trah Majapahit yang disalurkan lewat tokoh-tokoh berpengaruh seperti Raden Trunojoyo.

Kerajaan Arosbaya didirikan oleh Kiai Demang Plakaran, seorang bangsawan Madura yang dalam tradisi lokal diidentifikasi sebagai keturunan langsung dari Prabu Brawijaya V, raja terakhir Majapahit. Jalur genealogi ini disalurkan melalui Aria Damar, adipati Palembang yang dikenal sebagai menantu Brawijaya. 

Posisi Kiai Demang Plakaran tidak hanya kuat secara spiritual -karena disebut sebagai pengusung awal dakwah Islam di wilayah Madura Barat- tetapi juga kokoh dalam basis legitimasi kerajaan karena menyatukan warisan Hindu-Buddha Majapahit dengan semangat baru Islam.

Dari Demang Plakaran lahirlah Kiai Pragalba, yang kemudian dikenal sebagai Pangeran Arosbaya. Di bawah kepemimpinannya, Arosbaya menjadi pusat penting dalam jaringan dakwah Islam Nusantara. Ia menjalin kontak dengan tokoh-tokoh Walisanga, terutama Sunan Kudus, yang diduga memberikan dukungan dalam bentuk legitimasi keagamaan dan bantuan dakwah. Pada periode ini, Arosbaya berkembang bukan hanya sebagai kekuatan politik, tetapi juga sebagai pusat intelektual dan keagamaan di pesisir utara Madura.

Kepemimpinan Arosbaya mencapai puncak pada masa Raden Pratanu, putra Pragalba, yang naik takhta dengan gelar Panembahan Lemah Duwur. Ia dikenal sebagai pemimpin progresif yang tidak hanya memindahkan pusat kerajaan dari pesisir ke dataran tinggi Lemah Duwur, tetapi juga membangun strategi politik yang jitu dengan menjalin aliansi melalui pernikahan dengan salah satu putri Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir), penguasa Kesultanan Pajang.

Perkawinan politik ini membawa pengaruh besar. Bukan hanya memperkuat posisi Arosbaya dalam kancah kekuasaan Jawa-Madura, tetapi juga menyematkan darah dinasti Pajang ke dalam keluarga Arosbaya. Dari pernikahan ini lahirlah Raden Koro, atau Pangeran Tengah, yang kemudian memimpin Arosbaya pada masa genting (1592–1624). Ia adalah tokoh penting yang menjadi penghubung dua zaman: masa kejayaan dan keruntuhan Arosbaya.

Tahun 1624 menjadi titik balik tragis bagi Kerajaan Arosbaya. Dalam ambisinya menguasai seluruh wilayah pesisir utara Jawa dan Madura, Sultan Agung dari Mataram melancarkan ekspedisi militer besar-besaran ke Madura. Operasi ini dipimpin oleh Adipati Pragola dari Pati dan Pangeran Sumedang, yang memimpin pasukan dalam jumlah besar untuk menundukkan kerajaan-kerajaan kecil yang dianggap tidak loyal.

Pangeran Tengah yang memimpin Arosbaya kala itu tidak mampu membendung kekuatan militer Mataram yang unggul dalam jumlah dan persenjataan. Kerajaan Arosbaya takluk. Pusat pemerintahannya dihancurkan, bangsawan-bangsawan ditawan atau dibunuh, dan Madura dijadikan daerah taklukan langsung di bawah otoritas Mataram. Peristiwa ini tidak hanya mengakhiri eksistensi politik Arosbaya sebagai entitas merdeka, tetapi juga meninggalkan luka historis yang dalam bagi trah penguasanya.

Dari puing-puing sejarah inilah lahir Raden Trunojoyo, cucu dari Pangeran Tengah. Ia merupakan anak dari Demang Malayakusuma, salah satu bangsawan penting yang masih mempertahankan pengaruh politik lokal di tengah dominasi Mataram. Sebagai keturunan langsung Panembahan Lemah Duwur dan secara genealogis terhubung dengan dinasti Pajang dan Majapahit, Trunajaya mewarisi tidak hanya nama besar, tetapi juga beban sejarah.

Ia tumbuh dalam suasana penuh trauma dan kenangan akan kejatuhan Arosbaya. Identitas politik Trunajaya dibentuk oleh narasi dendam dan aspirasi untuk mengembalikan martabat keluarganya yang hancur oleh kekuasaan Mataram. Dalam dirinya bertaut dendam historis dan legitimasi genealogis yang menjadikannya sosok ideal bagi elite-elite Madura dan Jawa Timur yang kecewa dengan hegemoni Mataram, terutama pada masa pemerintahan Amangkurat I.

Kekuasaan dalam Bayang-Bayang Kekacauan (1670–1671)

Dalam historiografi Jawa, Trunojoyo seringkali dikisahkan sebagai pemberontak. Namun pendekatan baru melihatnya sebagai pemulih kekuasaan lokal dan penantang dominasi istana yang korup. Tahun-tahun antara 1670 hingga 1672 menunjukkan adanya akumulasi ketegangan antara pusat dan daerah. Sumber primer VOC seperti Daghregister, laporan Speelman, dan K.A. menunjukkan bahwa peristiwa-peristiwa ini bukan sekadar kriminalitas, tetapi bagian dari manuver politik yang lebih besar.

Trunojoyo tidak membangun kekuatan dari nol. Ia memanfaatkan basis-basis lama kekuasaan kerajaan Madura, yang sejak masa Sultan Agung berada dalam orbit Mataram, namun selalu menyimpan benih resistensi. Pamekasan, Sampang, dan bahkan wilayah Sumenep, menyediakan kerangka sosial dan politik yang mendukung pemberontakan.

Lebih jauh, keterlibatan tokoh-tokoh seperti Pangeran Adipati Anom menunjukkan bahwa gerakan ini bukan sekadar gerakan regional, tetapi berpotensi nasional. Dalam konteks ini, Trunojoyo adalah arsitek dari sebuah koalisi anti-Plered yang pertama kali menampakkan dirinya secara militan di Madura, antara tahun 1670–1672.

Catatan resmi Belanda dari Jepara tertanggal 19 Oktober 1671 menjadi pintu masuk kita pada kronik kekuasaan Raden Trunojoyo. Dalam laporan itu, seorang syahbandar Tionghoa dari Jepara menerima berita dari koleganya di Kartisarana tentang peristiwa tragis di Teluk Sampang. Sebuah sampan ditemukan lepas di laut dan seluruh awaknya telah dibunuh, kecuali dua perempuan yang disekap di kediaman bangsawan lokal. Salah satu korban pembunuhan, menurut laporan 9 Januari 1672 dari Daghregister, adalah Cornelis Francen, orang Banda tanpa kewarganegaraan yang disebut sebagai "Kees". Bertanggung jawab atas kekerasan itu, tidak lain adalah Raden Trunojoyo.

Yang mencolok dari peristiwa ini adalah impunitas yang menyertai kejahatan tersebut. Bahkan setelah residen Jepara melaporkan kasus itu kepada "utusan Pangeran Adipati" di Surabaya, tidak ada keadilan yang ditegakkan. Pangeran Sampang, yang secara formal memiliki otoritas, memilih bungkam. Hal ini mengindikasikan bahwa otoritas de facto telah berpindah ke tangan Trunojoyo, yang oleh beberapa sumber disebut sebagai paman, meskipun dalam beberapa dokumen justru disebut sebagai putra Pangeran Sampang.

Situasi ini menandai momentum ketika kekuasaan nominal aristokrasi lokal di Madura mulai terkikis, digantikan oleh otoritas karismatik dan militeristik Raden Trunojoyo. Kesanggupannya untuk menindak warga asing tanpa konsekuensi apa pun mencerminkan betapa dalam kurun waktu triwulan pertama 1671, ia telah berhasil menciptakan kekuatan otonom di Madura Barat.

Masih dalam kisaran tahun 1672, laporan dari kapal dagang Belanda Zalm yang tiba di Teluk Gresik mencatat pertempuran sengit melawan kapal-kapal perompak yang beroperasi di pantai Madura. Pertempuran ini memperlihatkan satu hal penting: wilayah pantai Madura tidak lagi berada di bawah kendali efektif Mataram maupun VOC, melainkan menjadi zona tak bertuan yang dimanfaatkan oleh kekuatan-kekuatan lokal seperti Trunojoyo.

Keterlibatan langsung para utusan Mataram dalam meminta bantuan Belanda untuk mengusir perompak semakin menunjukkan ketergantungan istana pada kekuatan luar. Fakta bahwa kapal-kapal perompak tersebut menyerang dengan senjata dan formasi yang terorganisir menandakan bahwa mereka bukan perompak biasa, melainkan pasukan yang mungkin memiliki kaitan dengan struktur kekuasaan baru yang tengah dibangun oleh Trunojoyo.

Setelah pertempuran itu, para utusan Mataram berkunjung ke kapal Zalm dan mengucapkan terima kasih, serta berjanji akan mengganti kerugian akibat pertempuran. Peristiwa ini mengandung makna politis: Mataram berusaha menjaga relasi diplomatik dengan VOC, sementara di sisi lain tidak berdaya menghadapi dinamika kekuasaan baru di Madura.

Laksamana Cornelis Speelman, dalam memorandum kepada Couper, secara eksplisit menyatakan bahwa Raden Trunojoyo meletakkan landasan pemberontakannya di Pamekasan. Dari sanalah ia mendapatkan dukungan pertama yang berarti. Informasi ini memperjelas bahwa Pamekasan, sebuah wilayah strategis di tengah Pulau Madura, menjadi titik awal kekuatan revolusioner yang akan menyulut konflik terbuka terhadap Mataram.

Meskipun dokumen sejarah tentang kondisi Pamekasan saat itu sangat terbatas, catatan menyebut adanya tokoh Wiranegara sebagai penguasa terdahulu, dan anaknya, Wiradipa, menyatakan sumpah setia kepada VOC pada 1677, yakni setelah Trunojoyo dikalahkan. Di antara periode itu, Pamekasan sempat menjadi episentrum kekuatan Trunojoyo. Pengaruhnya di sana diperkuat dengan kehadiran Adipati Anom, seorang bangsawan Mataram yang menjadi sekutunya.

Lebih lanjut, laporan tanggal 23 Juli 1677 menyebut bahwa Raden Mogatsari, bekas kepala daerah Pamekasan, berada bersama para pemberontak di Kediri. Ini menunjukkan bahwa loyalitas elite lokal Madura terhadap Trunojoyo cukup kuat dan berkelanjutan bahkan setelah kekalahan militer.

Struktur Kekuasaan dan Kepemimpinan di Madura

Peta politik Madura pada awal 1670-an adalah mozaik kekuasaan yang retak. Di barat, Mas Aria Jayengpati memegang kendali. Ia berasal dari Sampang dan pernah menjadi kepala daerah Sumenep. Riwayatnya mengaitkan dirinya dengan jaringan kekuasaan Pangeran Sampang. Pada pertengahan abad ke-17, ia menggantikan Gubernur Pangeran Anggadipa, tokoh yang sebelumnya diangkat oleh Sultan Agung.

Namun, yang paling penting adalah kehadiran Tumenggung Yudanegara di Sumenep. Ia adalah satu-satunya pengikut Trunojoyo yang berhasil mempertahankan posisinya bahkan setelah pemimpin pemberontakan itu tumbang. Hal ini menunjukkan bahwa Trunojoyo, dalam waktu singkat, telah mampu menanamkan basis kekuatan struktural melalui penempatan orang-orang kepercayaannya di pos strategis.

Nama-nama penting lainnya muncul dalam kronik VOC sebagai bagian dari kekuatan baru yang berpihak kepada Trunojoyo. Mas Aria Jayengpati, asal Sampang, pernah menjabat sebagai kepala daerah di Sumenep. Ia diduga menggantikan Gubernur Pangeran Anggadipa yang sebelumnya diangkat oleh Sultan Agung dan kemudian jatuh karena fitnah dari Pangeran Sampang.

Baca Juga : Bobot Terberat Capai 1,2 Ton, Ini Ragam Jenis Sapi Kurban Prabowo di Jatim

Dengan demikian, terlihat bahwa Raden Trunojoyo tidak hanya membangun kekuatan sendiri, melainkan juga memanfaatkan kekecewaan para bangsawan lokal terhadap dominasi pusat Mataram. Kematian Anggadipa, pengasingan Jayengpati, serta kemunculan Tumenggung Yudanegara dari Sumenep sebagai satu-satunya pengikut Trunojoyo yang tetap bertahan di Madura pasca-1677, merupakan indikator bangkitnya kembali kekuasaan lokal di bawah panji Trunojoyo.

Periode 1670 hingga 1672 bukanlah masa tenang bagi Madura, melainkan tahun-tahun yang mengandung bara perubahan. Raden Trunojoyo tidak hanya kembali ke tanah kelahiran untuk berlindung atau sekadar berpolitik. Ia membangun struktur kekuasaan, menjalin aliansi, dan memobilisasi kekuatan yang kelak akan meletus dalam pemberontakan besar-besaran terhadap Mataram.

Sejarah mencatat bahwa api yang dinyalakan Trunojoyo di Pamekasan dan sekitarnya akan membesar hingga ke jantung kekuasaan Jawa. Namun akar-akar revolusi itu tertanam dalam-dalam di tanah Madura, di pelabuhan-pelabuhan kecil yang mengirimkan kabar pembunuhan, di desa-desa yang menerima sang pangeran pemberontak dengan tangan terbuka, dan di benteng-benteng pantai tempat pelaut asing disergap oleh kekuatan yang tak terduga.

Raden Trunojoyo membangun kerajaannya bukan di istana, tetapi di antara sisa-sisa kekuasaan lama yang mulai roboh. Dan dari puing-puing itu, bangkitlah api revolusi yang akan mengguncang dinasti Mataram dan sejarah Nusantara untuk selamanya.

Di Balik Pemberontakan Trunojoyo: Proyek Rahasia dengan Putra Mahkota Mataram

Dalam kesenyapan tahun-tahun terakhir kekuasaan Sunan Amangkurat I, bayang-bayang pemberontakan diam-diam menjalar dari lorong-lorong istana Plered. Di balik megahnya singgasana Mataram, benih konspirasi telah ditanam oleh darah daging raja sendiri. Putra mahkota, Raden Mas Rahmat, yang kelak naik takhta sebagai Amangkurat II, telah menganyam sebuah proyek politik rahasia yang akan mengguncang Jawa. Dan pada pusat pusaran persekongkolan itu berdiri seorang bangsawan muda dari Madura: Raden Trunojoyo. 

Sumber-sumber Belanda, terutama yang dihimpun oleh Jonge dalam De Opkomst van het Nederlandsch Gezag in Oost-Indië, memberikan pengakuan bahwa komunikasi antara Raden Trunojoyo dan putra mahkota telah terjalin sejak awal dekade 1670-an. Dalam wawancara dengan utusan Belanda, Piero, pada 10 Februari 1677, Trunajaya menyatakan bahwa perjanjian antara dirinya dan Adipati Anom terjadi jauh sebelum perang meletus (Jonge, Opkomst, VII, hlm. 160). Pernyataan itu bukan sekadar justifikasi, melainkan pengakuan adanya proyek jangka panjang: meruntuhkan rezim tua demi menciptakan tatanan baru.

Dari sisi narasi lokal, berbagai versi Babad menyebutkan bahwa pertemuan antara Trunojoyo dan putra mahkota difasilitasi oleh Raden Kajoran, seorang ulama dan bangsawan karismatik dari lereng Merapi. Dalam Serat Kandha, tercatat bahwa pada tahun 1670, Raden Mas Rahmat menjanjikan dukungan penuh kepada Trunajaya, termasuk pengangkatan sebagai Tumenggung jika berhasil menaklukkan Madura.

Versi yang lebih rinci bahkan menyebutkan bahwa sang pangeran menyediakan anggaran hidup, persenjataan, dan kebutuhan diplomatik Trunojoyo. Dalam kronik Meinsma, disingkap bahwa pakaian, uang, dan senjata diberikan atas perintah langsung putra mahkota. Ini bukan dukungan simbolik, melainkan investasi kekuasaan.

Instruksi selanjutnya amat strategis: Trunojoyo diperintahkan pergi ke Sampang untuk membangun basis kekuatan, merebut simpati rakyat, dan menggembosi pengaruh Adipati Cakraningrat II. Di Jawa, ia diperintahkan untuk menggoyang kekuasaan pesisir, menguasai pelabuhan, dan memutus jalur logistik istana. Menurut Babad Meinsma, skenario akhirnya adalah keruntuhan Plered, yang kemudian disusul oleh langkah Adipati Anom untuk memproklamasikan rezim baru.

Pada 12 Juni 1671, Daghregister dari Jepara mencatat desas-desus kudeta di lingkungan istana Mataram. Disebutkan bahwa "Pangeran Madura, Pangeran Purbaya, atau salah seorang pembesar lainnya di istana Raja" tengah merancang penggulingan terhadap sang raja. Tensi antara ayah dan anak memuncak setelah tragedi berdarah kematian Wiramenggala dan langkah kontroversial mengangkat Pangeran Singasari sebagai pejabat sementara di Surabaya. Sebuah sinyal bahwa kekuasaan Amangkurat I telah kehilangan fondasi kepercayaan di dalam istananya sendiri.

Isi dari perjanjian rahasia antara Trunojoyo dan Adipati Anom menjadi bahan perdebatan historiografis. Namun arsip Jonge memperkuat dugaan adanya konsensus pembagian wilayah. Dalam suratnya kepada Tumenggung Suranata tertanggal 9 Januari 1679, Trunojoyo menyatakan permohonannya untuk menguasai Madura "sesuai hak para leluhurku" (Jonge, Opkomst, VII, hlm. 255). Bahkan Serat Kandha menyebut janji pengangkatan sebagai Tumenggung adalah alasan mengapa Trunojoyo menolak perintah kembali ke Madura dari “Sri Baginda” yang kini telah menjadi raja.

Paling mencolok adalah laporan Speelman yang menyebut adanya dokumen pembagian wilayah antara Trunojoyo dan Kajoran: wilayah pesisir dari Lasem hingga Madura serta pedalaman bekas Majapahit akan dikuasai Trunojoyo, sementara Kajoran menguasai wilayah sisanya (Jonge, Opkomst, VI, hlm. 198). Ini adalah cetak biru sebuah negara baru.

Pemberontakan pecah pada 1674. Trunojoyo, bersama pasukan Madura dan milisi Makassar di bawah Karaeng Galesong, melancarkan serangan kilat ke wilayah-wilayah pesisir. Surabaya, Gresik, Jepara, dan Rembang jatuh ke tangannya. Ia memproklamirkan diri sebagai Panembahan Maduretno, penanda kedaulatan barunya.

Pemerintahan alternatif yang ia bangun mendapat legitimasi dari para ulama, bangsawan lokal, dan rakyat pesisir yang muak pada pajak tinggi serta korupsi birokrasi Mataram. Dalam catatan Belanda, pemerintahan Trunajaya dinilai lebih terorganisir dan responsif terhadap kebutuhan rakyat—sebuah hal yang amat langka dalam sistem feodal kala itu.

Amangkurat I terdesak, melarikan diri dari istana, dan wafat dalam pelarian pada 1677. Putra mahkota, yang semula menjadi sponsor revolusi, kini harus memadamkannya. Sebagai Amangkurat II, ia menandatangani Perjanjian Jepara dengan VOC: menyerahkan wilayah pesisir demi bantuan militer.

Dalam catatan Daghregister tanggal 20 April 1675, tercantum laporan penting dari seorang utusan VOC bernama Piero yang mengubah cara kita memandang awal mula Perang Trunajaya. Menurut Piero, pada 10 Februari 1675, Raden Trunajaya – yang saat itu telah mengangkat dirinya sebagai Panembahan – secara terbuka mengaku pernah menjalin perjanjian rahasia dengan Pangeran Adipati Anom, putra mahkota sekaligus putra sulung Sultan Amangkurat I dari Mataram. Perjanjian ini, menurut tafsir para sejarawan Belanda dan diperkuat oleh kajian arsip kolonial, kemungkinan besar terjadi sekitar tahun 1670 atau 1671, yakni ketika hubungan antara ayah dan anak di istana Mataram mencapai titik nadir.

Peristiwa ini menandai tonggak awal terbentuknya koalisi oposisi terhadap tahta Amangkurat I, koalisi yang di kemudian hari mengguncang fondasi kekuasaan Mataram. Namun, menurut laporan yang sama, perjanjian itu tidak pernah ditunaikan oleh Adipati Anom. Diduga kuat, sang pangeran – yang kala itu tengah memainkan politik dua muka di balik tembok istana Plered – memilih untuk berdamai kembali dengan ayahandanya. Keputusan ini tampaknya diambil setelah gelombang serangan pertama yang dilancarkan oleh pasukan eksil Makassar terhadap Gresik dan Surabaya menemui kegagalan pada awal tahun 1675. Serangan yang dipimpin oleh para pengungsi bangsawan Makassar pasca-pemberontakan Goa ini gagal merebut pelabuhan-pelabuhan strategis di pesisir utara Jawa, sehingga memperlemah posisi tawar faksi pemberontak di mata para pangeran istana.

Namun Trunajaya, yang telah terlanjur menyusun skenario perlawanan, tidak tinggal diam. Ia bergerak cepat memperkuat aliansi politik-militernya dengan cara yang khas elite bangsawan: melalui perkawinan dinasti. Ia menikahkan keponakannya – seorang putri berdarah bangsawan Madura – kepada Karaeng Galesong, salah seorang pemimpin pasukan eksil Makassar yang terkenal berani dan berambisi. Pernikahan ini tidak semata-mata simbol kesetiaan, tetapi sebuah kontrak strategis. Dalam ikatan darah itu, Galesong diberi misi jelas: menaklukkan Gresik dan Surabaya untuk kepentingan Trunajaya.

Strategi ini terbukti matang dan terencana. Dari perkawinan tersebut lahirlah seorang anak pada Januari 1677, yang menandakan bahwa perjanjian pernikahan itu sudah terjalin setidaknya sejak akhir 1675. Artinya, persiapan militer dan politik untuk menggulingkan Mataram telah berlangsung secara sistematis, jauh sebelum letupan besar pecah pada tahun 1676. Fakta ini menggugurkan anggapan lama bahwa pemberontakan Trunajaya merupakan gerakan spontan atau emosi sesaat akibat konflik lokal. Sebaliknya, ini adalah konspirasi tingkat tinggi, dirancang sejak dini oleh seorang bangsawan muda Madura yang cerdik dan seorang pangeran pewaris tahta yang kecewa terhadap monarki tiranik ayahnya.

Lebih dari itu, jika kita menempatkan fakta-fakta ini dalam konteks yang lebih luas, maka terlihatlah bahwa kekacauan yang akan mengguncang Mataram bukanlah kehendak dewa semata, melainkan hasil dari kalkulasi politik dingin dan aliansi rahasia yang gagal ditepati. Dengan demikian, sebelum Mataram benar-benar runtuh, baranya telah lama dikumpulkan di tangan dua pemuda ambisius: Raden Trunajaya dan Adipati Anom – yang masing-masing melihat kehancuran sebagai pintu menuju kejayaan pribadi.

VOC bergerak cepat. Di bawah pimpinan Kapitan Francois Tack, pasukan Belanda mengepung titik-titik kekuatan Trunojoyo. Pertempuran berlangsung sengit di Mojokerto, Kediri, dan lereng Gunung Kelud. Akhirnya, pada 27 Desember 1679, Trunojoyo tertangkap di Bukit Selokurung, basis terakhir pertahanannya.

Ia dibawa ke Payak, Bantul, lalu dihadapkan langsung pada Amangkurat II. Namun alih-alih proses hukum, yang terjadi adalah ritual pembalasan dendam: pada 2 Januari 1680, di hadapan para bangsawan istana, sang raja sendiri menusukkan keris Kyai Balabar ke dada Trunojoyo. Tubuhnya dipenggal, kepalanya ditumbuk hingga hancur, dan jantungnya—dalam narasi rakyat—dimakan mentah oleh abdi dalem sebagai simbol dominasi mutlak kekuasaan.

Trunojoyo mati, tetapi gagasannya hidup. Tak ada catatan resmi mengenai makamnya. Beberapa meyakini jasadnya diselundupkan oleh para pengikut dan dikuburkan secara layak. Yang lain percaya ia dibuang ke sungai sebagai bentuk penghinaan terakhir.

Namun justru dalam ketidaktahuan itu, Trunojoyo hidup dalam memori kolektif masyarakat Madura dan Jawa. Ia bukan sekadar pemberontak. Ia adalah simbol. Sebuah suara yang menolak untuk dibungkam oleh kekuasaan, baik yang kolonial maupun yang lahir dari istana.

Dan sejarah, seperti laut di pantai Sampang yang tak pernah diam, akan terus mengingatnya. Dalam angin lereng Kelud dan kabut Jepara, nama Trunojoyo tetap bergaung—menolak dilupakan.


Topik

Serba Serbi Raden Trunojoyo Trunojoyo kisah sejarah melawan VOC



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Yunan Helmy